Jumat, 01 Agustus 2008

SEJARAH PAGUYUBAN TANI NELAYAN HARI PANGAN SEDUNIA

Sejarah Paguyuban Tani Hari Pangan Sedunia Sejarah kelahiran Paguyuban Tani Hari Pangan Sedunia diawali dengan diselenggarakannya Seminar Aksi Sosial Se Asia ke-V (Asian Institute for Social Action -AISA V) di Ganjuran, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tanggal 9-16 Oktober 1990, bertepatan dengan Peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 1990.

Seminar tersebut diprakarsai oleh Federasi Konferensi Para Uskup se-Asia melalui Lembaga Sosialnya yaitu, Office for Human Development di Manila, dengan tema Gereja Di Asia, Gereja Kaum Tani. Seminar AISA V mencetuskan sebuah deklarasi yang disebut Deklarasi Ganjuran.
Deklarasi Ganjuran mengajak masyarakat untuk membangun pertanian dan pedesaan yang lestari, yaitu pengembanan pertanian dan pedesaan yang berwawasan lingkungan (ecologically sound), murah secara ekonomis (economically feasible), sesuai dengan budaya setempat (culturally adapted) dan berkeadilan sosial (socially just) di dalam semangat pembangunan yang lestari dan berkelanjutan.
AISA V juga ditandai dengan lahirnya wadah kaum tani yang bernama Paguyuban Tani Hari Pangan Sedunia.Pada tahun 1991, Paguyuban tani HPS menyelenggarakan musyawarah pada peringatan Hari Pangan Sedunia di Wates, DIY dan menghasilkan Kesepakatan Wates, yang antara lain mengatakan bahwa, “Paguyuban Tani HPS kelahirannya memang diprakarsai oleh Gereja, namun bukan organisasi Gerejani. Paguyuban Tani HPS merupakan wadah kaum tani yang memiliki visi dan misi seperti diamanatkan oleh Deklarasi Ganjuran. Hubungannya dengan Gereja bukanlah hubungan struktural tetapi hubungan kemitraan. (lihat Kesepakatan Wates)”.
Selanjutnya setiap tahun diselenggarakan musyawarah Paguyuban Tani HPS bertepatan dengan peringatan HPS setiap tahunnya. Pada tahun 1992 diselenggarakan di Pakem dengan Hasil Musyawarah Pakem, dan tahun 1993 diadakan di Boyolali (Jawa Tengah) dengan Pesan Boyolali. Sejak tahun 1993, di Boyolali, wakil-wakil kelompok nelayan mulai ikut bergabung. Sejak itu Pauyuban Tani berkembang menjadi Paguyuban Tani dan Nelayan Hari Pangan Sedunia. Memang hal itu cocok dengan tema tahun 1993 “Menuai Aneka Ragam Sumber Hayati”. Dan pada tahun 1994, bertepatan dengan Peringatan HPS 1994, musyawarah Paguyuban Tani dan Nelayan HPS diselenggarakan di Tulung Agung (Jawa Timur). Kita bersyukur kehadlirat Tuhan Yang Maha Esa serta semua saja karena selama ini Paguyuban kita bisa terus mengembangkan setia kawan dan kemitraannya baik ke dalam maupun ke luar, demi mengemban visi dan misinya seperti diamanatkan dalam Deklarasi Ganjuran.
Latar Belakang Situasinya
Pada awal perkembangannya, paguyuban kita mungkin dianggap sekedar sebagai gerakannya orang-orang idealis atau romantis saja. Terus terang kegiatan paguyuban memang melawan arus Revolusi Hijau dengan Biji Ajaib-nya, (IR-8, IR-36, dst). Itulah varietas unggul, semuanya itu dimaksudkan untuk swasembada beras/pangan.
Perjalanan pertanian modern/konvensional yang sarat dengan pupuk kimia dan pestisida di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, dalam kurun waktu 40 tahun ini ternyata membunuh tanah dan kaum tani. Hal ini diungkapkan di dalam Konferensi Internasional yang pertama diadakan oleh PBB, di kota Den Bosch, negeri Belanda pada bulan April 1991 sebagai persiapan KTT Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Den Bosch yang menyuarakan pembangunan pertanian dan pedesaan lestari, sebuah dokumen yang progresip sebagai masukan penting bagi Agenda 21, KTT Bumi.
Yang jelas sebelum Deklarasi Den Bosch, petani-petani kita sudah menyerukan deklarasinya secara spontan dimana-mana, ”Tanah saya bantat, mati ..., produksinya tinggi tetapi biaya produksinya juga kelewat tinggi ...”. Sehubungan dengan ini Prof. Dr. Loekman Sutrisno, staf ahli pada P3PK Universitas Gadjah Mada mengatakan: ”Petani harus mensubsidi kelompok industrialis yang memproduksi obat-obatan itu ......akibatnya petani tidak mampu menikmati hasil pembangunan pertanian karena terus terlilit hutang. Sementara para industrialis penghasil input pertanian modern terus bertambah kaya dengan menjual input tersebut.... Ketergantungan yang tinggi pada teknologi medern justru akan membuat petani tidak mampu mengangkat kesejahteraan ekonomi mereka.”
Oleh karena itu Revolusi Hijau pada akhirnya bukan lagi merupakan keajaiban kecuali keajaiban monopoli menjual bibit unggul, keajaiban menjual bahan-bahan kimia, meluasnya peracunan dalam tanah, tanaman dan makanan serta punahnya bibit lokal petani. Padahal kunci keberhasilan pembangunan pertanian dan pedesaan lestari terletak pada apakah para petani bisa memanfaatkan kembali bibit lokalnya sendiri yang beranekaragam (tema HPS tahun 1993; Menuai Aneka Ragam Sumber Hayati). Siapa yang menguasai bibit menguasai kehidupan

Tidak ada komentar: