Kamis, 22 Januari 2009

Fakta dan Kebijakan Perberasan

Selasa, 24 Januari 2006

Fakta dan Kebijakan Perberasan
Bayu Krisnamurthi

Beras merupakan komoditas dengan permintaan yang inelastis di mana perubahan harga hampir tidak menyebabkan perubahan jumlah permintaan konsumen. Jika ketersediaan kurang, harga langsung naik karena konsumen tidak melakukan penyesuaian atas konsumsinya. Ketersediaan beras yang cukup menjadi sangat penting, baik untuk memenuhi kebutuhan maupun untuk menjaga agar harganya tidak melonjak tinggi sehinga tidak terjangkau oleh konsumen. Terutama, konsumen berpendapatan tetap dan rendah.

Berdasar Sensus Pertanian 2003, total petani diperkirakan berjumlah 24,869 juta KK. Petani yang terkategori petani penggarap dan petani pemilik dengan tanah yang luas diperkirakan hanya sekitar 10 persen hingga 15 persen. Sebagian besar adalah petani yang hanya memiliki tanah garapan kurang dari setengah hektare. Sebanyak 13,253 juta KK adalah petani gurem serta buruh tani yang pada musim paceklik menjadi net-konsumen.

Petani adalah produsen juga konsumen. Dengan demikian, pembelaan terhadap petani tidak dapat hanya dilakukan dari sisi kepentingannya sebagai produsen, tetapi juga dari kepentingan keluarga petani yang juga konsumen. Sebagian besar mereka miskin, tidak memiliki sarana penyimpanan, dan berbagai keterbatasan lain.

Sentra-sentra produksi beras terdapat pada daerah tertentu, sementara daerah-daerah lain seperti NTT, Papua, Maluku, DKI, Riau, Kepri, dan Kaltim, mengalami defisit beras. Dengan demikian menjadi suatu kewajiban untuk menyediakan stok yang cukup dan merata bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau.



Kebijakan untuk petani

Untuk melindungi kepentingan petani (sebagai produsen), tahun 2006 pemerintah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang dimaksudkan agar harga beras tidak jatuh. HPP beras tahun 2006 adalah Rp 3.550/kg (HPP tahun 2005 adalah Rp 2.790/kg). Harga gabah kering panen Rp 1.730/kg (tahun 2005 Rp 1.330/kg), dan gabah kering giling Rp 2.280/kg (tahun 2005 Rp 1.765/kg).

Dalam hal ini HPP telah dinaikkan hingga 30 persen demi menjaga pendapatan petani. Bulog bertugas untuk melakukan pembelian beras dan gabah apabila harga berada di bawah HPP tersebut. Pada kondisi di mana harga yang terbentuk di pasar telah melampaui batas harga yang dianggap terjangkau oleh masyarakat, maka Bulog harus melakukan operasi pasar.

Selain kebijakan soal harga, keberpihakan terhadap petani di tahun 2006 diwujudkan juga dalam pemberian subsidi pupuk yang ditingkatkan dari Rp 2,53 triliun (tahun 2005) menjadi Rp 3,00 triliun (tahun 2006). Subsidi benih juga dinaikkan dari Rp 106 miliar menjadi Rp 115 miliar. Kebijakan lainnya adalah menambah kredit ketahanan pangan (KKP) dari plafon Rp 2,4 triliun menjadi Rp 3 triliun.

Agar harga terjangkau oleh konsumen, instrumen yang digunakan pemerintah adalah program raskin dan pengendalian harga. Bulog bertugas menstabilkan harga melalui operasi pasar murni, yakni dengan menambah pasokan beras ke pasar dengan harga tertentu.

Kemampuan Bulog melakukan stabilisasi harga bergantung pada persediaan yang jumlahnya perlu terus dijaga pada tingkat aman, yakni tidak lebih rendah dari 1 juta ton. Jumlah 1 juta ton diperoleh dari analisis yang dilakukan badan pangan dunia, FAO, selama 25 tahun terakhir dari sekitar 60 negara di dunia termasuk Indonesia. Analisis itu menyatakan bahwa risiko ketidakmampuan pasokan mencapai 3 persen hingga 5 persen dari total konsumsi.

Angka resiko itu sudah diturunkan dari sekitar 5 persen hingga 8 persen pada tahun 1980an, karena pertimbangan distribusi dan transportasi yang sudah lebih baik.Oleh sebab itu, suatu negara atau wilayah harus memiliki stok sebesar 3 persen hingga 5 persen terhadap total konsumsinya. Jadi, jika konsumsi Indonesia adalah 32 juta per tahun, maka Indonesia harus mempunya stok yang dapat segera didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia (stok pemerintah) antara 900 ribu hingga 1,5 juta ton.

Pemerintah menetapkan 1 juta ton sebagai pendekatan yang moderat. Jumlah stok itu pun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rakyat dalam 10 hari saja, sementara cadangan BBM ditetapkan minimum 21 hari. Jumlah ini diperlukan tidak saja untuk keperluan di atas tetapi juga untuk keadaan darurat, bencana alam, dan penyaluran beras untuk golongan TNI/Polri, dan lembaga pemasyarakatan.

Sejak pertengahan 2005, harga gabah dan beras selalu lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah. Di satu sisi, hal ini menunjukkan keberhasilan kebijakan perberasan melindungi kepentingan petani. Petani menikmati harga yang baik. Namun di sisi lain, hal tersebut menimbulkan masalah karena Bulog mengalami kesulitan dalam menambah stok pemerintah.



Kewajiban Bulog

Bulog membeli dengan dana yang telah ditetapkan dalam APBN, demikian juga jumlah yang harus dibeli (terkait dengan jumlah keluarga miskin yang harus dilayani dan raskin yang harus disalurkan). Apabila Bulog membeli di atas harga yang ditetapkan maka akan melanggar UU APBN.

Hal ini juga ditunjukkan oleh kondisi di lapangan. Bulog diperintah untuk menambah stok dari dalam negeri dengan dukungan sepenuhnya dari seluruh jajaran pemerintah dan pemerintah daerah. Dari suplus yang disebutkan mencapai 2,7 juta ton, ternyata untuk membeli 100 ribu ton saja (sekitar 3 persen saja dari suplus) tidak dapat dilakukan.

Komitmen para pedagang dan penggilingan hanya sebesar 21 ribu ton. Bahkan realisasinya hanya sekitar 10 ribu ton. Lagi-lagi masalah harga menjadi pertimbangan. Bulog hanya bisa beli dengan harga Rp 3.550 sedangkan pedagang ingin menjual dengan harga lebih tinggi. Kalaupun pemerintah menugaskan Bulog untuk tetap membeli dengan harga lebih tinggi, maka harga di tingkat konsumen, termasuk yang harus dibayar oleh keluarga petani, akan melonjak.

Rata-rata harga beras dalam dua pekan terakhir 2006 telah naik dibanding harga rata-rata dalam dua bulan terakhir 2005. Tertinggi terjadi di Ternate sebesar 31 persen, di Jakarta mencapai 19 persen, dan rata-rata nasional mencapai sekitar 21 persen. Tingginya harga beras menyebabkan pengadaan dalam negeri sangat sulit dilakukan. Akibatnya stok pemerintah (bukan stok masyarakat) akan kurang dari 1 juta.

Untuk menghadapi bencana, peluang bencana, serta kekurangan pasokan bahan pangan di beberapa daerah, bahkan ada daerah yang sudah mengalami masalah kelaparan, stok pemerintah harus diamankan. Pengadaan untuk persediaan (stok) diutamakan dari dalam negeri namun pada kondisi tertentu pengadaan dilakukan dari luar negeri.



Batasan impor

Fokus utama kebijakannya bukan pada impor tetapi pada penguatan stok pemerintah. Kalaupun penguatan stok pemerintah itu dilakukan dengan kebijakan impor, maka harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian agar tidak merugikan petani. Harus dipastikan bahwa saat impor dilakukan harga diterima petani tetap terjaga. Hingga saat ini hal tersebut masih dapat dilakukan.

Itulah sebabnya impor hanya dilakukan maksimum sampai 31 Januari 2006, sebelum dimulainya panen raya pada Februari 2006. Impor dilakukan hanya di daerah-daerah bukan basis produksi padi seperti Papua, NTT, Kalimantan Timur, juga di daerah-daerah khusus seperti Aceh, untuk memenuhi kepentingan pengungsi. Impor juga hanya dilakukan pemerintah (melalui Bulog), dan ditegaskan bahwa impor oleh swasta tetap dilarang.

Untuk mengamankan kebijakan impor beras maka izin dikeluarkan dengan persyaratan yang sangat ketat, meliputi mutu dan volume yang dapat diimpor dan pelabuhan tujuan. Juga dilakukan verifikasi penelusuran teknis di pelabuhan muat. Koordinasi antarinstansi terkait termasuk Polri dan TNI terus digalang untuk mencegah adanya impor ilegal.

Impor dimaksudkan hanya untuk mengisi stok/persediaan minimal Bulog, dan tidak akan dijual ke pasar bebas, sehingga tidak akan mendistorsi harga. Pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme raskin dan operasi pasar khusus yang dilakukan pada daerah konsumen, tidak di daerah produsen. Keputusan dan persiapan impor beras telah memperhatikan prosedur, baik legal-formal maupun kesepakatan-kesepakatan, termasuk saran Komisi VI DPR RI.



Bayu Krisnamurthi, Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan

Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=232308&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2

Tidak ada komentar: