Republika. Selasa, 05 September 2006
Wahyudin Munawir
Dalam kalender nasional, tampaknya ada bulan-bulan tertentu di mana isu impor beras mencuat. Yaitu bulan-bulan ketika musim kering sedang mencapai puncaknya. Kali ini, di tahun 2006, isu impor beras kembali mencuat di bulan September. Di tahun 2005, isu impor beras juga muncul di bulan September. Begitu pula tahun sebelumnya.
Namun, ada hal berbeda pada isu impor beras tahun 2005 dan 2006. Pada September 2005 waktu isu impor beras mencuat, harga beras masih di bawah Rp 3.500 per kilogram (kg). Saat itu ada kesepakatan, kalau harga beras masih di bawah Rp 3.500 per kg, pemerintah berjanji tidak akan impor beras. Saat itu, masyarakat dan para pemerhati perberasan mengingatkan kepada pemerintah agar jangan mengimpor beras. Bila impor beras tetap dilakukan, artinya sama dengan 'membunuh' petani. Tapi apa yang terjadi? Pemerintah, tanpa sepengetahuan rakyat dan DPR, tetap impor beras. Alasannya, harga beras di beberapa tempat sudah di atas Rp 3.500 per kg, meski kemudian alasan itu terbukti tidak benar.
Pada tahun 2006, kejadian itu kembali berulang. Alasannya juga sama, harga beras pada September sudah sangat tinggi, yaitu Rp 5.091 per kg, naik 58,23 persen dibandingkan harga rata-rata Agustus 2005. Perhitungan itu diketahui dari 614 transaksi di 16 provinsi. Betukah? Pengalaman tahun 2005, ternyata alasan tersebut tidak benar. Tapi seandainya alasan itu benar, kenaikan itu sangat wajar karena didorong kenaikan harga BBM. Dari sanalah patut dipertanyakan: apakah impor beras itu akan berdampak baik terhadap kehidupan mayoritas bangsa Indonesia yang sebagian besar petani miskin?. Ketika pemerintah baru saja memutuskan untuk impor beras, harga beras langsung anjlok di beberapa sentra perdagangan beras. Di pasar beras terbesar di Jakarta, Cipinang, misalnya, harga beras langsung turun Rp 100 - Rp 200 per kg. Di sentra produksi beras, penurunan harga beras makin tajam lagi. Di Kecamatan Cimalaya, Cikampek, Jabar, misalnya, harga beras langsung turun hingga Rp 3.850 per kg. Ini adalah penurunan yang amat drastis dan sangat merugikan petani karena sejak kenaikan BBM Oktober 2005, kebutuhan untuk penanaman padi seperti pupuk dan pestisida naik tinggi sekali. Jika kondisi tersebut dibiarkan petani akan 'mati suri'.
Beberapa catatan
Dari gambaran tersebut, ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan. Pertama, harga beras pada September 2006 mencapai Rp 5.091 per kg. Ini artinya, naik sekitar 68 persen dibanding harga beras rata-rata pada bulan September tahun 2005, yang mencapai Rp 3500 per kg. Kenaikan itu, jelas dipicu kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Dibanding kenaikan harga minyak tanah yang sekitar 280 persen, kenaikan harga beras yang hanya mencapai 68 persen tersebut, jelas 'masih terlalu kecil'. Ini artinya, harga beras tersebut masih merugikan petani. Jadi, ketika pemerintah menyatakan harga beras sudah terlalu tinggi sebetulnya pernyataan tersebut menyesatkan karena tidak di-compare dengan kenaikan harga minyak tanah.
Kedua, pemerintah tampaknya abai terhadap dampak kenaikan harga BBM. Kita tahu sejak kenaikan harga BBM Oktober 2005 yang rata-rata sekitar 200 persen, semua kebutuhan hidup harganya naik. Namun, apa yang terjadi? Pemerintah tetap memakai Inpres No 13/2005 untuk menetapkan harga gabah petani --yaitu Rp 3.350 per kg. Ini jelas tidak realistis dengan perkembangan harga kebutuhan hidup para petani, termasuk kenaikan pupuk dan pestisida yang naik rata-rata di atas 30 persen. Jadi, bila ada tuntutan dari masyarakat bahwa harga beli gabah dari petani hendaknya dinaikkan, hal itu sangat wajar. Sebab jika tidak, petani akan sangat dirugikan.
Apa arti semua ini? Pemerintah memang kurang mendengar suara rakyat dan tidak mau melihat realitas yang sebenarnya. Yaitu, ketika harga beras di dalam negeri sebetulnya sudah sangat murah, pemerintah mau impor lagi dengan alasan untuk menurunkan harga beras yang sudah tinggi. Padahal harga beras impor sangat tinggi dan pemerintah akan mensubsidi harga beras tersebut agar beras lokal turun. Ini namanya kebijakan jungkir balik. Dampaknya, harga beras lokal pun terguncang, lalu anjlok. Yang dirugikan adalah petani. Alasan masyarakat dan sebagian anggota DPR yang anti-impor beras pun cukup rasional. Kenapa harus impor beras padahal harga beras sudah sangat murah dibanding harga yang semestinya?
Pemerintah selalu membuat kriteria yang sulit dibuktikan kesahihannya. Persediaan beras di Indonesia sudah mulai kritis karena cadangan beras di Bulog kurang dari satu juta ton (Itu pernyataan pada tahun 2005. Sekarang, tahun 2006, berubah lagi, yaitu persediaan beras aman kalau cadangan beras di Bulog mencapai 350 ribu ton). Jika tahun 2005 impor beras dilakukan untuk memenuhi cadangan beras satu juta ton, sekarang impor beras dilakukan untuk memenuhi cadangan beras 350 ribu ton. Asumsi tersebut kini dipertanyakan karena pemerintah sendiri plin-plan dalam menggunakan asumsi tersebut dari tahun ke tahun.
Persoalan berikutnya, pemerintah selalu memutuskan impor beras tanpa mempertimbangkan pendapat publik. Ketika debat publik impor beras baru berlangsung dan mayoritas masyarakat tidak setuju impor beras, pemerintah memutuskan untuk impor beras sebesar 210 ribu ton. Alasannya klasik, impor harus dilakukan karena persediaan beras berdasarkan data BPS sudah tipis. Terkadang ada alasan lagi, yaitu pemerintah tak bisa membatalkan kontrak dengan pihak penjual di luar negeri. Ini kasus tahun 2005 karena secara diam-diam pemerintah (yang didikte swasta) sudah bikin kesepakatan dulu dengan pihak luar negeri untuk impor beras padahal belum ada keputusan di dalam negeri.
Alasan pemerintah tersebut jelas menimbulkan reaksi keras masyarakat. Pers kemudian mengendus ternyata ada keanehan-keanehan dari impor beras tersebut. Antara lain, soal jumlah beras impor sebenarnya, soal catatan harga beras di pasar internasional dan nasional, soal kualitas beras, dan lain-lain. Kesimpulan pers, ada indikasi impor beras ini bersifat KKN. Uniknya, pemerintah tetap bertekad impor beras. Dari pengalaman tersebut, wajarlah jika kemudian banyak pihak yang curiga, jangan-jangan impor beras 2006 pun penuh rekayasa.
Dari perspektif itulah, kita bisa memahami kenapa impor beras tersebut bermasalah. Wapres Jusuf Kalla pernah mengingatkan bahwa harga beras semahal itu sudah di luar jangkauan sebagian besar rakyat miskin yang mayoritas petani. Padahal tidak seperti BBM, masyarakat tidak mungkin menurunkan konsumsi berasnya. "Berapa pun harga beras, pasti konsumsinya akan 120 kg per orang per tahun," kata Kalla. Apa yang dikatakan Wapres sebagian ada benarnya. Tapi juga ada salahnya karena para petani miskin yang terbiasa menderita, cukup lentur dalam memenuhi kebutuhan pangan pokoknya.
Saya yang tinggal di sebuah kampung di Cikijing, Ciamis, misalnya, tahu persis bagaimana orang-orang miskin makan nasi campur jagung plus singkong jika harga beras mahal. Jika pun mereka punya beras atau gabah simpanan, kalau harganya mahal mereka akan menjualnya agar mendapat uang yang cukup untuk memenuhi keperluan hidup yang lain (biaya anak sekolah, beli baju, dll). Sementara untuk menu makan sehari-hari bisa dikompromikan. Melihat fenomena tersebut, kita bisa melihat bahwa impor beras lebih besar mudharatnya bagi petani.
* Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi PKS
Sumber: http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=263201&kat_id=16&kat_id1=&kat_id2=
© nasih@ugm.ac.id : 2006-10-04
Kamis, 22 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar