Pemerintah Seharusnya Hanya Menjadi Fasilitator
Senin, 15 September 2008 | 01:28 WIB
Jakarta, Kompas - Ribuan varietas padi lokal telah lenyap dari ladang petani. Ini dampak dari ”pemaksaan” kepada petani untuk menanam padi varietas unggul nasional dan hibrida berbasis spesies Indika. Padahal, Indonesia kaya plasma nutfah padi lokal spesies Javanika, yang berpotensi untuk dikembangkan.
Ketua Tim Penilai dan Pelepas Varietas Departemen Pertanian, sekaligus Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Deptan, Suyamto, pekan lalu, mengungkapkan, penanaman padi varietas lokal tinggal 10-15 persen.
Dilihat dari kepemilikan plasma nutfah padi, posisi Indonesia tidak seaman Amerika Serikat, yang memiliki 23.097 plasma nutfah padi, dan Filipina 90.000 plasma nutfah padi. Di Indonesia, hanya ada 3.800 jenis plasma nutfah yang terdaftar di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian.
Produksi benih padi Indonesia pun cenderung stagnan, yaitu 460.000 ton per tahun, sejak tahun 2000. Jumlah ini jauh di bawah produksi benih Vietnam, yang pada 2005 sudah mencapai 1.09 juta ton per tahun.
Tanpa komitmen bersama untuk melestarikan, kata Suyamto, dikhawatirkan padi varietas lokal akan punah. Padahal, varietas lokal mempunyai karakteristik tertentu hasil adaptasi dengan lahan pertanian setempat. Jika disilangkan dengan tepat berpotensi menghasilkan padi yang produktivitasnya tinggi, tanpa perlu biaya pemupukan dan pestisida.
Namun, petani ”didorong” untuk menanam padi berbasis spesies Indika, yang umumnya ditanam di daerah basah Asia tropis dan subtropis, seperti China dan Jepang. Adapun padi Javanika hanya ditanam di Indonesia. Sebagian besar plasma nutfah yang ada di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian adalah varietas padi lokal, Javanika, dari seluruh Indonesia.
Sampai akhir 1960-an, turun- temurun petani masih menanam ribuan varietas padi lokal. Misalnya varietas Angkong, Bengawan, Engseng, Melati, Markoti, Longong, Rejung Kuning, Umbul-umbul, Tunjung, Rijal, Sri Kuning, Untup, Tumpang Karyo, Rangka Madu, Sawah Kelai, Tembaga, Tjina, dan ribuan varietas padi lokal asli Indonesia lainnya.
Sejak pemerintah mengadopsi tanaman padi spesies Indika, seperti IR-64, PB-5, PB-8, dan kini varietas unggul nasional Ciherang, IR-64, Cisantana, Cigeulis, Cibogo, dan lainnya, perlahan-lahan keberadaan varietas lokal tergusur. Apalagi, dua tahun terakhir pemerintah giat memperkenalkan padi hibrida ke petani.
Joharipin (33), petani dari Desa Jengkok, Kabupaten Indramayu, menuturkan, biaya produksi menanam Ciherang relatif besar karena padi varietas unggul, seperti IR-64 dan Ciherang, kini tidak tahan hama penyakit, selain boros pupuk dan pestisida.
Biaya pemupukan per hektar per musim tanam pun Rp 500.000-Rp 1.200.000. Penyemprotan pestisida dan obat kimia sejenisnya bisa 12 kali per musim tanam. Benih harus dibeli.
Muhamad Suryaman (27), petani Desa Jengkok bernada sama. ”Meskipun hasilnya banyak, kalau biaya produksi besar, keuntungan tetap sedikit,” katanya.
Tingginya biaya produksi memicu kreativitas petani untuk menanam padi varietas baru berbasis varietas lokal, spesies Javanika, hasil silangan petani sendiri. Di Indramayu ada sejumlah calon varietas baru hasil penyilangan petani setempat, seperti Bongong, yang potensi produktivitasnya 12,8 ton gabah kering panen, lebih tahan kekeringan, dan serangan hama penyakit yang biasa menyerang Ciherang.
Namun, calon varietas hasil silangan petani itu belum dapat dilepas di pasaran. Sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, pelepasan ke pasar dilakukan oleh Menteri Pertanian. Tanpa melalui pelepasan, diancam pidana maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Mendorong kegairahan petani dan swasta untuk menghasilkan varietas baru yang lebih baik, UU itu harus direvisi. ”Padi varietas lokal sudah adaptif dengan kondisi lingkungan setempat karena itu tidak perlu uji multilokasi di 16 lokasi pada dua musim berbeda, seperti disyaratkan perundang-undangan,” ujar Suyamto.
Pada masa datang, kata Suyamto, pemerintah tak perlu terlampau mengurusi pelepasan varietas. ”Biarlah petani dan swasta nasional yang berkompetisi menciptakan varietas baru spesifik lokasi yang diinginkan,” katanya.
Pemerintah hanya memfasilitasi, dengan menyediakan sebanyak mungkin plasma nutfah, untuk dikembangkan swasta dan petani pemulia. (MAS/RYO)
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar