Rabu, 28 Januari 2009

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS LAHAN

Oleh :

Made Suwena
G.361020041



I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usaha-usaha pokok yang dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian sesuai dengan wawasan yang telah digariskan, antara lain adalah diversifikasi, ekstensifikasi, dan intensifikasi

Dalam melaksakan usaha-usaha tersebut seringkali dijumpai beberapa kendala, misalnya dalam diversifikasi terbatasannya ketersediaan karbohidrat dalam bentuk siap saji, baik dalam bentuk macam hidangan yang diolah, harga yang dapat dijangkau masyarakat maupun sebagai bahan industri. Hal ini terjadi karena dewasa ini orientasi pangan masyarakat masih betitik berat pada beras. Usaha ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanian dihadapkan pada semakin berkurangnya lahan-lahan produktif dari tahun ketahun akibat dari pemanfaatan lahan untuk keperluan non pertanian, seperti untuk perumahan, industri perkantoran dan sebagainya. Sedangkan usaha intensifikasi sering mengalami kendala, akibat dari penerapan paket teknologi yang kurang tepat dalam penggunaan pupuk kimia dan pestisida dengan dosis jauh lebih tinggi dari dosis anjuran, sehingga dapat menurunkan efesiensi usahatani dan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

Dalam usaha intensifikas, anggapan petani bahwa penggunaan bahan kimia buatan baik pupuk maupun pestisida adalah satu-satunya alat yang dapat meningkatan produksi pertanian sangatlah berbahaya, karena bagaimanapun juga bahan-bahan kimia ini dapat merusak ekosistem pertanian. Menurut Muntoyoh (1994), pupuk kimia dan pestisida pada kenyataannya memang dapat meningkatkan produksi pertanian. Namun hal ini hanya berlangsung dalam jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang bahan-bahan tersebut dapat menurunkan produksi pertanian baik secara kualitas mapun kuantitas. Dampak yang lebih parah adalah mengakibatkan kerusakan pada tanah hingga tidak dapat lagi dipergunakan untuk kehidupan tanaman sebagai akibat dari akumulasi residu kimia di dalam tanah, serta timbulnya hama dan penyakit baru yang menyerang tanaman.

Dalam kaitannya dengan efesiensi usahatani dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan bahan-bahan kimia tersebut, dewasa ini banyak ahli pertanian mencoba menerapkan kembali prinsip-prinsip pertanian alami yang pernah diterapkan oleh nenek moyang dahulu yang dikenal dengan cara bertani akrab lingkungan.

Petanian akrab lingkungan (Natural Farming) adalah suatu cara bertani yang tidak merusak ekosistem alami untuk menghasilkan produk pertanian yang sehat dan cara berkesinambungan, tanpa atau dengan mengurangi penggunan pestisida, pupuk kimia dan zat-zat kimia lainnya. Pandangan dari cara bertani ini adalah sistematis dengan tujuan untuk mengenal jaringan yang berfungsi yang terdapat didalamnya. Dengan demikian, dalam menilai kondisi ekologis tidak hanya skala ekologis yang berlaku akan tetapi hubungan antara manusia dan alam yang sifatnya normatif – kultural, hiegenis – medis, politis dan teknologis haruslah diperhitungkan dalam tingkat yang sama (Egger, 1987).

Organissasi yang bergerak dalam pertanian yang berwawasan lingkungan dikenal dengan berbagai nama, diantaranya dikenal dengan : pertanian organik, pertanian alternatif, pertanian biaya rendah, pertanian berkelanjutan, pertanian terpadu, pertanian akrab lingkungan (Wididana, 1994), low sustainable agriculture atau yang lebih dikenal dengan LISA (Silitonga, 1994), bertani selaras alam (ekofarming)

Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja, atau air selain terhadap satuan luas lahan (Hildebran, 1987).



B. Permasalahan

Peningkatan input energi seperti pupuk kimia, pestisida maupun bahan-bahan kimia lainnya dalam pertanian dengan tanpa melihat kompleksitas lingkungan disamping membutuhkan biaya usahatani yang tinggi, juga merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan. Penggunaan pupuk dan pestisida di luar kontrol akan dapat merusak tanah dan tolerannya suatu jenis hama dan penyakit tertentu terhadap pestisida disamping juga dapat menghilangkan jenis predator dan parasitoid yang bermanfaat. Bahan-bahan kimia tersebut dapat tetap tinggal sebagai residu pada hasil tanaman, tanah tercuci ke dalam air sungai akibatnya dapat berbahaya bagi kehidupan manusia maupun hewan. Di lain pihak, lahan pertanian produktif semakin sempit akibat dimanfaatkan untuk keperluan non pertanian.

Dari uraian di atas, maka dapat diketahui permasalahan-permasalahan yang ada dan akan muncul dalam usaha peningkatan produksi pertanian selama ini, yaitu dintaranya :

1.Penggunaan paket teknologi seperti pupuk anorganik dan pestisida secara tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, disamping dibutuhkan biaya usahatani yang tinggi.

2.Lahan pertanian produktif semakin sempit sementara pergeseran ke arah lahan marginal dibutuhkan penambahan paket teknologi yang khusus, yang berrti diperlukan kemampuan (skill) dan input yang lebih tinggi.

3.Sistem pertanian secara monokultur akibat terpaku pada usahatani padi menyebabkan terkuranya unsur-unsur hara tertentu yang dapat menyebabkan kerusakan pada tanah, disamping juga kenutuhan keragaman pangan tidak terpenuhi.

Melihat permasalahan-permasalahan tersebut, guna mempertahankan dan meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan, maka pengelaolaan sumberdaya secara efektif dari segi ekologi maupun ekonomi mutlak dilakukan. Pertanyaan yang timbul kiranya langkah-langkah apa saja yang mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut ?



C. Tujuan

Sehubungan dengan permasahan-permasalahan yang dihadapi dalam usaha pembangunan petanian yang berwawasan lingkunga, dikaitkan dengan beberapa alternatif pemecahan masalah yang akan dikemukan pada bab II berikut, maka tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengkaji lebih jauh peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukan dalam usaha meningkatkan produktivitas lahan dengan sistem pertanian yang berwawasan lingkungan.



II. ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

Beberapa alternatif yang dapat dikemukakan dalam usaha peningkatan produktivitas lahan pertanian dengan sistem akrab lingkungan menurut Fukoka (1994), adalah tanpa pengolahan tanah, tanpa pupuk kimia, tanpa mengholangkan gulma dengan mengerjakan tanah atau dengan herbisida, dan tidak tergantung pada bahan-bahan kimia. Hal ini dapat dilakuan melalui penanaman secara tumpangsari, penggunaan biofertilizer, dan pemanfaatan bahan organik :



A. Bercocok Tanam Secara Tumpangsari

Bertani secara tumpangsari adalah penanaman dua atau lebih jenis tanaman sekaligus pada sebidang tanah yang sama dan pada hakekatnya merupakan usaha tani yang intensif berdasarkan pemanfaatan waktu dan ruang tumbuh (Andrews dan Kassam, 1979).

Intensifikasi dengan cara ini dapat meningkatkan hasil per satuan luas pahan persatuan waktu, mengurangi resiko kegagalan panen, serta meningkatkan produksi lahan, tenaga, waktu dan sumber usahatani yang tersedia selama satu musim tanam (Thahir dan Hatmadi, 1986).

Tumpangsari tanaman leguminosa dengan serelia merupakan suatu kombinasi yang telah umum dilakukan oleh petani. Menurut Trenbath (1976), penggunaan tanaman leguminosa seeprti kacang-kacangan sebagai tanaman sela dapat menguntungkan bagi tanaman pokok, karena banyak menghasilkan nitrogen, dapat memperbaiki struktur tanah serta dapat menekan tumbuhnya rumput-rumputan. Selanjutnya Lingga (1986) menyatakan, bintil-bintil akar yang umumnya erdapat pada tanaman leguminosa juka bersimbiose dengan tanaman lain mempunyai kemampuan mengikat unsur nitrogen dari udara bebas. Hal ini sangat menguntungkan, selain dapat menambah nitrogen dalam tanah juga dapat memenuhi kebutuhan nitrogen bagi tanaman lain (Munandar, 1984). Seperti diktahui, unsur nitrogen merupakan unsur makro yang paling menonjol diantara unsur-unsur yang diprlukan oleh tanaman. Menurut Gardner, Pearce dan Mitchell (1985) pertanian sangat tergantung pada nitrogen yang dihasilkan oleh organisme yang mampu menambat nitrogen untuk produksi tanaman budidaya.

Chapman dan Myers (1987) menyatakan bahwa hasil fiksasi nitrogen oleh legum dalam tumpangsari dapat tersedia bagi tanaman nono legum yang berada di sekitarnya selama musim pertumbuhannya. Pembususkan akar dan nodul erupakan hal penting dalam tranfer nitrogen, walaupun organ-organ tersebut umumnya mengandung hanya sebagian kecil dari total tanaman. Sebagai contoh, hanya 3 – 40 kg nitrogen per hektar mungkin yang terdapat dalam bintil akar legum yang ditumbuhkan di lapangan.

Selain keuntungan dalam bentuk kontribusi nitrogen yang dapat diberikan dalam penanaman secara tumpangsari, juga dapat mematahkan siklus hidup dari patgen atau hama tertentu melalui rotasi tanaman (Palaniappan, 1988). Dengan adanya rotasi tanaman berarti sumber makanan inang hama maupun penyakit menjadi tidak ada atau berkurang sehingga perkembangan dari organisme pengganggu tanaman tersebut menjadi terhambat (Alexander, 1977). Masih banyak keunggulan-keunggulan yang lain didapat dari penanaman secara tumpangsari seperti keanekaragaman hasil panen, efesiensi dalam tenaga, modal dan sebagainya.



B. Pemanfaatan Biofertilizer

Beberapa penelitian untuk menghasilkan teknologi yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dengan tanpa menggunakan pupuk kimia buatan telah banyak di lakukan. Salah satu teknologi yang saat ini dikembangkan adalaha pengelolaan hara terpadu yang mendukung pemupukan organik dan pemanfaatan biofertilizer.

Pengertian biofertilizer secara umum adalah pemanfaatan strain-strain unggul baik berupa sel hidup ataupun dalam bentuk laten dari mikroba penambat nitrogen (N), mikroba pelarut phosphat (P), atau mikroba perombak selulosa yang diberikan ke biji, tanah ataupun tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba dan mempercepat proses terjadinya hara bagi tanaman. Biofertilizer yang umum digunakan adalah effective microorganisms (EM), inokulum Rhizogin, Azotobacter, Pseudomonas, Bacillus, Trichoderma, dan VA Mycorrhiza. Pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah (Prihatini, Kentjanasari, dan Sri Adiningsih, 1966).

Effective microorganisms (EM) merupakan salah satu jenis biofertolizer yang dikemas dalam larutan sebagai EM-3, EM-4, dan EM-5. Namun yang paling dikenal dikalangan petani adalah EM-4. EM-4 diformulasikan dalam bentuk cairan dengan warna coklat kekuning-kuningan, berbau asam mengandung 90% bakteri Lactobacillus sp dan tiga jenis mikroorganisme lainnya, yaitu bakteri fotosintetik, streptomyces sp, dan yeast (mikroorganisme fermentasi). Mikroorganisme tersebut dalam fase istirahat dan bila diaplikasikan dapat dengan cepat menjadi aktif merombak bahan organik dalam tanah. Hasil rombakan bahan organik tersebut berupa senyawa organik, antibiotik (alkohol dan asam laktat) vitamin (A dan C), dan polisakarida (Higa dan Wididana, 1994). Selain menghasilkan senyawa-senyawa organik tersebut, EM-4 juga dapat merangsang perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme lain yang menguntungkan seperti bakteri pengikat nitrogen, bakteri pelarut fosfat, mikroorganisme yang bersifat antagonis terhadap patogen, serta dapat, menekan pertumbuhan jamur patagen tular tanah (Wididana dan Higa, 1993; Muntoyah, 1994).

Penggunaan effective microorganisms di dalam tanah hampir sama pengarunya dengan rotasi tanaman. Penerapan rotasi tanaman dapat memberikan kesempatan bagi mikrooganisme yang menguntungkan untuk beregenerasi sehingga dapat menekan mikroorganisme yang merugikan tanaamn. Dengan penambahan microorganisme kedalam tanah berarti pola tanam monokultur secara kontinyu dapat dilakukan tanpa mengakibatkan penurunan produksi tanaman (Higa, 1994)

Pencampuran bahan organik seperti pupuk kandang atau limbah rumah tangga dan limbah pertanian dengan EM-4 merupakan pupuk organik yang sangat efektif untuk meningkatkan produksi pertanian. Campuran ini disamping dapat sebagai starter mikroorganisme yang menguntungkan yang ada di dalam tanah juga dapat memberikan respon positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wididana, Wigenasantana dan Higa, 1994)



C. Bahan Organik

Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis, sehingga unsur C merupakan penyususn utama dari bahan organik tersebut yang berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida. Melaui penambahan bahan organik, tanah yang mulanya berat menjadi berstruktur remah yang realtif lebih ringan. Infiltrasi dapat diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat, sehingga aliran permukaan dan erosi dapat diperkecil, demikian pula aerasi tanah dapat lebih baik karena ruang pori bertambah akibat dari terbentuknya agregat (Sugito, Nuraini, dan Nurhayati). Bahan organik juga berfungsi sebagai bahan nutrisi bagi makro dan mikro fauna (Prihatini, Kentjanasari, dan Sri Adiningsih, 1996).Kondisi demikian ini pada akhirnya akan dapat memacu pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan.



III. P E N U T U P

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam rangka usaha peningkatan produktivitas lahan melalui sitem bertani akrab lingkungan, masih banyak kiranya permasalahan-permasalahan yang berlum terungkap, sebagai contoh dalam penerapan sistem tumpangsari kejelian pemilihan antar jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan, kesesuain waktu tanam, jarak tanam, pola penanaman, populasi tanaman, dan sebagainya. Demikian halnya dengan penggunaan biofertilizer maupun bahan organik, ketepatan dosis, macam atau jenis biofertilizer atau bahan organik, dan waktu aplikasinya kesenuanya itu akan sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman yang diusahakan, sehingga diperlukan suatu kajian yang lebih mendalam.

Secara ringkas dapat dikemukakan kesimpulan dari tulisan ini, yaitu :

1.Pemanfaatan teknologi bahan-bahan kimia, seperti pupuk dan pestisida dapat menurunkan produktivitas lahan dan pencemaran lingkungan.

2.Usaha peningkatan produktivitas lahan yang berorientasi akrab lingkungan dapat ditempuh melalui perbaikan cara bercocok bertanam, diantaranya dengan cara tumpangsari, penggunaan biofertilizer, dan penggunaan pupuk organik.

Dari urain di atas diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir kita semua baik sebagai peneliti, petani, atau semua orang yang bergerak dalam bidang pertanian dan penyelamat lingkungan terutama terhadap aspek-aspek yang belum dikaji, sehingga akhirnya produksi pertanian terus dapat ditingkatkan dengan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.



DAFTAR PUSATAKA



Alexander, M., 1977. Introduction to Soil Microbiology. Second Edition. Cornel University, USA

Andrews, D.J. and A.H. Kassam, 1976. The Importance of Multiple Cropping in Increasing World Food Supplies. Matthias Satelly (ed). Multiple Cropping American Society of Agronomy. Crop Science Society of America and Soil Science of America Inc. Visconsin.

Chapmen A.L. and R.J.K Myers, 1987. Nitrogen Contribution by Grain Legumes to Rice Growth in Rotation on the Cucunura Soil of the Ord Irigation Area West Australia. Aust. J.Exp.Agric (27): 155 – 163.

Eggar, K., 1987. Berbagai Cara dan Kemungkinan Pelaksanaan Ekofarming di Daerah Pegunungan Afrika Timur. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 211 – 260

Fukoka, M., 1994. Empat Azas Bertani Alami. Kyusei Nature Farming, 03 (2) : 42 – 46.

Gardner, F.P., R.B. Pearce and R.L. Mitchell, 1985. Physiology of Crop Plant. Iowa, State University Press.

Higa, T., 1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam Kyusei Nature Farming, Jakarta.

Higa, T., dan G. N. Wididana,1994. Effective Microorganisms. Dimensi Baru dalam Kyusei Nature Farming. Tumbuh, Jakarta.

Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420

Lingga P., 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya, Jakarta

Munandar, R., 1984. Tanah dan Seluk Beluknya Bagi Pertanian. Sinar Baru, Bandung.

Muntoya, 1994. Menuju Pertanian Alami dengan Teknologi Effective Microorganisms. Tumbuh :24 – 26, Jakarta.

Palaniappan, S.P., 1988. Cropping System in The Tropic. Wiley Eastern Limited and and Tamil Nadu Agricultural university.

Prihatini, T., A. Kentjanasari dan J. Sri Adiningsih, 1996. Peningkatan Kesuburan Tanah Melalui Pemanfaatan Biofertilizer dan Bahan Organik. Makalah dsampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi. Universitas Brawijaya, Malang.

Silitonga, C., 1994. LISA, sistem Pertanian Akrab. Buletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 69 - 70.

Sugito, Y., Nuraini, dan E. Nihayati, 1995. Sistem Pertanian Organik. Faperta. Unibra, Malang.

Thahir dan Hatmadi, 1985. Tumpang Gilir (Multiple Cropping). Direktorat Penyuluhan Pertanian Pasar Minggu, Jakarta.

Trenbath, B. R., 1976. Plant Interaction in Mixed Crop Communities. . Matthias Satelly (ed). Multiple Cropping American Society of Agronomy. Crop Science Society of America and Soil Science of America Inc. Visconsin.129 - 169

Wididana G.N, dan T. Higa, 1994. Effective of Microorganisms on The Growth and Production of Crop. Buletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 27 - 35.

Wididana G.N, dan T. Higa1994. Penuntun Bercocok Tanam Padi dengan Teknologi EM-4. PT. Songgolangit Persada, Jakarta

Wididana G.N, M. S Wigenasantana, dan T. Higa, 1994. Application of Effective Microorganisms (EM) and Bokashi onNatural Farming. Buletin Kyusei Nature Farming 03 (2) : 47 - 54.

Tidak ada komentar: