Jumat, 16 Januari 2009

Tol Trans - Jawa versus Swasembada Pangan

Tol Trans - Jawa versus Swasembada Pangan
Oleh: Hatta Sunanto
KR. 28/11/2008

PEMBANGUNAN jalan tol Trans-Jawa sepanjang 652 kilometer dari Cikampek (Jawa Barat) sampai Surabaya (Jawa Timur) akan menggunakan lahan seluas 4.264 hektar. Sebagian besar merupakan lahan sawah yang selama ini digunakan petani untuk usaha tani tanaman pangan dan untuk menghasilkan komoditas pangan. Hanya sebagian kecil saja areal perkebunan dan areal kehutanan yang digunakan untuk keperluan pembuatan jalan tol tersebut.

Dengan akan dibangunnya jalan tol Trans-Jawa itu maka tentu saja nantinya juga akan hilang ribuan hektar lahan sawah yang akan digunakan untuk pembangunan fisik infrastruktur, misalnya untuk perumahan atau permukiman, pabrik atau industri dan lain-lain terutama di sekitar jalan tol tersebut. Jika dilihat dari aspek ekonomi maka keberadaan jalan tol tersebut sangat bermanfaat karena biaya transportasi akan lebih efisien dan efektif, serta dapat menumbuhkan perekonomian di sekitar jalan tol. Namun jika dilihat dari program peningkatan hasil produksi pertanian, maka dampaknya cukup berat. Terjadilah kontradiksi antara program pembangunan jalan tol dengan program peningkatan hasil produksi pangan atau program swasembada pangan. Dalam hal ini pemerintah dihadapkan pada dilema negara kita yang tercinta ini berpredikat “bukan negara agraris, dan bukan negara industri”.

50 Tahun Lagi Lahan Pertanian Habis

Jika sekarang ini sektor industri kita mengalami kelesuan karena sangat terpengaruh oleh kondisi “krisis global”, bagaimana kondisi pembangunan pertanian kita sekarang ini? Sebaiknya kita mengapresiasi pemerintah Orde Baru, sebab program pembangunan pertanian itu telah direncanakan dan dilaksanakan secara bertahap melalui Repelita I sampai dengan Repelita V. Sedang program pembangunan pertanian pada masa pasca Orde Baru tidak terlihat apa programnya dan bagaimana pelaksanaannya. Kita melihat kenyataan, bahwa hampir semua komoditas pangan seperti: beras, jagung, kedelai, dan lain-lainnya, serta komoditas perkebunan yang berupa gula pun sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang ini masih harus selalu diimpor untuk mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Jika ada pernyataan bahwa Indonesia berhasil mencapai tingkatan swasembada pangan atau tidak lagi mengimpor bahan pangan, maka pernyataan itu bertendensi politik. Sebab, dari tahun ke tahun lahan pertanian yang tersedia untuk tanaman pangan mengalami penyempitan terus-menerus yang sulit dihambat, sedangkan produktivitas (hasil produksi per hektar pangan terutama beras) dalam kondisi status quo atau tidak mengalami perkembangan. Dengan demikian sangat rasional jika Indonesia harus mengimpor bahan pangan terus-menerus dengan volume yang semakin besar karena perkembangan jumlah penduduk yang sangat pesat.

Sesungguhnya masalah semakin menyempitnya lahan pertanian yang tersedia untuk tanaman pangan itu sudah sangat terasa dan terlihat sejak pemerintahan Orde Baru. Dan tentunya lebih terasa dan sangat terlihat setelah pembangunan jalan tol Trans-Jawa itu terwujud. Data yang diungkapkan Prof Gunawan Satari pada tahun 2001 menyatakan bahwa pada tahun 1988 tersedia areal panen tanaman pangan seluas 9,89 juta hektar dan sampai tahun 2000 terjadi pengurangan areal panen sebesar 2,8 juta hektar. Sementara Departemen Pertanian mengungkapkan bahwa seluas 55.000 hektar lahan sawah di Jawa setiap tahunnya berailh fungsi menjadi non pertanian (Kedaulatan Rakyat, 19 April 1991). Pada periode tahun 1999-2002, terjadi pengurangan lahan sawah di Jawa seluas 107.482 hektar. Dengan data tersebut maka dapat diperkirakan bahwa 50 tahun lagi lahan sawah di Jawa akan habis.

Dari sedikit pemaparan di atas dapat diambil kongklusi bahwa proses penyempitan lahan sawah yang tersedia untuk usaha tani tanaman pangan terutama beras, sangat sulit dihentikan karena perkembangan jumlah penduduk yang sulit ditekan dan proses pengembangan pembangunan infrastruktur atau pembangunan fisik yang sangat dibutuhkan itu juga sulit dihambat. Akibatnya program pencapaian swasembada pangan terutama beras semakin sulit dicapai sehingga volume impor pangan akan semakin besar dari tahun ke tahun.

Pada masa-masa mendatang, impor pangan akan semakin sulit dipenuhi sebab negara-negara produsen pangan seperti Vietnam, Thailand, Burma atau Myanmar yang hasil produksi pangannya kita beli atau kita impor menghadapi masalah yang sama, yaitu perkembangan jumlah penduduk yang sulit ditekan dan proses pembangunan fisik yang menggunakan lahan pertanian juga sulit dihambat. Jika demikian maka kemungkinan besar dapat terjadi “bencana kelaparan atau kekurangan gizi” yang dapat melumpuhkan semua kegiatan manusia.

Saran

Kecukupan pangan itu bagi manusia adalah sangat utama, dan sangat menggembirakan jika negara kita ini dapat mencapai tingkatan swasembada pangan. Namun swasembada pangan itu sulit dan semakin sulit dicapai karena di satu sisi perkembangan jumlah penduduk (konsumen pangan) semakin meningkat pesat dan sulit ditekan meskipun dilaksanakan program Keluarga Berencana (KB), sedang di sisi lain lahan pertanian yang tersedia untuk usaha tani tanaman pangan semakin berkurang dan produktivitas (produksi per hektar) tanaman pangan tidak berkembang. Semakin berkurangnya atau menyempitnya lahan pertanian karena digunakan untuk pembangunan fisik yang sulit dicegah, termasuk juga jika jalan tol Trans-Jawa itu terealisasi.

Dalam konteks tersebut maka pemerintah seharusnya bersungguh-sungguh memikirkan:
1. Jalan tol Trans-Jawa menghindari atau jangan melewati lahan pertanian atau lahan sawah yang subur, terutama yang berpengairan teknis. Jika memungkinkan, jalan yang melewati lahan subur itu dibuat dalam bentuk jalan layang.
2. Mengusahakan secepatnya agar tingkat produktivitas tanaman pangan meningkat tinggi melalui penerapan bioteknologi. Dengan demikian pembangunan pertanian sungguh-sungguh diprioritaskan, bukan hanya sekadar melontarkan slogan program revitalisasi pertanian yang teoritis itu. q - g. (4926-2008).

*) Ir Hatta Sunanto MS, Lektor Kepala (IV/d) pada STIE Pariwisata API Yogyakarta, Pengamat Pembangunan Pertanian dan Pariwisata.

Tidak ada komentar: