March 4, 2007 at 4:37 am (Sejarah Bangsa)
Oleh ANDREAS MARYOTO
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0604/20/nasional/2590769.htm
—————————————————-
Ketika petani padi Korea Selatan dan Jepang berunjuk rasa menentang liberalisasi pasar beras, mereka berteriak keras, usaha tani padi harus dilindungi. Mereka menyatakan, perlindungan itu terkait keyakinan dan penghormatan terhadap nenek moyang mereka, yaitu petani padi.
Mereka menyatakan, meski negara mereka sudah maju, mereka tetap menghormati nenek moyang mereka. “Nenek moyang kami adalah petani padi,” kata mereka di majalah Time beberapa waktu lalu.
Apakah nenek moyang bangsa Indonesia juga petani padi?
Penelitian kosakata budaya yang diduga digunakan pada masa prasejarah memberi petunjuk bahwa cocok tanam padi sudah dilakukan pada masa itu. Kosakata yang diteliti adalah kosakata yang diduga termasuk dalam bahasa Melayu Purba, yang merupakan leluhur bahasa Melayu modern dan bahasa Indonesia.
Ahli bahasa Robert Blust dalam sebuah tulisannya di dalam buku Masa Lampau Bahasa Indonesia, Sebuah Bunga Rampai (1991) menyatakan, dari penelitian kosakata budaya itu diketahui bahwa penutur bahasa Melayu Purba memiliki orientasi kelautan yang kuat. Pada saat yang bersamaan, rakyat mempraktikkan hortikultura ladang, padi gogo, dan umbi-umbian.
Peneliti JC Anceaux dalam buku yang sama mengutip penelitian Hendrik Kern asal Belanda, menyebutkan bahwa kosakata yang terkait dengan padi ditemukan penutur di bagian barat Austronesia—asal nenek moyang bangsa Melayu—namun tidak ditemukan di wilayah timur.
Keyakinan Kern makin kuat ketika menemukan kata beras di Indonesia dan kata bras di Tibet yang memiliki arti yang sama. Ia mengatakan,orang Tibet meminjam kata bras dari bahasa Austronesia, yaitu ketika penutur kedua bahasa berhubungan di satu tempat. Tempat pertemuan itu kemungkinan berada di Asia Tenggara.
Prof Koentjaraningrat dalam buku Kebudayaan Jawa (1984) menyatakan, cocok tanam padi dengan sistem peladangan diduga berasal dari Birma Utara. Sistem itu kemudian menyebar ke Semenanjung Melayu hingga di Kepulauan Nusantara (Indonesia dan Filipina) pada saat migrasi.
Teknologi
Sampai awal abad Masehi, pertanian padi di Nusantara diperkirakan masih sederhana. Pertanian padi masih tetap berbentuk perladangan, seperti padi huma yang masih ditemukan di sejumlah daerah di Jawa Barat. Relatif tidak ada sentuhan teknologi.
teknologi cocok tanam padi mulai muncul ketika pengaruh India masuk. Di dalam beberapa tulisan di jurnal Orissa Review, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi Orissa di India, disebutkan bahwa bangsa Kalinga (nama sebelum Orissa) yang berada di India selatan itu masuk ke wilayah Jawa sekitar abad keempat. Kedatangan mereka yang terdiri dari berbagai kasta membawa pengaruh dalam teknologi penanaman padi.
Kasta brahmana yang berkuasa atas ilmu pengetahuan antara lain membawa metode penanaman padi dengan pengairan. Kaum brahmana memperkenalkan sejumlah teknologi yang memungkinkan produksi padi meningkat.
Setelah itu, nenek moyang kita mulai menanam padi dengan cara pengairan atau yang sekarang dikenal dengan sawah. Sejumlah kakawin dan kidung berbahasa Jawa Kuno (abad ke-8-14) yang diteliti oleh Prof PJ Zoetmulder di dalam buku Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (1983) telah menyebut keberadaan sawah. Di dalam kakawin itu
dikisahkan, raja mendatangi kawasan pedesaan dan melihat sejumlah orang menanam padi.
Dalam salah satu kakawin juga disebutkan, beberapa biarawan terlihat menanam padi. Ada juga penyebutan keberadaan lumbung padi. Sayang sekali jumlah informasi mengenai budidaya padi memang sangat minim di dalam kakawin ataupun kidung karena karya sastra ini lebih banyak berbicara dalam tataran keraton.
Catatan yang agak lebih komplet terdapat di dalam kitab Desawarnana atau Negarakertagama. Di dalam kitab ini diceritakan tentang raja yang memanggil rakyatnya untuk membuka hutan, kemudian menjadikannya lahan untuk sawah. Rakyat yang mendapat hak untuk mengelola lahan itu harus membayar pajak ke raja. Sawah beririgasi juga sudah disebut dalam kitab itu.
Selama masa Majapahit, ekspor beras juga sudah dilakukan. Meski demikian, Koentjaraningrat telah menyebut adanya petani miskin di desa yang serba miskin, di samping mereka yang bergaya hidup keraton dengan segala kemewahannya.
Setelah Majapahit, catatan mengenai budidaya padi terdapat di Mataram. Di dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya (1996) karya Dennys Lombard terdapat catatan mengenai kepemilikan sawah. Di Mataram, sawah tidak hanya dimiliki oleh raja, tetapi juga oleh bangsawan. Bangsawan berhak mengelola lahan yang kemudian dikerjakan oleh rakyat
biasa.
Di dalam buku yang sama disebutkan, tahun 1804 Residen Yogyakarta Matthias Waterloo mencatat mengenai kondisi produksi padi. “Cukuplah kita bandingkan daerah penghasil padi sekarang dan dua puluh tahun sebelumnya,” katanya.
Ketika Inggris berkuasa di Jawa, Gubernur Jenderal TS Raflles (1811-1816) juga menulis, sedikit negeri yang rakyatnya bisa makan sebaik di Jawa. Jarang orang pribumi yang tidak dapat memperoleh satu kati beras yang dibutuhkan per hari. Di dalam bukunya berjudul History of Java (1817), Raflles merinci berbagai alat yang digunakan untuk budidaya padi.
Catatan oleh penulis lainnya menyebutkan, di Kesultanan Yogyakarta beras masih merupakan komoditas ekspor utama, selain produk lainnya seperti tembakau, batik, dan kain.
Di samping berbagai catatan di atas, keberadaan mitos mengenai dewi pelindung pertanian, yaitu Dewi Sri, membuktikan bahwa budidaya padi merupakan bagian hidup yang penting dari masyarakat di Nusantara, terutama Jawa. Hingga kini pemujaan terhadap Dewi Sri masih dilakukan petani di berbagai daerah.
Di dalam buku Serat Cariyos Dewi Sri disebutkan, cerita tentang Dewi Sri merupakan salah satu hasil karya sastra Jawa. Cerita itu mengisahkan turunnya Dewi Sri dari surga ke dunia dengan membawa benih padi yang kemudian menjadi bahan makanan pokok orang Jawa. Dewi Sri dianggap sebagai tokoh mistis yang dapat memengaruhi kehidupan
manusia sebagai pelindung pertanian.
Kemiskinan
Kisah-kisah petani padi setelah pertengahan abad ke-19—sejak tanam paksa diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch(1830)—makin banyak diwarnai kisah pilu. Pada masa itu mulai terdapat kelaparan di berbagai daerah seperti di Cirebon akibat konversi sawah menjadi lahan perkebunan.
Peneliti Peter Boomgard dalam disertasinya tahun 1989, yang kemudian menjadi buku dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Anak Jajahan Belanda, menyebutkan, meski selama tahun 1815-1880 mayoritas terbesar penduduk Jawa bekerja di sektor pertanian, makin banyak penduduk di daerah pedesaan terlibat dalam kegiatan
nonpertanian sebagai sumber penghasilan.
Citra Jawa pada abad ke-19—yang juga terus terjadi hingga kini—adalah kemiskinan dan kemandekan. Pulau itu memang dihuni jutaan petani yang harus hidup dari petak-petak tanah mereka yang kecil dan jutaan kuli yang berusaha untuk hidup di daerah perkotaan yang padat penduduk. Laporan kelaparan kembali terjadi setelah krisis ekonomi 1930.
Situasi itu sebenarnya sudah meresahkan. Peneliti Prof WF Wertheim pernah mengatakan, ketimpangan yang semakin besar di Jawa hanya tinggal menunggu “tutupnya meledak”. Meski demikian, ada juga yang sependapat dengan Prof C Geertz bahwa kaum tani Jawa tidak akan menuju situasi eksplosif, tetapi akan puas dengan “berinvolusi”
karena sudah terbiasa “berbagi kemiskinan”.
Koentjaraningrat pernah mengusulkan suatu studi mengenai para petani miskin yang tidak memiliki tanah ini dapat menyesuaikan diri dengan suatu kehidupan yang penuh kesengsaraan dan dapat bertahan hidup di daerah pedesaan di Jawa.
Agraris
Apa pun situasinya pada masa lalu dan masa sekarang, pengakuan terhadap nenek moyang kita yang adalah petani padi tidak bisa dihindari. Bila pembaca kurang percaya dengan kenyataan ini,telitilah nama orangtua kita atau kakek-nenek kita sendiri, denganmudah ditemukan bahwa nenek moyang kita memang petani padi.
Bila saja pendahulu kita bernama tidak jauh dari nama Ponimin,Parjiman, Mujinem, Mujirah, Parijan, dan lain-lain, sebenarnya asal-usul kita memang dari generasi petani padi masa lalu. Seorang peneliti bernama R Hatley (1977) pernah menyelidiki sejumlah nama penduduk di Jawa. Ia menemukan beberapa nama yang menunjukkan asal
lingkungannya adalah dusun-dusun agraris.
Dari kenyataan ini, masihkah kita membiarkan petani padi sengsara,padahal kita tahu persis mereka adalah nenek moyang kita? Korea Selatan dan Jepang menggunakan kisah, sejarah, dan tradisi nenek moyangnya dalam berdiplomasi di forum internasional agar para petani mendapat perlindungan yang memadai.
Rabu, 29 Oktober 2008
Selasa, 28 Oktober 2008
Pemanfaatan Limbah Pabrik Gula dan Ethanol Menjadi Pupuk Organik Bernilai Ekonomi Tinggi
Asep Solihin - 07 Aug 2008
Berawal dari kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menangani masalah pengadaan, riset dan development, dari satu perusahaan yang bergerak di Vagatable Food Processing & Packaging untuk tujuan expor ke negara belahan Eropa dan Amerika. Kenyataannya, penerapan cara Pertanian Organik Modern masih belum populer untuk diterapkan di negara kita, sehingga perusahan tersebut memberikan kepercayaan lagi kepada kami untuk terus mengembangkan sistem Pertanian Organik yang intergeted, agar hasil dari pertaniannya bisa masuk pasaran Eropa dan Amerika yang sudah lama meninggalkan sistem pertanian unorganik ( Kimia ).
Untuk menjaga tanaman dari hama dan pestisida kimia, kami mengembangkan Greenhouse, yang berfungsi pula untuk menjamin kelangsungan produksi agar tidak tergantung pada musim. Setelah Greenhouse jadi, dalam sekala percobaan, kami menanam beberapa jenis komoditi yang akan kami expor di antaranya: cabe, terong, dan tomat, langsung di atas tanah seperti biasanya.
Kami tidak menggunakan pestisida, karena kami menanam dalam Greenhouse tadi, dengan di cover dengan net yang bisa menahan hama Cabuk ( White fly ) pembawa virus Bemicia tabaci yang cukup sulit untuk diberatas.
Menanam di atas tanah seperti bisanya ternyata memerlukan pemupukan secara kimia yang sangat banyak di luar kewajaran secara kalkulasi ekonomi, dan dari hasilnya tidak bisa masuk katagori organik. Jadi dari kualitas dan harga kita tidak bisa bersaing di pasar global.
Dengan kendala yang dihadapi itu, kami simpulkan untuk memperbaiki tanah pertanian dengan penambahan bahan organik yang sudah hampir hilang di seluruh tanah pertanian kita, akibat pemakaian pupuk kimia yang terus menerus (hampir 30–35 tahun), dan upaya perbaikan tanah hampir tidak pernah dilakukan.
Dengan perhitungn ekonomis, perbaikan tanah pertanian memerlukan waktu dan biaya yang sangat tinggi, jadi kami mencoba menanam jenis komoditas tadi di dalam polibag, menggunakan media yang umum di pakai, seperti kotoran ternak, cocopeat, arang sekam dengan campuran yang disesuaikan dengan jenis tamanan. Untuk tanaman yang hampir 22.000 tanaman/ha, memerlukan sekitar 200 tons media tanam untuk tahap pertama, selanjutnya hanya di tambah 25 % atau 50 tons/musim tanam/ha. Dan kami sangat kesulitan mendapatkan posokan media tanam sebanyak itu.
Pengolahan Limbah Gula sebagai Pupuk Organik
Kebetulan lokasi kami berdekatan dengan pabrik gula dari bahan tebu yang mempunyai limbah organik berupa blotong (filter cake), dan abu boiler di Desa Kebon Agung Pakis Aji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Blotong (filter cake) merupakan limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula, dimana dalam suatu proses produksi gula akan dihasilkan blotong dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai contoh, pada tahun 2003 dalam satu proses produksi gula di P.G. Kebon Agung mampu menghasilkan limbah blotong sebanyak 21.000 ton sedang di P.G PTPN X mampu menghasilkan limbah blotong sebanyak 110.000 ton.
Sementara ini pemanfatan blotong, sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya pun terbatas. Hal ini disebabkan karena :
1. Pengolahan limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan, masih belum sempurna.
2. Minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong.
Vinasse merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan Ethanol. Dalam proses pembuatan 1 liter Ethanol akan dihasilkan limbah ( vinasse ) sebanyak 13 liter (1 : 13). Dari angka perbandingan di atas maka semakin banyak Ethanol yang diproduksi akan semakin banyak pula limbah yang dihasilkannya. Jika limbah ini tidak tertangani dengan baik maka di kemudian hari, limbah ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan.
Salah satu cara pemanfaatan limbah ini yaitu dengan merubah vinasse menjadi pupuk organik cair dengan menggunakan metode tertentu. Hal ini mungkin dilakukan karena kandungan unsur kimia dalam vinasse sebagian besar merupakan unsur organik yang berguna dan dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.
Di Indonesia penggunaan pupuk organik sangat minim dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen pupuk organik, dan minimnya pengetahuan petani tentang manfaat pengguanan pupuk organik.
Dengan adanya hal tersebut di atas maka akan tepat jika limbah yang sedemikian besar tadi dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
Limbah filter cake, abu boiler, dan vinasse merupakan bahan organik. Untuk bisa menjadi pupuk organik yang siap diaplikasikan maka diperlukan suatu proses dekomposisi bahan oleh bantuan mikoorganisme. Proses daur ulang limbah menjadi pupuk dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme secara manual. Sekitar 20-23 hari, proses thermopolik bisa tercapai, maka jadilah humus yang kandungan unsurnya cukup bagus dan berguna untuk memperbaiki struktur tanah.
Peluang Pasar
Seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pertanian organik dan gerakan moral yang menyerukan kembalinya pemakaian bahan-bahan organik seperti untuk pupuk, pestisida dan lain-lain. Sebagai bahan dasar dalam usaha pertanian, maka kebutuhan bahan organik terutama pupuk organik menjadi semakin besar. Hal ini sangatlah beralasan karena pemakaian bahan organik pada usaha pertanian lebih menguntungkan bila ditinjau dari nilai ekonomis, keamanan, lingkungan dan kesehatan.
Akan tetapi kebutuhan pupuk organik yang terus meningkat dari tahun ke tahun tersebut tidak diimbangi dengan suplay pupuk organik yang mencukupi. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen atau pengolah pupuk organik yang ada di tanah air. Disamping itu bisnis pupuk organik ini dinilai kurang menguntungkan oleh produsen pupuk jika dibanding dengan pupuk kimia.
Hal tersebut sebenarnya bukan dikarenakan tidak adanya kebutuhan pupuk organik di tingkat konsumen (petani) tetapi lebih mengacu kepada ketidak-tahuan petani akan manfaat dari penggunaan pupuk organik tersebut dan keengganan pihak yang terkait untuk memberikan penyuluhan tentang hal tersebut.
Pupuk organik akan menjadi suatu bisnis yang sangat menguntungkan apabila kesadaran petani akan manfaat penggunaan pupuk organik baik jangka pendek maupun jangka panjang semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya bermata pencaharian di sektor pertanian.
Kita bisa mengetahui besarnya potensi pasar pupuk organik ini yaitu dengan mengasumsikan kebutuhan pupuk organik per ha x luas areal x musim tanam setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, kita ambil contoh kebutuhan pupuk organik di Kabupaten Malang, yaitu sawah 819.044,20 ton/th, tegal 901.912 ton/th, perkebunan 305.640 ton/th. Maka jumlah kebutuhan pupuk organik di Kabupaten Malang keseluruhan 2.020.596 ton/th.
Dari uraian table diatas dapat diketahui besarnya potensi pasar pupuk organik di kabupaten Malang dan apabila pasar ini dapat dikelola dengan suatu sistem yang baik, maka peluang bisnis pupuk organik ini masih terbuka sangat lebar.
Asep Solihin
Sebagai Direktur Trisukses Bio-Organic yang telah mengolah Limbah Gula dan Ethanol menjadi Pupuk Organik (Humus Organic Soil Conditioner-HOSC)
Berawal dari kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menangani masalah pengadaan, riset dan development, dari satu perusahaan yang bergerak di Vagatable Food Processing & Packaging untuk tujuan expor ke negara belahan Eropa dan Amerika. Kenyataannya, penerapan cara Pertanian Organik Modern masih belum populer untuk diterapkan di negara kita, sehingga perusahan tersebut memberikan kepercayaan lagi kepada kami untuk terus mengembangkan sistem Pertanian Organik yang intergeted, agar hasil dari pertaniannya bisa masuk pasaran Eropa dan Amerika yang sudah lama meninggalkan sistem pertanian unorganik ( Kimia ).
Untuk menjaga tanaman dari hama dan pestisida kimia, kami mengembangkan Greenhouse, yang berfungsi pula untuk menjamin kelangsungan produksi agar tidak tergantung pada musim. Setelah Greenhouse jadi, dalam sekala percobaan, kami menanam beberapa jenis komoditi yang akan kami expor di antaranya: cabe, terong, dan tomat, langsung di atas tanah seperti biasanya.
Kami tidak menggunakan pestisida, karena kami menanam dalam Greenhouse tadi, dengan di cover dengan net yang bisa menahan hama Cabuk ( White fly ) pembawa virus Bemicia tabaci yang cukup sulit untuk diberatas.
Menanam di atas tanah seperti bisanya ternyata memerlukan pemupukan secara kimia yang sangat banyak di luar kewajaran secara kalkulasi ekonomi, dan dari hasilnya tidak bisa masuk katagori organik. Jadi dari kualitas dan harga kita tidak bisa bersaing di pasar global.
Dengan kendala yang dihadapi itu, kami simpulkan untuk memperbaiki tanah pertanian dengan penambahan bahan organik yang sudah hampir hilang di seluruh tanah pertanian kita, akibat pemakaian pupuk kimia yang terus menerus (hampir 30–35 tahun), dan upaya perbaikan tanah hampir tidak pernah dilakukan.
Dengan perhitungn ekonomis, perbaikan tanah pertanian memerlukan waktu dan biaya yang sangat tinggi, jadi kami mencoba menanam jenis komoditas tadi di dalam polibag, menggunakan media yang umum di pakai, seperti kotoran ternak, cocopeat, arang sekam dengan campuran yang disesuaikan dengan jenis tamanan. Untuk tanaman yang hampir 22.000 tanaman/ha, memerlukan sekitar 200 tons media tanam untuk tahap pertama, selanjutnya hanya di tambah 25 % atau 50 tons/musim tanam/ha. Dan kami sangat kesulitan mendapatkan posokan media tanam sebanyak itu.
Pengolahan Limbah Gula sebagai Pupuk Organik
Kebetulan lokasi kami berdekatan dengan pabrik gula dari bahan tebu yang mempunyai limbah organik berupa blotong (filter cake), dan abu boiler di Desa Kebon Agung Pakis Aji, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Blotong (filter cake) merupakan limbah padat hasil dari proses produksi pembuatan gula, dimana dalam suatu proses produksi gula akan dihasilkan blotong dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai contoh, pada tahun 2003 dalam satu proses produksi gula di P.G. Kebon Agung mampu menghasilkan limbah blotong sebanyak 21.000 ton sedang di P.G PTPN X mampu menghasilkan limbah blotong sebanyak 110.000 ton.
Sementara ini pemanfatan blotong, sebagai pupuk organik masih belum maksimal dan penggunanya pun terbatas. Hal ini disebabkan karena :
1. Pengolahan limbah blotong menjadi pupuk organik masih bisa dikatakan hanya asal-asalan, masih belum ditangani dengan menggunakan satu proses yang baik dan benar sehingga pupuk organik yang dihasilkan, masih belum sempurna.
2. Minimnya pengetahuan petani akan manfaat penggunaan pupuk organik dari bahan blotong.
Vinasse merupakan limbah cair yang dihasilkan dari proses pembuatan Ethanol. Dalam proses pembuatan 1 liter Ethanol akan dihasilkan limbah ( vinasse ) sebanyak 13 liter (1 : 13). Dari angka perbandingan di atas maka semakin banyak Ethanol yang diproduksi akan semakin banyak pula limbah yang dihasilkannya. Jika limbah ini tidak tertangani dengan baik maka di kemudian hari, limbah ini akan menjadi masalah yang berdampak tidak baik bagi lingkungan.
Salah satu cara pemanfaatan limbah ini yaitu dengan merubah vinasse menjadi pupuk organik cair dengan menggunakan metode tertentu. Hal ini mungkin dilakukan karena kandungan unsur kimia dalam vinasse sebagian besar merupakan unsur organik yang berguna dan dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman.
Di Indonesia penggunaan pupuk organik sangat minim dilakukan oleh petani. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen pupuk organik, dan minimnya pengetahuan petani tentang manfaat pengguanan pupuk organik.
Dengan adanya hal tersebut di atas maka akan tepat jika limbah yang sedemikian besar tadi dimanfaatkan menjadi pupuk organik.
Limbah filter cake, abu boiler, dan vinasse merupakan bahan organik. Untuk bisa menjadi pupuk organik yang siap diaplikasikan maka diperlukan suatu proses dekomposisi bahan oleh bantuan mikoorganisme. Proses daur ulang limbah menjadi pupuk dapat dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme secara manual. Sekitar 20-23 hari, proses thermopolik bisa tercapai, maka jadilah humus yang kandungan unsurnya cukup bagus dan berguna untuk memperbaiki struktur tanah.
Peluang Pasar
Seiring dengan kebijakan pemerintah tentang pertanian organik dan gerakan moral yang menyerukan kembalinya pemakaian bahan-bahan organik seperti untuk pupuk, pestisida dan lain-lain. Sebagai bahan dasar dalam usaha pertanian, maka kebutuhan bahan organik terutama pupuk organik menjadi semakin besar. Hal ini sangatlah beralasan karena pemakaian bahan organik pada usaha pertanian lebih menguntungkan bila ditinjau dari nilai ekonomis, keamanan, lingkungan dan kesehatan.
Akan tetapi kebutuhan pupuk organik yang terus meningkat dari tahun ke tahun tersebut tidak diimbangi dengan suplay pupuk organik yang mencukupi. Hal ini dikarenakan sedikitnya produsen atau pengolah pupuk organik yang ada di tanah air. Disamping itu bisnis pupuk organik ini dinilai kurang menguntungkan oleh produsen pupuk jika dibanding dengan pupuk kimia.
Hal tersebut sebenarnya bukan dikarenakan tidak adanya kebutuhan pupuk organik di tingkat konsumen (petani) tetapi lebih mengacu kepada ketidak-tahuan petani akan manfaat dari penggunaan pupuk organik tersebut dan keengganan pihak yang terkait untuk memberikan penyuluhan tentang hal tersebut.
Pupuk organik akan menjadi suatu bisnis yang sangat menguntungkan apabila kesadaran petani akan manfaat penggunaan pupuk organik baik jangka pendek maupun jangka panjang semakin meningkat. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Indonesia pada umumnya bermata pencaharian di sektor pertanian.
Kita bisa mengetahui besarnya potensi pasar pupuk organik ini yaitu dengan mengasumsikan kebutuhan pupuk organik per ha x luas areal x musim tanam setiap tahunnya. Untuk lebih jelasnya, kita ambil contoh kebutuhan pupuk organik di Kabupaten Malang, yaitu sawah 819.044,20 ton/th, tegal 901.912 ton/th, perkebunan 305.640 ton/th. Maka jumlah kebutuhan pupuk organik di Kabupaten Malang keseluruhan 2.020.596 ton/th.
Dari uraian table diatas dapat diketahui besarnya potensi pasar pupuk organik di kabupaten Malang dan apabila pasar ini dapat dikelola dengan suatu sistem yang baik, maka peluang bisnis pupuk organik ini masih terbuka sangat lebar.
Asep Solihin
Sebagai Direktur Trisukses Bio-Organic yang telah mengolah Limbah Gula dan Ethanol menjadi Pupuk Organik (Humus Organic Soil Conditioner-HOSC)
Leopold Center: Pangan lokal lebih aman dan sehat daripada pangan impor
- 13 Nov 2007
Ani Purwati
Survei terbaru menunjukkan bahwa konsumen Amerika Serikat skeptis terhadap keamanan sistem makanan global dan sebagian percaya bahwa pangan lokal lebih aman dan baik bagi kesehatan daripada pangan dari tempat yang jauh (impor).
Ini adalah pandangan dari responden yang mewakili, dengan sample 500 konsumen di seluruh negeri yang berpartisipasi dalam survei web yang diselenggarakan Leopord Center for Sustainable Agriculture, Juli 2007. Tanggapan mereka terangkum dalam Laporan Leopold Center, "Persepsi konsumen tentang keamanan, kesehatan dan lingkungan dampak dari berbagai skala dan kondisi geografi rantai suplai makanan." Paper ini ditulis oleh Rich Pirog, yang memimpin Center's Marketing and Food Systems Initiative dan Andy Larson (lulusan Iowa State University).
Sasaran studi adalah untuk mengukur persepsi konsumen tentang keamanan pangan, dampak bermacam skala dan metode produksi sistem makanan pada emisi gas rumah kaca, kemampuan membayar sistem makanan yang mengurangi emisi gas rumah kaca, manfaat kesehatan pangan lokal dan organik.
Survei responden menyebutkan tentang pentingnya keamanan pangan, kesegaran (tanggal panenan) dan tanpa penggunaan pestisida pada produk segar, dengan paling tidak produksi produk lokal, tingkat emisi gas rumah kaca dan transport produk, dan apakah responden dapat menghubungi petani yang mengembangkannya.
Pirog mengatakan bahwa 70 persen responden merasa sistem pangan Amerika Serikat menjadi aman, setelah mereka bertanya tentang keamanan produk segar. Delapan puluh lima persen dan 88 persen responden berturut-turut merasa sistem pangan lokal dan regional sedikitnya menjadi aman atau sangat aman dibandingkan hanya 12 persen sistem pangan global.
Faktor kesehatan juga berpengaruh atas sikap konsumen, lebih dari dua pertiga responden (69 persen) paling tidak dengan kuat setuju bahwa pangan lokal lebih baik bagi kesehatan perseorangan daripada pangan yang telah menempuh perjalanan jauh (antar negara).
Apakah konsumen berkeinginan membayar makanan dari rantai suplai yang menghasilkan setengah gas rumah kaca pada rantai konvensional? Hampir setengah responden dari survei akan membayar 10-30 persen premium, tetapi persentasi yang sama juga menyatakan tidak akan membayar.
"Dengan peningkatan yang dramatis popularitas pangan lokal, petani yang mengembangkan pangan ini dan organisasi yang mendukung petani dan makanan ini akan diminta membuktikan adanya ekonomis, ramah lingkungan dan manfaat kesehatan produk ini, dan untuk memastikan keberlanjutan keamanan sebagai bagian rantai makanan," kata Pirog.
Dia menyatakan bahwa temuan menunjukkan akan kebutuhan kritis akan penelitian yang lebih dalam. "Lembaga Pemerintah, universitas, profesional kesehatan, perusahaan swasta, dan organisasi non profit membutuhkan kerjasama pengembangan petani dan proses pangan lokal untuk mengembangkan penelitian tentang rantai suplai makanan," tambahnya.
Ani Purwati
Survei terbaru menunjukkan bahwa konsumen Amerika Serikat skeptis terhadap keamanan sistem makanan global dan sebagian percaya bahwa pangan lokal lebih aman dan baik bagi kesehatan daripada pangan dari tempat yang jauh (impor).
Ini adalah pandangan dari responden yang mewakili, dengan sample 500 konsumen di seluruh negeri yang berpartisipasi dalam survei web yang diselenggarakan Leopord Center for Sustainable Agriculture, Juli 2007. Tanggapan mereka terangkum dalam Laporan Leopold Center, "Persepsi konsumen tentang keamanan, kesehatan dan lingkungan dampak dari berbagai skala dan kondisi geografi rantai suplai makanan." Paper ini ditulis oleh Rich Pirog, yang memimpin Center's Marketing and Food Systems Initiative dan Andy Larson (lulusan Iowa State University).
Sasaran studi adalah untuk mengukur persepsi konsumen tentang keamanan pangan, dampak bermacam skala dan metode produksi sistem makanan pada emisi gas rumah kaca, kemampuan membayar sistem makanan yang mengurangi emisi gas rumah kaca, manfaat kesehatan pangan lokal dan organik.
Survei responden menyebutkan tentang pentingnya keamanan pangan, kesegaran (tanggal panenan) dan tanpa penggunaan pestisida pada produk segar, dengan paling tidak produksi produk lokal, tingkat emisi gas rumah kaca dan transport produk, dan apakah responden dapat menghubungi petani yang mengembangkannya.
Pirog mengatakan bahwa 70 persen responden merasa sistem pangan Amerika Serikat menjadi aman, setelah mereka bertanya tentang keamanan produk segar. Delapan puluh lima persen dan 88 persen responden berturut-turut merasa sistem pangan lokal dan regional sedikitnya menjadi aman atau sangat aman dibandingkan hanya 12 persen sistem pangan global.
Faktor kesehatan juga berpengaruh atas sikap konsumen, lebih dari dua pertiga responden (69 persen) paling tidak dengan kuat setuju bahwa pangan lokal lebih baik bagi kesehatan perseorangan daripada pangan yang telah menempuh perjalanan jauh (antar negara).
Apakah konsumen berkeinginan membayar makanan dari rantai suplai yang menghasilkan setengah gas rumah kaca pada rantai konvensional? Hampir setengah responden dari survei akan membayar 10-30 persen premium, tetapi persentasi yang sama juga menyatakan tidak akan membayar.
"Dengan peningkatan yang dramatis popularitas pangan lokal, petani yang mengembangkan pangan ini dan organisasi yang mendukung petani dan makanan ini akan diminta membuktikan adanya ekonomis, ramah lingkungan dan manfaat kesehatan produk ini, dan untuk memastikan keberlanjutan keamanan sebagai bagian rantai makanan," kata Pirog.
Dia menyatakan bahwa temuan menunjukkan akan kebutuhan kritis akan penelitian yang lebih dalam. "Lembaga Pemerintah, universitas, profesional kesehatan, perusahaan swasta, dan organisasi non profit membutuhkan kerjasama pengembangan petani dan proses pangan lokal untuk mengembangkan penelitian tentang rantai suplai makanan," tambahnya.
Hari Pangan Sedunia: Tingkatkan Solidaritas untuk Petani dan Pertanian Berkelanjutan
Ani Purwati - 17 Nov 2007
Sudah saatnya masyarakat memperhatikan dan meningkatkan solidaritas pada petani. Sebagai tulang punggung produksi pangan, selama ini hak-hak petani terabaikan. Padahal pangan adalah hak paling dasar manusia. Tanpa kerja keras petani, pangan akan sulit dipenuhi.
Menurut Witoro dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) sebagai Koordinator Aliansi Peduli Pangan saat peringatan Hari Pangan Sedunia di Pasar Tani (pelataran parkir Monas), Jakarta (17/11), kebutuhan pangan penduduk DKI Jakarta yang metropolis sangat tergantung pada petani di daerah produksi sekitarnya. Maka sudah semestinya masyarakat sebagai konsumen peduli pada petani.
”Kita harus bahu membahu mengurangi pangan impor secara perlahan. Pangan impor hanya akan menghancurkan kehidupan petani dan konsumen,” ungkap Witoro.
Dengan hadirnya pangan impor, pangan lokal hasil produksi petani menjadi kalah bersaing. Berbagai produk pangan impor membuat harga produk petani menjadi jatuh dan akhirnya pendapatan petani menjadi jauh dari kelayakan.
Selain itu produk-produk pangan impor hanya akan meningkatkan ketergantungan konsumen pada produk luar negeri dan secara perlahan menggusur keanekaragaman produk lokal. Di pihak lain, ketergantungan pada produk pangan impor akan mematahkan semangat dan kreativitas petani untuk berproduksi.
Pada kesempatan yang sama Damayanti Buchori dari Yayasan Kehati menyatakan bahwa pangan sebagai hak dasar manusia berarti semua berawal dari makanan. Namun sayangnya pemenuhan pangan hanya sebatas pada rasa, sementara isu keberpihakan untuk berjuang bagi kepentingan bangsa sendiri dengan mengkonsumsi pangan lokal sering diabaikan.
”Internasional juga pasar kita maka yang terpenting menjaga keseimbangan antara produk lokal dan impor. Inilah yang sulit dilakukan. Padahal kita bisa membantu petani dengan memilih makanan kita,” kata Buchori.
Dalam hal memilih makanan menurutnya, ibu rumah tangga berperan penting. Dengan pilihan makanan yang tepat, maka ibu telah membantu petani dan bangsa untuk mandiri dalam ketersediaan pangan. ”Meski demikian keberpihakan dapat dimulai dari siapa saja,” tegasnya.
Sebagai penggerak PKK di DKI Jakarta, Henny Muhayat menyampaikan bahwa masalah pangan perlu dipecahkan dengan kerjasama. Pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat terpenuhi dengan mendorong kemampuan produksi desa atau daerah terdekat dari DKI sebagai sumber kebutuhan pangan warga DKI Jakarta. Maka diperlukan rekomendasi kebijakan dan langkah bersama antara konsumen dan petani.
Dengan program kesejahteraan keluarga, maka PKK juga berkewajiban memenuhi pangan yang erat kaitannya dengan sumber daya manusia sebagai indikatornya. ”Saat ini yang terpenting juga adalah mengubah pandangan dari pangan hanya untuk makan menjadi kita makan untuk meningkatkan mutu hidup kita dan capai sehat 2010,” katanya.
Di pihak lain, menurut Amar Ma’ruf dari Aliansi Buruh Menggugat, buruh sebagai salah satu konsumen di kota-kota besar termasuk DKI Jakarta ini juga harus mendapat perhatian. Dengan upah layak untuk memenuhi kebutuhan hidup, buruh mampu mengkonsumsi makanan yang sehat dengan harga yang layak bagi petani. Sehingga mampu menciptakan kerjasama yang seimbang antara buruh sebagai konsumen dengan petani.
Namun kenyataannya selama ini upah buruh di DKI Jakarta masih dinilai jauh dari kelayakan. Sehingga untuk memilih makanan yang sehat dan terjangkau sangat sulit.
Aliasni Peduli Pangan juga memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh di setiap 16 Oktober ini dengan diskusi dan pameran produk-produk pertanian yang sebagian besar organik. Dengan diskusi diharapkan mampu memberi pemecahan pada masalah pangan. Melalui pameran diharapkan mampu menunjukkan kerja keras petani dalam memproduksi pangan serta menciptakan dialog dan kerjasama petani dan konsumen di DKI Jakarta. Sehingga petani mampu memproduksi pangan yang sehat atau bebas pestisida dan lestari tanpa rekayasa genetik serta konsumen dapat mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan sehat.
Sudah saatnya masyarakat memperhatikan dan meningkatkan solidaritas pada petani. Sebagai tulang punggung produksi pangan, selama ini hak-hak petani terabaikan. Padahal pangan adalah hak paling dasar manusia. Tanpa kerja keras petani, pangan akan sulit dipenuhi.
Menurut Witoro dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) sebagai Koordinator Aliansi Peduli Pangan saat peringatan Hari Pangan Sedunia di Pasar Tani (pelataran parkir Monas), Jakarta (17/11), kebutuhan pangan penduduk DKI Jakarta yang metropolis sangat tergantung pada petani di daerah produksi sekitarnya. Maka sudah semestinya masyarakat sebagai konsumen peduli pada petani.
”Kita harus bahu membahu mengurangi pangan impor secara perlahan. Pangan impor hanya akan menghancurkan kehidupan petani dan konsumen,” ungkap Witoro.
Dengan hadirnya pangan impor, pangan lokal hasil produksi petani menjadi kalah bersaing. Berbagai produk pangan impor membuat harga produk petani menjadi jatuh dan akhirnya pendapatan petani menjadi jauh dari kelayakan.
Selain itu produk-produk pangan impor hanya akan meningkatkan ketergantungan konsumen pada produk luar negeri dan secara perlahan menggusur keanekaragaman produk lokal. Di pihak lain, ketergantungan pada produk pangan impor akan mematahkan semangat dan kreativitas petani untuk berproduksi.
Pada kesempatan yang sama Damayanti Buchori dari Yayasan Kehati menyatakan bahwa pangan sebagai hak dasar manusia berarti semua berawal dari makanan. Namun sayangnya pemenuhan pangan hanya sebatas pada rasa, sementara isu keberpihakan untuk berjuang bagi kepentingan bangsa sendiri dengan mengkonsumsi pangan lokal sering diabaikan.
”Internasional juga pasar kita maka yang terpenting menjaga keseimbangan antara produk lokal dan impor. Inilah yang sulit dilakukan. Padahal kita bisa membantu petani dengan memilih makanan kita,” kata Buchori.
Dalam hal memilih makanan menurutnya, ibu rumah tangga berperan penting. Dengan pilihan makanan yang tepat, maka ibu telah membantu petani dan bangsa untuk mandiri dalam ketersediaan pangan. ”Meski demikian keberpihakan dapat dimulai dari siapa saja,” tegasnya.
Sebagai penggerak PKK di DKI Jakarta, Henny Muhayat menyampaikan bahwa masalah pangan perlu dipecahkan dengan kerjasama. Pangan yang sehat dan berkelanjutan dapat terpenuhi dengan mendorong kemampuan produksi desa atau daerah terdekat dari DKI sebagai sumber kebutuhan pangan warga DKI Jakarta. Maka diperlukan rekomendasi kebijakan dan langkah bersama antara konsumen dan petani.
Dengan program kesejahteraan keluarga, maka PKK juga berkewajiban memenuhi pangan yang erat kaitannya dengan sumber daya manusia sebagai indikatornya. ”Saat ini yang terpenting juga adalah mengubah pandangan dari pangan hanya untuk makan menjadi kita makan untuk meningkatkan mutu hidup kita dan capai sehat 2010,” katanya.
Di pihak lain, menurut Amar Ma’ruf dari Aliansi Buruh Menggugat, buruh sebagai salah satu konsumen di kota-kota besar termasuk DKI Jakarta ini juga harus mendapat perhatian. Dengan upah layak untuk memenuhi kebutuhan hidup, buruh mampu mengkonsumsi makanan yang sehat dengan harga yang layak bagi petani. Sehingga mampu menciptakan kerjasama yang seimbang antara buruh sebagai konsumen dengan petani.
Namun kenyataannya selama ini upah buruh di DKI Jakarta masih dinilai jauh dari kelayakan. Sehingga untuk memilih makanan yang sehat dan terjangkau sangat sulit.
Aliasni Peduli Pangan juga memperingati Hari Pangan Sedunia yang jatuh di setiap 16 Oktober ini dengan diskusi dan pameran produk-produk pertanian yang sebagian besar organik. Dengan diskusi diharapkan mampu memberi pemecahan pada masalah pangan. Melalui pameran diharapkan mampu menunjukkan kerja keras petani dalam memproduksi pangan serta menciptakan dialog dan kerjasama petani dan konsumen di DKI Jakarta. Sehingga petani mampu memproduksi pangan yang sehat atau bebas pestisida dan lestari tanpa rekayasa genetik serta konsumen dapat mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan sehat.
Transgenik Kontaminasi Pertanian di Brazil
Ani Purwati - 21 Aug 2007
Pelepasan produk rekayasa genetik (transgenik) telah mengabaikan hak petani dan konsumen atas lahan dan makanan yang bebas transgenik. Kontaminasi pada benih, hasil panen, dan pangan tidak dapat dihindari.
Berikut tiga kasus di bagian barat Parana, salah satu wilayah utama pertanian Brazil yang disarikan dari laporan Assessoria e Serviços a Projetos em Agricultura Alternativa (AS-PTA), sebuah organisasi non-profit Brazil di bidang pembangunan berkelanjutan.
Kontaminasi produksi agroekologi di Medianeira
Ademir dan Vilma Ferronato tinggal di Medianeira, bagian barat Parana. Pertaniannya seluas 16 hektar adalah tanaman organik. Disamping kedelai dan jagung sebagai produk dagang, mereka juga mengembangkan sayuran hijau, ternak, dan buah-buahan yang dapat menyuplainya dengan beranekaragam makanan sehat, semua produk ramah lingkungan. Namun sebagain besar tetangganya menanam kedelai konvensional atau transgenik.
Saat menjual hasil panen pada tahun 2007, Ferronato kaget karena pasar menolak kedelainya. Padahal biasanya pasar tersebut memasarkan produk organik dan membeli produksi keluarganya. Hasil uji menunjukkan adanya kedelai transgenik tercampur ke dalam hasil panen organiknya.
Sebenarnya Gebana yang menyediakan benih dan telah mengujinya sebelum mengirimkannya pada petani. Benih kedelai yang hasil ujinya negatif transgenik dijual pada petani.
Ademir dan Vilma meyakini hasil panennya telah terkontaminasi. Pada 2006, mereka menanam kedelainya dalam dua tingkatan. Yang pertama mereka memanen sekitar tujuh hektar, dan mereka menjual hasil tanamnya sebagai organik. Di area kedua seluas empat hektar, hasil tesnya ternyata positif transgenik.
Kerugian tidak dapat dihindari. Hasil panen pertama menghasilkan 280 kantong. Masing-masing terjual R 40.00. Sementara 140 kantong hasil panen lainnya dari lahan seluas empat hektar hanya terjual masing-masing R 28.50. Sehingga keluarga tersebut kehilangan R 1,610.00 (sekitar US 800.00).
Kontaminasi kedelai organik di Sao Miguel do Iguacu
Ketika keluarga Guerini pindah ke Sao Miguel do Iguacu, mereka memilih bertani berdasar cara bertanam sendiri. Setelah 20 tahun mengembangkan kedelai di Paraguay, mereka memutuskan beralih ke organik. Melihat kondisi ekologi yang lebih baik di semua area, akhirnya mereka memanfaatkan 1.500 hektar lahan pertanian yang berbatasan dengan Iguacu National Park, salah satu kawasan konservasi utama.
Mereka menanam kedelai dan jagung pada area seluas 130 hektar sebagai produk utamanya. Sebagian besar tetangganya adalah bertani monokultur skala luas, dengan jenis kedelai di musim panas, dan diikuti oleh jagung di musim gugur dan dingin.
Silvio Guerini menjelaskan bahwa manfaat ekologi kawasan konservasi tersebut adalah dapat mencegah pengaruh pertanian tetangganya yang menggunakan pestisida. "Selama penanaman kedelai, bau pestisida sampai di rumah kami," ungkapnya. Selain itu, hama juga menyerang lahannya, kadang-kadang dia menyemprotnya.
Di tahun 2006-2007, suatu kejadian mempersulit Guerinis, buncis transgenik mengkontaminasi kedelai organiknya. Padahal mereka memanen dengan peralatan sendiri yang hanya digunakan di sana, sehingga potensi sumber kontaminasi tidak ada. Benih pun disertifikasi dan hasil tesnya dengan menggunakan metode PCR menunjukkan negatif untuk kedelai transgenik.
Hanya muatan pertama yang mereka jual terkontaminasi. Perbedaan muatan itu dengan lainnya adalah truk yang digunakan untuk mengangkut kedelai pertama ke gudang Gebana bukan miliknya. Sejak memperhatikan masalah tersebut, Silvio memantau kebersihan truk penyimpanan sebelum pengangkutan pertama dilakukan. Meski demikian dia tak dapat menjual hasil panennya sebagai organik.
Walaupun tak ada data statistik atas masalah tersebut di Brazil, laporan petani organik mengalami peningkatan setiap tahun, di semua produk kedelai di negara tersebut. Hanya di perusahaan Gebana saja, di tahun 2006 mereka mengidentifikasi empat kasus kontaminasi, dan terhitung dua kali lipat sampai sembilan kasus di tahun 2007. Petani yang bekerja dengan Gebana berjumlah kecil, tetapi telah menunjukkan situasi petani kedelai di semua area Brazil.
Kontaminasi kedelai konvensional di Medianeira
João Bússulo tinggal di Linha Alegria Rural Community, Medianeira. Dia mengembangkan kedelai, jagung, gandum, sorghum dan bunga matahari. Dia juga mempunyai kebun buah-buahan dan menyediakan susu sapi untuk konsumsi keluarganya.
Di tahun 2006, dia memperoleh benih dari koperasi setempat. Dia bermaksud menjual semua hasil panennya ke perusahaan Sadia, yang menerima produk konvensional namun bukan kedelai transgenik.
Untuk menjaga hasil panennya bebas transgenik, keluarganya mempunyai perlengkapan bertanam dan panen. Benih yang dibelinya juga berlabel “produk bebas transgenik” (“transgenic-free product”). João bertanam di lahan seluas 17 hektar dengan kedelai konvensional dan mendapat panen 980 kantong. Truk pengangkut pun telah dibersihkan.
Namun pada pengiriman hasil panen, hasil tes 300 kantung kedelai positif transgenik, dengan lebih dari 4% berisi transgenik, sehingga dia tidak mendapat keuntungan untuk hasil panen tersebut. Hal tersebut sangat mengejutkan petani yang menanggung kerugian atas kontaminasi benih itu.
Pemerintah Parana telah melakukan inspeksi untuk mengecek kontaminasi benih kedelai konvensional di negara tersebut. Mereka menyita 283 metric tons benih konvensional yang telah terkontaminasi benih transgenik dari sebelas perusahaan benih berbeda. Hasilnya sekitar 9% benih adalah transgenik.
Pelepasan produk rekayasa genetik (transgenik) telah mengabaikan hak petani dan konsumen atas lahan dan makanan yang bebas transgenik. Kontaminasi pada benih, hasil panen, dan pangan tidak dapat dihindari.
Berikut tiga kasus di bagian barat Parana, salah satu wilayah utama pertanian Brazil yang disarikan dari laporan Assessoria e Serviços a Projetos em Agricultura Alternativa (AS-PTA), sebuah organisasi non-profit Brazil di bidang pembangunan berkelanjutan.
Kontaminasi produksi agroekologi di Medianeira
Ademir dan Vilma Ferronato tinggal di Medianeira, bagian barat Parana. Pertaniannya seluas 16 hektar adalah tanaman organik. Disamping kedelai dan jagung sebagai produk dagang, mereka juga mengembangkan sayuran hijau, ternak, dan buah-buahan yang dapat menyuplainya dengan beranekaragam makanan sehat, semua produk ramah lingkungan. Namun sebagain besar tetangganya menanam kedelai konvensional atau transgenik.
Saat menjual hasil panen pada tahun 2007, Ferronato kaget karena pasar menolak kedelainya. Padahal biasanya pasar tersebut memasarkan produk organik dan membeli produksi keluarganya. Hasil uji menunjukkan adanya kedelai transgenik tercampur ke dalam hasil panen organiknya.
Sebenarnya Gebana yang menyediakan benih dan telah mengujinya sebelum mengirimkannya pada petani. Benih kedelai yang hasil ujinya negatif transgenik dijual pada petani.
Ademir dan Vilma meyakini hasil panennya telah terkontaminasi. Pada 2006, mereka menanam kedelainya dalam dua tingkatan. Yang pertama mereka memanen sekitar tujuh hektar, dan mereka menjual hasil tanamnya sebagai organik. Di area kedua seluas empat hektar, hasil tesnya ternyata positif transgenik.
Kerugian tidak dapat dihindari. Hasil panen pertama menghasilkan 280 kantong. Masing-masing terjual R 40.00. Sementara 140 kantong hasil panen lainnya dari lahan seluas empat hektar hanya terjual masing-masing R 28.50. Sehingga keluarga tersebut kehilangan R 1,610.00 (sekitar US 800.00).
Kontaminasi kedelai organik di Sao Miguel do Iguacu
Ketika keluarga Guerini pindah ke Sao Miguel do Iguacu, mereka memilih bertani berdasar cara bertanam sendiri. Setelah 20 tahun mengembangkan kedelai di Paraguay, mereka memutuskan beralih ke organik. Melihat kondisi ekologi yang lebih baik di semua area, akhirnya mereka memanfaatkan 1.500 hektar lahan pertanian yang berbatasan dengan Iguacu National Park, salah satu kawasan konservasi utama.
Mereka menanam kedelai dan jagung pada area seluas 130 hektar sebagai produk utamanya. Sebagian besar tetangganya adalah bertani monokultur skala luas, dengan jenis kedelai di musim panas, dan diikuti oleh jagung di musim gugur dan dingin.
Silvio Guerini menjelaskan bahwa manfaat ekologi kawasan konservasi tersebut adalah dapat mencegah pengaruh pertanian tetangganya yang menggunakan pestisida. "Selama penanaman kedelai, bau pestisida sampai di rumah kami," ungkapnya. Selain itu, hama juga menyerang lahannya, kadang-kadang dia menyemprotnya.
Di tahun 2006-2007, suatu kejadian mempersulit Guerinis, buncis transgenik mengkontaminasi kedelai organiknya. Padahal mereka memanen dengan peralatan sendiri yang hanya digunakan di sana, sehingga potensi sumber kontaminasi tidak ada. Benih pun disertifikasi dan hasil tesnya dengan menggunakan metode PCR menunjukkan negatif untuk kedelai transgenik.
Hanya muatan pertama yang mereka jual terkontaminasi. Perbedaan muatan itu dengan lainnya adalah truk yang digunakan untuk mengangkut kedelai pertama ke gudang Gebana bukan miliknya. Sejak memperhatikan masalah tersebut, Silvio memantau kebersihan truk penyimpanan sebelum pengangkutan pertama dilakukan. Meski demikian dia tak dapat menjual hasil panennya sebagai organik.
Walaupun tak ada data statistik atas masalah tersebut di Brazil, laporan petani organik mengalami peningkatan setiap tahun, di semua produk kedelai di negara tersebut. Hanya di perusahaan Gebana saja, di tahun 2006 mereka mengidentifikasi empat kasus kontaminasi, dan terhitung dua kali lipat sampai sembilan kasus di tahun 2007. Petani yang bekerja dengan Gebana berjumlah kecil, tetapi telah menunjukkan situasi petani kedelai di semua area Brazil.
Kontaminasi kedelai konvensional di Medianeira
João Bússulo tinggal di Linha Alegria Rural Community, Medianeira. Dia mengembangkan kedelai, jagung, gandum, sorghum dan bunga matahari. Dia juga mempunyai kebun buah-buahan dan menyediakan susu sapi untuk konsumsi keluarganya.
Di tahun 2006, dia memperoleh benih dari koperasi setempat. Dia bermaksud menjual semua hasil panennya ke perusahaan Sadia, yang menerima produk konvensional namun bukan kedelai transgenik.
Untuk menjaga hasil panennya bebas transgenik, keluarganya mempunyai perlengkapan bertanam dan panen. Benih yang dibelinya juga berlabel “produk bebas transgenik” (“transgenic-free product”). João bertanam di lahan seluas 17 hektar dengan kedelai konvensional dan mendapat panen 980 kantong. Truk pengangkut pun telah dibersihkan.
Namun pada pengiriman hasil panen, hasil tes 300 kantung kedelai positif transgenik, dengan lebih dari 4% berisi transgenik, sehingga dia tidak mendapat keuntungan untuk hasil panen tersebut. Hal tersebut sangat mengejutkan petani yang menanggung kerugian atas kontaminasi benih itu.
Pemerintah Parana telah melakukan inspeksi untuk mengecek kontaminasi benih kedelai konvensional di negara tersebut. Mereka menyita 283 metric tons benih konvensional yang telah terkontaminasi benih transgenik dari sebelas perusahaan benih berbeda. Hasilnya sekitar 9% benih adalah transgenik.
Petani DIY Sambut Positif Penggunaan Pupuk Organik
06 September 2008 10:00 WIB
YOGYAKARTA--MI: Para petani di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tampaknya menyambut positif anjuran untuk menggunakan pupuk organik, terbukti makin banyak petani di daerah ini beralih dari pupuk pabrikan ke organik.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) DIY Bambang Wibowo di Yogyakarta, Sabtu mengatakan selain direspon positif oleh petani, pemerintah daerah juga memberi dukungan penuh kepada petani yang menggunakan pupuk organik.
"Dukungan pemda berujud bantuan pupuk organik secara hibah atau bantuan bergulir yang dananya dari APBD," katanya.
Ia mengatakan penggunaan pupuk organik tujuannya bukan semata-mata mengganti pupuk pabrikan, tetapi juga untuk memperbaiki unsur tanah," katanya.
Menurut dia, di wilayah DIY, Kabupaten Bantul adalah yang pertama kali merespon anjuran penggunaan pupuk organik.
Dari bupati hingga petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mendukung penggunaan pupuk tersebut. Bahkan bupati Bantul pernah mengeluarkan larangan menjual kotoran ternak ke luar daerah.
Setelah Bantul, kemudian Kabupaten Sleman, dan disusul Kabupaten Kulonprogo serta Gunungkidul. "Jadi, DIY termasuk paling cepat merespon penggunaan pupuk organik dibanding provinsi lain di Indonesia," katanya
"Jika menggunakan pupuk anorganik seperti urea, hanya tanamannya yang bisa tumbuh dengan baik, namun tanahnya menjadi rusak, Sedangkan dengan menggunakan pupuk organik, selain memperbaiki kualitas tanaman, juga menjaga kualitas tanah," katanya. (Ant/OL06)
YOGYAKARTA--MI: Para petani di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tampaknya menyambut positif anjuran untuk menggunakan pupuk organik, terbukti makin banyak petani di daerah ini beralih dari pupuk pabrikan ke organik.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) DIY Bambang Wibowo di Yogyakarta, Sabtu mengatakan selain direspon positif oleh petani, pemerintah daerah juga memberi dukungan penuh kepada petani yang menggunakan pupuk organik.
"Dukungan pemda berujud bantuan pupuk organik secara hibah atau bantuan bergulir yang dananya dari APBD," katanya.
Ia mengatakan penggunaan pupuk organik tujuannya bukan semata-mata mengganti pupuk pabrikan, tetapi juga untuk memperbaiki unsur tanah," katanya.
Menurut dia, di wilayah DIY, Kabupaten Bantul adalah yang pertama kali merespon anjuran penggunaan pupuk organik.
Dari bupati hingga petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) mendukung penggunaan pupuk tersebut. Bahkan bupati Bantul pernah mengeluarkan larangan menjual kotoran ternak ke luar daerah.
Setelah Bantul, kemudian Kabupaten Sleman, dan disusul Kabupaten Kulonprogo serta Gunungkidul. "Jadi, DIY termasuk paling cepat merespon penggunaan pupuk organik dibanding provinsi lain di Indonesia," katanya
"Jika menggunakan pupuk anorganik seperti urea, hanya tanamannya yang bisa tumbuh dengan baik, namun tanahnya menjadi rusak, Sedangkan dengan menggunakan pupuk organik, selain memperbaiki kualitas tanaman, juga menjaga kualitas tanah," katanya. (Ant/OL06)
Profil Konsumen Produk Pertanian Organik di Jakarta
Tugas Rancangan Penelitian
Mata Kuliah Metoda Penelitian Sosial Kuantitatif
Oleh Harry Surjadi (0606018734) dan Zulfikar (6903410219)
————————————————————————————————————
Rancangan Penelitian
Profil Konsumen Produk Pertanian Organik di Jakarta
I. Latar belakang
“Where do pesticides fit into the picture of environmental disease? We have seen that tey now contaminate soil, water, and food, that they have the power to make our streams fishless and our garden and woodlands silent and birdless. Man, however much he may like to pretend the contrary, is part of nature. Can he escape a pollution that is now so thoroughly distributed throughout our world?” (Carson, 2002:188)
Rachel Carson dalam bukunya “Silent Spring” yang terbit tahun 1962, menggambarkan posisi manusia sebagai bagian dari alam dan manusia sebenarnya tidak bisa menghindar dari semua pencemaran akibat penggunaan pestisida. Seperti ikan dan burung yang mati, manusia juga akan menerima akibatnya. Masalahnya keracunan pestisida yang perlahan, sedikit demi sedikit, membuat manusia tidak peduli karena tidak nampak segera dampaknya. Mereka lebih peduli pada yang lebih kelihatan, mahluk kecil bernama serangga yang mengganggu tanaman pangan mereka (Carson, 2002). “Silent Spring” mencoba mengungkapkan dampak penggunaan pestisida terutama DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane), racun kimia paling berbahaya yang pernah dibuat manusia.
Cerita DDT dimulai tahun 1935 ketika Dr Paul Herman Mueller atas nama perusahan tempatnya bekerja J.R. Geigy A.G., di Basel mulai meneliti mencari insektisida, terutama insektisida pertanian. Sebenarnya sudah banyak hasil penelitian pestisida yang dipatenkan tetapi tidak ada satu pun jenis pestisida itu dijual di pasaran. Ketika itu jenis pestisida yang banyak digunakan di bidang pertanian adalah arsenate, pyrethrum atau rotenone, dua bahan aktif pestisida dari tanaman. Kondisi itu memacu Mueller untuk mempercepat penelitiannya mencari pestisida yang efektif. Ia memikirkan jenis pestisida kontak yang berkerja saat menyentuh tubuh serangga, bukan pestisida oral yang bekerja ketika masuk ke dalam tubuh hama (Mueller, 1948).
Setelah menguji ratusan substansi, Mueller, seperti disampaikannya dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel tahun 1948, harus mengakui tidak mudah menemukan pestisida kontak. Ia mulai menemukan harapan ketika meneliti keampuhan hasil sintesis substansi kimia yang ditemukan tahun 1873 oleh seorang mahasiswa Austria untuk tesisnya. Tahun 1939 uji coba pada lalat menunjukkan substansi itu bisa dikategorikan sebagai insektisida kontak. Mueller kemudian mensintesis substansi itu menjadi DDT (Mueller, 1948).
Uji coba DDT menunjukkan keampuhannya membunuh berbagai jenis serangga yang diujikan antara lain lalat, kutu, agas, kumbang Colorado, dan lainnya. Bahkan satu data penelitian harus dibuang karena para peneliti lupa membersihkan kotak penelitian dari residu DDT yang masih mampu mematikan serangga yang dimasukkan ke dalam kotak itu (Mueller, 1948).
Uji lapangan dilakukan di stasiun penelitian di Wadenswil dan Oerlikon (Switzerland) dan uji coba lapangan yang dilakukan oleh tim Dr Mueller sendiri. Hasil penelitian lapangan di Colorado menunjukkan enam minggu setelah perlakuan, residu DDT masih terus membutuh kumbang-kumbang Colorado (Mueller, 1948).
Tahun 1944, DDT digunakan tentara Amerika Serikat untuk membunuh berbagai jenis serangga pembawa penyakit, antara lain nyamuk pembawa penyakit malaria, caplak pembawa penyakit tifus, dan serangga pembawa penyakit lainnya. Prof G Fischer, dari Royal Caroline Institute, dalam pidato penyerahan Hadiah Nobel tahun 1948, menjuluki DDT sebagai deus ex machina (sesuatu yang awalnya tidak diharapkan menjadi jawaban persoalan yang sulit) karena keberhasilan DDT membunuh caplak pembawa tifus (Fischer, 1948).
Setelah Perang Dunia II berakhir, DDT menyebar ke seluruh dunia terutama digunakan untuk membunuh nyamuk malaria di negara-negara maju maupun negara berkembang dan membunuh serangga hama pertanian. Dalam jangka waktu 10 tahun penggunaan DDT mampu mengurangi kematian akibat malaria dari tiga juta kasus menjadi 7.300 kasus di Afrika Selatan. Cerita sukses besar penggunaan DDT di Sri Lanka. Sri Lanka berhasil menurunkan kasus malaria hingga hanya tersisa 29 kasus. Sri Lanka dianggap berhasil memenangkan perang melawan malaria. India berhasil menurunkan kasus malaria dari 75 juta kasus tahun 1951 menjadi hanya 50.000 kasus tahun 1961 (Bate, 2001; Sharma, 2003).
Ketika penggunaan DDT dilarang beberapa penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kasus malaria. Akhirnya di sejumlah negara DDT digunakan kembali khusus hanya untuk memberantas malaria. Bahkan WHO “merestui” penggunaan DDT untuk pemberantasan malaria (De Joode et. al., 2001; Robert et. al., 2000; Smith, 2000; Raloff, 2000; Davis, 1971; Jalsevac, 2005; Bate, 2001; Liroff, 2002; Roberts, 2002; Berenbaum, 2005)
DDT tidak hanya digunakan untuk memberantas nyamuk malaria. DDT bersama dengan berbagai jenis pestisida mematikan lainnya juga dipakai luas untuk memberantas hama pertanian, khususnya terkait dengan munculnya Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau, keberhasilan teknologi pertanian termasuk teknologi pemberantasan hama-penyakit, meningkatkan produksi pangan terutama gandum dan beras. Revolusi Hijau menjanjikan memberi makan untuk seluruh penduduk dunia. Norman Ernest Borlaug, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1970, dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel, mengatakan istilah Revolusi Hijau, istilah yang dipopularkan pers, terlalu prematur, terlalu optimis, atau terlalu luas cakupannya. Ia mengakui, istilah itu seakan menunjukkan semua petani seragam merasakan manfaat dari terobosan peningkatan produksi. (Borlaug, 1970).
Revolusi Hijau dimulai ketika Borlaug bergabung dalam sebuah program yang bertujuan membantu petani miskin di Mexico meningkatkan produksi gandum mereka. Program itu didanai oleh Rockefeller Foundation. Borlaug membutuhkan waktu hampir 20 tahun memuliakan gandum cebol yang tahan berbagai hama dan penyakit dan menghasilkan gandum dua sampai tiga kali varitas tradisional, seperti diungkapkan Borlaug dalam wawancara dengan situs publikasi online ActionBioscience yang dikelola oleh American Institute of Biological Sciences (AIBS, 2002).
Kemudian tahun 1960-an Rockefeller Foundation memperluas programnya membantu petani Pakistan dan India menanam varitas gandum unggul itu. Hasilnya luar biasa. Pakistan berhasil memproduksi 8,4 juta ton gandum 1970 dari hanya 4,6 juta ton pada tahun 1965. India memproduksi 20 juta ton gandum tahun 1970 dibandingkan produksinya tahun 1965 hanya 12,3 juta ton. Keberhasilan Revolusi Hijau ini melimpas ke Cina yang sekarang menjadi produser pangan terbesar di dunia. (AIBS, 2002; Borlaug, 1970)
Revolusi Hijau di Asia Tenggara, yang makanan pokoknya beras bukan gandum, berawal dari didirikannya International Rice Research Institute di Los Banos, Filipina, tahun 1962 atas bantuan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. IRRI bertugas memuliakan varietas-varietas padi unggul berproduksi tinggi. Tahun 1968 petani di India, Pakistan, Thailand, Filipina, Taiwan, Vietnam Selatan, dan Indonesia mulai menanam IR-8 salah satu varitas padi hasil pemuliaan IRRI (Franke, 1974).
Revolusi Hijau menjadi bagian dari kebijakan Orde Baru di Indonesia melalui program Bimas/Inmas dengan menerapkan pertanian modern dengan asupan pupuk buatan, varitas unggul, pestisida pemberantas hama/penyakit, irigasi, dan alat-alat pertanian plus kredit (Tata, 2000).
Terkait dengan Revolusi Hijau, Indonesia antara tahun 1969-1974 menerima bantuan dari Amerika Serikat untuk membeli DDT dan sejumlah pestisida jenis lainnya dengan nilai lebih dari satu juta dollar AS. Tahun 1975, khusus untuk bantuan pembelian DDT, AS membatasinya hanya untuk “kepentingan kesehatan masyarakat.” (Rahardjo, 2001).
Meskipun Orde Baru menyatakan berhasil mencapai “swasembada pangan” dan Soeharto menerima penghargaan dari FAO tahun 1986, sampai saat ini Indonesia masih tetap mengimpor beras dan petani tidak semakin sejahtera. Beberapa literatur juga menyimpulkan Revolusi Hijau telah gagal memberi makan dunia. Penduduk miskin masih tetap banyak (Morgan, 1978; Franke, 1974; Rosset, 2000).
Bukti-bukti menunjukkan pertanian ala Green Revolution tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan untuk pertanian skala luas. Tahun 1990-an bahkan para peneliti Green Revolution menyuarakan peringatan adanya kecenderungan yang mengganggu. Setelah menikmati peningkatan panenan yang dramatis pada awal penerapan teknologi, panenan mulai menurun di sejumlah kawasan yang menerapkan Green Revolution.
Di Luzon Tengah, Filipina, hasil panenan meningkat selama tahun 1970-an dan mencapai puncaknya awal 1980-an, setelah itu mulai menurun perlahan-lahan. Pola serupa terjadi juga di India dan Nepal. Kalau pun tidak turun, laju pertumbuhan melambat dengan cepat atau tidak naik atau turun, seperti terjadi di Cina, Korea Utara, Indonesia, Myanmar, Filipina, Thailand, Pakistan, dan Srilanka (Rosset, 2000).
Bukan hanya gagal menyejahterakan petani, Revolusi Hijau membawa bencana baru pada lingkungan dan kesehatan manusia. Residu pestisida ditemukan di dalam tubuh petani dan pekerja di lahan pertanian di Amerika Serikat (Revees et. al., 2002)
Januari 2003 Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat dalam laporan kedua mengenai paparan kimia lingkungan pada manusia (Second National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals) mengungkapkan hasil tes pada 9.282 orang menunjukkan di dalam tubuh mereka terdeteksi 116 bahan kimia, termasuk 34 jenis pestisida (Schafer et. Al., 2004).
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida sejak Revolusi Hijau tahun 1950-an di Amerika Serikat kasus sejumlah penyakit yang berhubungan dengan kontaminasi lingkungan ikut meningkat juga. CDC melaporkan satu dari empat orang di AS tahun 2004 akan terkena kanker dalam hidupnya (Schafer et. Al., 2004).
Memang para ahli tidak bisa menjelaskan apa kaitannya antara tingginya kasus kanker dengan paparan bahan kimia yang dibuang di lingkungan. Tetapi para ahli mengetahui banyak pestisida bersifat karsinogenik atau menyebabkan jenis kanker tertentu. Para ahli juga mencoba menghubungkan penyakit kronis seperti Parkinson, kerusakan janin, berkurangnya jumlah sperma berhubungan dengan paparan pestisida.
Bagaimana bahan kimia beracun itu masuk ke dalam tubuh manusia? Paling banyak pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui oral ketika manusia mengkonsumsi hasil pertanian yang mengandung residu pestisida dan melalui air minum yang sudah terkontaminasi kimia pestisida.
Pengolahan data residu pestisida dari sumber-sumber pemerintah dan perguruan tinggi oleh Pesticide Action Network tahun 1999 di AS menunjukkan umum dalam satu produk pangan mengandung residu lima atau lebih kimia beracun yang pesisten. Bahan kimia jenis POP (pesistent organic pollutant) yang paling umum mengontaminasi produk pangan di AS adalah dieldrin dan DDE. Ketika DDT, yang sudah dilarang penggunaannya tahun 1970, diurai hasilnya adalah DDE (PAN, 2001).
POP masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Bahan kimia ini terakumulasi di dalam tubuh organisme dari rantai makanan paling rendah. Dan akhirnya bermuara di dalam tubuh manusia disimpan di dalam jaringan lemak. Bahkan DDT bisa menyebabkan kematian, mengganggu organi reproduksi, mengubah jenis kelamin ikan ketika masih telur (Rogan dan Chen, 2005; Ross, 2005; Anonim, 1993; Hesman, 2000; Snedeker, 2001)
Residu bahan pestisida jenis POP yang sudah dilarang di AS ditemukan di semua kategori pangan mulai dari makanan yang dipanggang, buah-buahan, sayuran, daging, telur, sampai produk peternakan. Secara umum ada 10 jenis pangan, berdasarkan studi FDA tahun 1999 yang disusun berdasarkan abjad adalah mentega, cantaloupe, mentimun, meatloaf, kacang, jagung pop corn, radish, bayam, summer squash dan winter squash (PAN, 2001).
Indonesia, menurut data Departemen Pertanian, ada 1.082 jenis pestisida yang terdaftar dan mendapatkan izin penggunaan untuk budi daya pertanian dan kehutanan. SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian juga sudah menetapkan residu untuk 1.082 jenis pestisida itu. Tidak ada data berapa besar jumlah residu pestisida yang ada di tanah (KLH, 2006).
Tahun 1993 penelitian Pesticide Action Network Indonesia menunjukkan beras jenis IR64 di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengandung racun karbofuran sebesar 58,21 ppb dan diazinon 18,4 ppb. Beras kuku balam asal Pangkalan Brandan mengandung karbofuran 39,21 ppb. Meskipun beras itu sudah dicuci dengan air, kandungan karbofuran pada beras IR64 dari Deli Serdang masih 45,56 ppb an beras kuku balam 29,78 ppb. Pestisida juga mengontaminasi ASI, tanah, air, bahkan tanaman obat (Tjahjadi dan Gayatri, 1994).
Paradigma Sosial Dominan
Manusia hidup di dunia nyata di luar diri manusia. Tetapi pilihan dan keputusan manusia lebih berhubungan dengan definisi mengenai “dunia nyata” atau “realitas” di dalam diri manusia dibandingkan dunia nyata yang sungguh nyata di luar dirinya. Struktur masyarakat yang ada atau struktur sosial yang nyata di masyarakat, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai struktur objektif (Ritzer dan Goodman, 2005), tidak bisa dilepaskan dari pengaruh proses pembentukan struktur sosial subyektif dari hasil proses konstruksi sosial. Konstruksi sosial secara subyektif ini terjadi melalui proses memahami, memikirkan, merasakan, dan membangun struktur sosial, dan kemudian bertindak berdasarkan struktur sosial yang dibangunnya.
Dalam konteks hubungan manusia dengan alam atau sebaliknya, perilaku manusia sangat ditentukan dari konstruksi sosial yang dibangunnya di dalam dirinya bukan ditentukan oleh keadaan lingkungan di luar dirinya. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana hubungan manusia dengan alam atau lingkungan atau posisi manusia di lingkungan, dikonstruksikan secara simbolik dalam dirinya. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mengkonstruksi persoalan lingkungan.
Di awal peradaban, menusia mengkonstruksikan manusia adalah bagian dari alam. Manusia berburu, mengumpulkan pangan dari alam, dan berpindah-pindah. Kemudian manusia mulai menetap dan membudidayakan tanaman pangan dan ternak untuk kebutuhan pangannya, ketika pengetahuan manusia belum berkembang. Masyarakat pertanian baru muncul kurang lebih 7.000 tahun yang lalu, ketika tanaman pangan ditanam berulang setiap tahun di tempat yang sama, menggunakan irigasi, dan pupuk (Harper, 2001).
Mulainya Revolusi Hijau, konstruksi sosial hubungan manusia dengan alam bergeser dari “manusia adalah bagian dari alam” menjadi “manusia menguasai alam atau menentang alam.” Di dalam dunia pertanian, manusia kemudian mengeksploitasi alam atau manusia adalah pusat dari segalanya. Antroposentism adalah paradigma sosial dominan yang mendorong Revolusi Hijau.
Mengikuti ide pemikiran Thomas Kuhn mengenai perkembangan sains yaitu ketika terjadi krisis paradigman dominan akan digantikan oleh paradigman baru (Ritzer dan Goodman, 2005). Paradigman sosial dominan antroposentrism yang dikonstruksi pada saat Revolusi Hijau memunculkan persoalan lingkungan. Ketika terjadi krisis lingkungan yang mendunia, paradigma dominan ini digantikan oleh paradigma baru yang mengkonstruksi sosial terkait dengan persoalan lingkungan. Paradigman baru ini melihat manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak bisa mengeksploitasi alam dengan memaksa tanah dan tumbuhan yang direkayasa berproduksi semaksimal mungkin.
Paradigma baru ini memunculkan gerakan pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian yang selaras dengan alam. Pertanian organik adalah pertanian yang didasarkan pada health (kesehatan), ecology (ekologi), fairness (adil, tidak membeda-bedakan), care (perhatian dalam makna memelihara). Prinsip kesehatan bermakna: pertanian organik harus berkelanjutan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, binatang, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Prinsip ekologi: pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologis, berkerja dengan ekologi, berusaha mengikutinya, dan membantu melestarikannya. Prinsip fairness: pertanian organik harus didasari oleh hubungan yang memastikan terjadinya keadilan dengan menghargai lingkungan bersama dan kesempatan untuk hidup. Prinsip care: pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi kini dan generasi mendatang dan lingkungan (IFOAM, 2005; IFOAM, 2006).
Di dunia, gerakan pertanian organik dimotori oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Association) yang berdiri tahun 1972. Saat ini IFOAM memiliki lebih dari 750 anggota di 108 negara.
Di Indonesia, gerakan pertanian organik dimulai di Cisarua tahun 1984 dengan didirikannya pusat pertanian organik Bina Sarana Bakti. Setelah itu mulai bermunculan gerakan petani yang beralih dari pertanian modern ke pertanian organik, terutama di Pulau Jawa (Husnain, 2005). Sekarang berbagai organisasi petani organik bergabung di Jaringan Kerja Pertanian Organik (JakerPO). Sekarang anggota JakerPO lebih dari 25 organisasi yang tersebar di Pulau Jawa, Bali, NTT, NTB, dan Sumatera.
Sejalan dengan munculnya petani-petani yang menghasilkan produk organik bebas residu pestisida dan merebaknya kesadaran lingkungan, di kota-kota besar di dunia dan di Indonesia bermunculan konsumen organik.
Produk pertanian organik berkembang pesat. Misalnya, di Inggris, berdasarkan laporan tahunan Soil Association Juli 2006 (Organic Market Report 2006), pasar produk organik meningkat 30% dibandingkan tahun 2005, naik tiga kali lipat. Pasar produk pertanian organik di AS diperkirakan akan terus bertumbuh hingga dua digit dalam 5-10 tahun mendatang sebelum stabil. Tahun 2020 nilai penjualan produk organik di AS diperkirakan bisa mencapai US$80 miliar per tahun (Lowy, 2005).
Di Indonesia luas lahan yang dikelola secara organik, termasuk lahan pertanian alami seperti kebun campuran dan ladang-ladang tradisional, sekitar 40.000 hektar (Husain, et. al., 2005). Tidak ada data berapa banyak produk organik di Indonesia.
II. Rumusan masalah
Mengkonsumsi produk pertanian organik di Jakarta saat ini menjadi satu gaya hidup baru. Banyak alasan yang bisa disampaikan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik. Survei konsumen sayuran organik yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 menunjukkan konsumen membeli sayuran organik dengan alasan utama kesehatan (ELSPPAT, 2001). ELSPPAT adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja mengembangkan pertanian organik sayur-mayur dan nenas di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.
Sejauh penelusuran pustaka, survei konsumen organik baru yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 dan BioCert tahun 2003/2004. Survei lebih lengkap saat ini sedang dilakukan oleh JakerPO (Jaringan Kerja Pertanian Organik). JakerPO, jaringan sejumlah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pertanian organik, menyurvei petani organik, konsumen organik, dan masyarakat umum (Komunikasi pribadi dengan Nana Suhartana koordinator survei JakerPO).
Survei konsumen organik yang pernah dilakukan di Indonesia tidak mengukur tingkat apakah konsumen memilih produk organik karena pro-lingkungan. Survei-survei itu hanya mencoba memotret siapa konsumen organik (tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan alasan). Potret alasan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik tidak menggambarkan apakah perilaku mereka pro-lingkungan atau sekedar karena ketakutan terkontaminasi pestisida atau sekedar alasan kesehatan. Atau keputusan membeli produk pertanian organik memang karena perilaku mereka pro-lingkungan.
Tujuan penelitian
Pertama studi ini ingin melihat apakah konsumen produk pertanian organik tergolong kelompok masyarakat peduli lingkungan (pro-lingkungan) atau tidak pro-lingkungan? Apakah keputusan membeli produk organik memang karena alasan pro-lingkungan?
Kedua, studi ini ingin membandingkan sikap dan perilaku pro-lingkungan konsumen produk pertanian organik dengan non-konsumen produk pertanian organik.
Ketiga, studi ini ingin melihat apakah ada hubungannya antara sikap dan perilaku pro-lingkungan dengan tingkat pendapatan mereka, tingkat pendidikan, seberapa besar mereka bersedia membayar harga yang lebih tinggi dalam mengkonsumsi produk pertanian organik?
Bagi organisasi non-pemerintah yang membantu produsen organik dan juga produsen organik yang dibantunya penting mengetahui apakah konsumen mereka memilih produk organik karena memang mereka pro-lingkungan. Sehingga mereka lebih bisa mempromosikan produk organik sesuai dengan tujuan mereka yaitu membuat lingkungan menjadi lebih baik. Bagi pemerintah, yang juga punya program pengembangan pertanian organik, bisa melihat kebijakan yang harus diambil terkait dengan pengembangan produk organik.
III. Tinjauan pustaka
The Hartman Group, perusahaan riset dan konsultan pemasaran di Bellevue, Washington, meneliti perilaku konsumen organik dan mencoba melihat sejumlah mitos yang ditempelkan pada konsumen organik. tetapi hasilnya serupa. Para peneliti, termasuk di antaranya antropolog, mengikuti konsumen organik ke mana pun ia pergi, dari pasar sampai ke tempat latihan sepakbola anaknya. Para peneliti juga mewawancarai dan memeriksa lemari dan kulkas di rumah konsumen organik ini. Hasilnya sungguh menarik.
Ada tiga mitos konsumen organik yaitu pertama, konsumen organik mengonsumsi produk organik karena alasan kesadaran lingkungan yang tinggi. Kedua, tipikal konsumen organik adalah pendidikan tinggi dan penghasilan tinggi yang kebanyakan keturunan Kaukasian. Alasan utama mereka yang tidak membeli produk organik adalah harga.
Survei mereka menunjukkan hanya 26% yang menjadi konsumen organik karena alasan kesadaran lingkungan. Alasan utama mereka membeli produk organik karena produk organik kualitasnya lebih baik, lebih sehat, dibandingkan produk pangan biasa. Rasa menjadi motivasi kedua dan ketiga adalah keamanan pangan. Pemicu utama mereka mengonsumsi produk organik adalah karena punya anak kecil, keluarga yang sakit (alergi makanan, kanker dan gangguan kesehatan lainnya), dan pengaruh lingkungan sosial. Pengaruh lain adalah karena beberapa pendapat logis seperti kalau “pestisida tidak baik untuk serangga, bagaimana mungkin baik untuk manusia,” atau cerita mengenai “petani tidak memakan produk yang mereka hasilkan” (Howie, 2004).
Mitos kedua, konsumen organik kebanyakan keturunan Kaukasian juga terbantahkan. Orang Amerika keturunan Afrika, Asia, dan Hispanic cenderung membeli produk organik dibandingkan orang Amerika kebanyakan. Dan mereka yang rata-rata membeli sembilan produk organik dalam sebulan penghasilannya kurang dari US$50.000 per tahun.
Lebih dalam lagi, konsumen organik merasa mereka banyak hal tidak bisa dikendalikan di dunia. Memilih makanan adalah salah satu yang dapat mereka kendalikan dan membeli produk organik adalah melaksanakan kendali itu.
Mitos ketiga harga mahal membuat mereka tidak membeli produk organik tidak terbukti benar. Alasan utama mereka tidak membeli produk organik karena mereka tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan untuk mengonsumsi produk organik. Harga produk organik yang lebih mahal dari produk non-organik adalah alasan kedua. Tetapi aspek harga ini tidaklah sesederhana itu. Misalnya, seorang ibu tidak masalah mengeluarkan uang lebih US$1,50 untuk membeli stroberi organik untuk anaknya tetapi tidak rela mengeluarkan se-sen membeli brokoli organik untuk suaminya. Alasan ketiga mereka tidak membeli produk organik karena tidak tersedia (Howie, 2004).
Studi-studi lain di berbagai negara menyimpulkan alasan membeli produk organik tidak hanya satu, tetapi biasanya banyak, mulai dari kepedulian pada lingkungan sampai motivasi perdagangan yang adil. Tetapi kebanyakan konsumen organik mengatakan alasan kesehatan menjadi pendorong mereka mengonsumsi produk organik (Padel dan Foster, 2005; Chinnici, et. al., 2002; Shepherd et. al., 2005; Radman, 2005; Connor dan Douglas, 2001; Gilg, et. al., 2005; Lea, et. al., 2005; Gupta, et. al., 1996; Zanoli dan Naspetti, 2002; Makatouni, 2002; Baker et. al., 2004).
Survei di Swedia, negara yang tingkat kesadaran konsumen dan lingkungan sangat tinggi, menunjukkan ada perbedaan antara attitude (sikap) dan behavior (perilaku) mengonsumsi terkait dengan produk organik. Konsumen di Swedia tidak menilai “diproduksi secara organik” tidak menjadi kriteria penting dalam mengonsumsi pangan. Juga produk organik tidak melebihi atau lebih unggul daripada produk non-organik dalam nilai rasa dan kesegaran dan harganya yang lebih mahal.
Penelitian di Swedia itu menunjukkan mereka yang perilakunya pro-lingkungan cenderung bisa diperkirakan membeli produk organik. Terkait dengan kepedulian lingkungan, hubungan antara perilaku (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) lebih kuat dibandingkan dengan sikap (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) dalam konteks kepedulian pada lingkungan (Shepherd, et. al., 2005).
Survei yang dilakukan oleh Robert Connor dan Leslie Douglas dari Universitas Ulster, Irlandia Utara, menunjukkan konsumen organik berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial-ekonomi lebih tinggi dan usia muda sampai pertengahan yang tinggal di kawasan urban atau kota. Survei mereka juga menunjukkan perempuan cenderung membeli produk organik daripada laki-laki. Alasan mereka membeli produk organik adalah kesehatan, rasa, kesegaran, dan kualitas. Mereka sedikit tidak paham beda antara pangan yang sehat dan bergizi (Connor dan Douglas, 2001).
Sikap lebih positif juga ditunjukkan oleh konsumen organik yang perempuan di Australia. Survei Emma Lea dan Tony Worsley itu menunjukkan secara keseluruhan konsumen perempuan lebih menunjukkan sikap positif dibandingkan laki-laki. Mereka menyimpulkan faktor nilai-nilai yang terkait dengan alam, lingkungan, dan keseimbangan menjadi faktor penduga positif kepercayaan pada produk organik (Lea dan Worsley, 2005).
Survei yang lain di Yunani menunjukkan sikap responden pada produk organik positif yaitu produk organik sehat, bersahabat dengan lingkungan, dan rasanya lebih enak. Sikap positif ini tidak kemudian diterjemahkan menjadi permintaan. Dari 1.013 orang yang disurvei hanya 19% yang membeli produk organik dan kurang dari sepertiganya memahami makna dari ‘organik’ (Gifford dan Bernard, 2006).
Meskipun alasan untuk lingkungan bukanlah alasan utama konsumen membeli produk organik, penelitian Andrew Gilg, Steward Barr, dan Nicholas Ford dari Universitas Exeter, menunjukkan konsumen organik di Inggris memiliki nilai-nilai pro-lingkungan dan pro-sosial. Usia juga mempengaruhi perilaku konsumen organik. Umur memberikan dampak positif pada konsumsi organik. Penelitian mereka menunjukkan umur rata-rata konsumen yang pro-lingkungan berbeda 12 tahun dibandingkan kelompok konsumen yang tidak pro-lingkungan (Gilg, 2005)
Penelitian Anil K Gupta dan koleganya di India menunjukkan hasil yang bertentangan dengan perkiraan sebelumnya, terkait dengan keinginan konsumen membayar harga produk organik yang lebih mahal. Mereka yang bersedia membayar harga khusus yang lebih mahal untuk produk pangan organik olahan relatif pendidikannya lebih rendah (kebanyakan mereka yang disurvei pendidikannya pasca sarjana), menghabiskan waktu lebih sedikit untuk mengonservasi energi, tidak peduli dengan seberapa besar dampak kerusakan pada lingkungan dari pabrik, dan secara umum tidak tertarik mendaur ulang sampah. Perempuan bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang kesehatan dan kecantikan, sangat tertarik pada daur ulang sampah, dan pengurangan pencemaran (Gupta, 1998).
Masih terkait dengan harga produk organik yang biasanya lebih mahal, penelitian Athanasios Krystallis dan George Chryssohoidis di Yunani, menunjukkan keinginan konsumen organik membayar harga lebih produk organik sangat tergantung pada jenis produknya. Buah-buahan adalah produk organik yang sudah umum dibeli konsumen Yunani, sehingga mereka rela membayar lebih untuk produk ini dibandingkan produk organik lainnya. Faktor sosio-demografi, karakteristik rasa, dan harga, menjadi penentu konsumen membeli produk organik (Krystallis dan Chryssohoidis, 2005).
New Environmental Paradigm
Riley E Dunlap dan Kent D Van Liere tahun 1978 memperkenalkan New Environmental Paradigm. Mereka menyusun New Environmental Paradigm (NEP) Scale untuk mengukur pemikiran dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Pada awalnya NEP Scale ada 12 pernyataan untuk diskor berdasarkan skor Likert. NEP ini disusun sebagai “tandingan” dari Dominant Social Paradigm yang cenderung anti-lingkungan. Tahun 2000, Dunlap dan Van Liere, bersama dua kolega lainnya, merevisi NEP Scale menjadi 15 pertanyaan. NEP yang sudah direvisi ini tidak hanya mengukur pemikiran dan perilaku pro-lingkungan tetapi juga mengukur yang tidak pro-lingkungan atau anti-lingkungan. (Dunlap, et. al., 2000).
Sebanyak 15 item dari skala NEP yang baru dirancang untuk menangkap lima hipotesis segi pandangan ekologis yaitu: kenyataan batas pertumbuhan (item 1, 6, 11), anti-antroposentrism (item 2, 7, 12), keseimbangan alam yang rapuh (item 3, 8, 13), penolakan pada exemptionalism (4, 9, 14), dan kemungkinan terjadinya krisis lingkungan (5, 10, 15). Paham exemptionalism melihat manusia terpisah dari hukum-hukum alam, atau manusia bukanlah bagian dari alam ini.
Berikut ini adalah 15 item skala NEP dalam bahasa Inggris:
1. We are approching the limit of the number of people the earth can support
2. Human have the right to modify the natural environment to suit their needs
3. When humans interfere with nature it often produces disastrous consequences
4. Human ingenuity will insure that we do NOT make the earth unlivable
5. Human are severely abusing the environment
6. The earth has plenty of natural resources if we just learn how to develop them
7. Plants and animals have as much right as human to exist
8. The balance of nature is strong enough to cope with the impacts of modern industrial nations
9. Despite our special abilities humans are still subject to the law of nature
10. The so-called “ecological crisis” facing humankind has been greatly exaggerated
11. The earth is like a spaceship with very limited room and resources
12. Human were meant to rule over the rest of nature
13. The balance of nature is very delicate and easily upset
14. Humans will eventually learn enough about how nature works to be able to control it
15. If things continue on their present course, we will soon experience a major ecological catastrophe
Skala NEP sudah dicobakan di berbagai penelitian pengukuran sikap dan perilaku pro-lingkungan dan anti-lingkungan di berbagai negara. Skala NEP terbukti konsisten sebagai alat ukur. NEP yang sudah direvisi mencakup pandangan kunci yang lebih lengkap dan menggunakan istilah yang lebih baru. NEP hasil revisi ini memaksimalkan content validity, sebagai satu ukuran (Dunlap, et. al., 2000).
Aldrich bersama dua koleganya dari dari Universitas New Mexico, AS, dan satu rekan dari University of California Santa Barbara, menggunakan NEP untuk melihat heterogenitas dari kelompok etnis yang sikapnya (attitude) pro-lingkungan. Aldrich dan koleganya menggunakan tiga metoda analisis data NEP dengan kesimpulannya ketiga metoda menghasilkan analisis yang konsisten. Mereka menyimpulkan NEP adalah instrumen pengukuran yang baik untuk melihat sikap (attitude) kelompok etnik yang diteliti (Aldrich, et. al., 2005).
Di Indonesia, sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum pernah ada survei yang menghubungkan sikap pro-lingkungan dikaitkan dengan perilaku mengonsumsi produk pertanian organik.
IV. Uraian teoritis
Pertanyaan penelitian
Penelitian ini ingin melihat profil konsumen organik dan profil konsumen biasa (yang tidak mengonsumsi produk organik) dikaitkan dengan sikapnya pada lingkungan berdasarkan skala NEP. Apakah konsumen organik memutuskan mengonsumsi produk organik berhubungan dengan sikapnya pada lingkungan atau tidak? Jika ada hubungan, apakah hubungannya positif atau negatif?
Konsumen biasa adalah konsumen yang tidak membeli produk organik.
Kemudian nilai NEP responden dari dua kelompok (kelompok konsumen organik dan kelompok konsumen biasa) dibandingkan. Apakah ada perbedaan nilai NEP yang signifikan antara konsumen organik dengan konsumen biasa?
Selanjutnya, data demografik kedua kelompok dibandingkan untuk melihat perbedaan karakteristik dua kelompok ini, dan data demografik di dalam kelompok dibandingkan juga. Data demografi yang perlu dibandingkan terutama data jenis kelamin, data penghasilan, umur, dan pendidikan. Apakah umur, pendidikan, penghasilan, jenis kelamin, mempengaruhi konsumen membeli produk organik atau tidak membeli produk organik?
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan tinjauan pustaka, berikut ini uraian hipotesisnya.
1. Konsumen organik diasumsikan adalah kelompok yang memiliki sikap pro-lingkungan yang sudah ditunjukkan dalam mengonsumsi produk organik. Skala NEP adalah skala yang sudah teruji konsisten, sudah divalidasi, mampu mengukur sikap pro-lingkungan. Logikanya, konsumen organik jika diukur sikapnya dengan skala NEP nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok konsumen umumnya. Jadi penelitian ini ingin menguji hipotesa pertama yaitu:
Nilai NEP rata-rata kelompok konsumen organik lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen biasa
2. Sikap pro-lingkungan seseorang dipengaruhi rekonstruksi konsep menyangkut prinsip-prinsip lingkungan. Untuk bisa merekonstruksi sikap pro-lingkungan atau membangun paradigma lingkungan, seseorang membutuhkan banyak informasi. Informasi bisa didapatkan dari pengalaman atau dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang kemungkinan ia merekonstruksi paradigma lingkungan semakin besar. Penelitian ini juga akan menguji hipotesa kedua yaitu:
Semakin tinggi pendidikan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar
3. Produk organik harganya lebih mahal dibandingkan dengan produk yang tidak dihasilkan dari pertanian organik. Meskipun dari tinjauan pustaka sejumlah penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara penghasilan dengan keputusan seseorang membeli produk organik, tetapi mungkin saja untuk masyarakat Indonesia hanya golongan menengah yang baru meningkat kesadaran akan lingkungan yang mampu membeli produk organik. Penelitian ini ingin menguji hipotesa ketiga yaitu:
Semakin tinggi penghasilan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar
4. Berdasarkan studi pustaka, keputusan mengonsumsi produk organik lebih banyak diambil oleh perempuan, terutama perempuan berkeluarga dan mempunyai anak balita. Penelitian ini ingin menguji hipotesa keempat yaitu:
Nilai NEP rata-rata perempuan lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata laki-laki dalam kelompok konsumen organik
5. Sebagai pembanding dari kelompok konsumen organik, penelitian ini juga mensurvei konsumen umum yang tidak mengonsumsi produk organik. Penelitian ini ingin membandingkan karakteristik kelompok konsumen organik dengan konsumen umum. Apakah faktor-faktor nilai NEP dan pendapatan sama-sama mempengaruhi responden dari dua kelompok ini? Penelitian ini akan menguji hipotesa kelima yaitu:
Nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen organik tidak sama dengan nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen umum.
Model analisis
Penelitian ini menguji korelasi tiga variabel bebas (pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin) dengan variabel terikat (nilai NEP) untuk kelompok konsumen organik. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat perbedaan nilai NEP rata-rata dari kelompok konsumen organik dibandingkan dengan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik). Kemudian, menggunakan analisis varian menguji paling tidak dua varian (yaitu nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata) apakah ada perbedaan antara kelompok konsumen organik dengan konsumen umum.
V. Metode penelitian
Unit analisis, populasi, dan sampel penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah individu yang mengonsumsi produk organik dan yang tidak mengonsumsi produk organik. Populasinya adalah konsumen organik yang tinggal di Jabodetabek dan konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik) yang juga tinggal di Jabodetabek.
Dua populasi itu diasumsikan homogen dan setiap anggota mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai responden. Responden dipilih menggunakan metoda acak sederhana (simple random sampling).
Dari setiap populasi akan diambil sampel sebanyak 100 responden. Jadi penelitian ini akan memiliki 200 responden dari dua kelompok berbeda.
Sampel penelitian dari kelompok konsumen organik akan diambil secara acak dari daftar konsumen organik dua produsen pertanian organik yaitu langganan produsen organik Bina Sarana Bakti di Cisarua dan daftar langganan dari produsen organik binaan ELSPPAT di Bogor. Daftar konsumen tetap dua produsen ini digabung secara acak untuk kemudian ditarik sampel dari daftar gabungan itu.
Sampel penelitian dari kelompok yang tidak mengonsumsi produk organik akan diambil secara acak dari konsumen pasar swalayan di Jakarta Selatan secara acak.
Penelitian akan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli 2007.
Penelitian ini akan menggunakan dua kuesioner yang sedikit berbeda. Satu kuesioner untuk kelompok konsumen organik dan kuesioner kedua untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik.
Kuesioner yang harus diisi sendiri untuk konsumen organik akan dikirimkan melalui dua organisasi (Bina Sarana Bakti dan ELSPPAT). Kuesioner untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik akan disampaikan kepada responden langsung melalui wawancara face-to-face.
VI. Daftar Pustaka
AIBS. 2002. “Biotechnology and the Green Revolution. Interview with Norman Borlaug.” ActionBioscience.org, November 2002. American Institute of Biological Sciences.
Aldrich, G., et. al. 2005. “Relating Environmental Ethical Attitudes and Contigent Valuation Responses Using Cluster Analysis, Latent Class Analysis, and the NEP: A Comparison.”
Anonim. 1993. “DDT may foster breast cancer, study finds.” Science News; Apr 24, 1993. Vol. 143, Iss. 17; pg. 262, 1 pgs.
Baker, S., Thompson, K.E., dan Engelken, J. 2004. “Mapping the values driving organic food choice: Germany vs the UK.” European Journal of Marketing; 2004; 38, 8; ABI/INFORM Global pg. 995.
Mata Kuliah Metoda Penelitian Sosial Kuantitatif
Oleh Harry Surjadi (0606018734) dan Zulfikar (6903410219)
————————————————————————————————————
Rancangan Penelitian
Profil Konsumen Produk Pertanian Organik di Jakarta
I. Latar belakang
“Where do pesticides fit into the picture of environmental disease? We have seen that tey now contaminate soil, water, and food, that they have the power to make our streams fishless and our garden and woodlands silent and birdless. Man, however much he may like to pretend the contrary, is part of nature. Can he escape a pollution that is now so thoroughly distributed throughout our world?” (Carson, 2002:188)
Rachel Carson dalam bukunya “Silent Spring” yang terbit tahun 1962, menggambarkan posisi manusia sebagai bagian dari alam dan manusia sebenarnya tidak bisa menghindar dari semua pencemaran akibat penggunaan pestisida. Seperti ikan dan burung yang mati, manusia juga akan menerima akibatnya. Masalahnya keracunan pestisida yang perlahan, sedikit demi sedikit, membuat manusia tidak peduli karena tidak nampak segera dampaknya. Mereka lebih peduli pada yang lebih kelihatan, mahluk kecil bernama serangga yang mengganggu tanaman pangan mereka (Carson, 2002). “Silent Spring” mencoba mengungkapkan dampak penggunaan pestisida terutama DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane), racun kimia paling berbahaya yang pernah dibuat manusia.
Cerita DDT dimulai tahun 1935 ketika Dr Paul Herman Mueller atas nama perusahan tempatnya bekerja J.R. Geigy A.G., di Basel mulai meneliti mencari insektisida, terutama insektisida pertanian. Sebenarnya sudah banyak hasil penelitian pestisida yang dipatenkan tetapi tidak ada satu pun jenis pestisida itu dijual di pasaran. Ketika itu jenis pestisida yang banyak digunakan di bidang pertanian adalah arsenate, pyrethrum atau rotenone, dua bahan aktif pestisida dari tanaman. Kondisi itu memacu Mueller untuk mempercepat penelitiannya mencari pestisida yang efektif. Ia memikirkan jenis pestisida kontak yang berkerja saat menyentuh tubuh serangga, bukan pestisida oral yang bekerja ketika masuk ke dalam tubuh hama (Mueller, 1948).
Setelah menguji ratusan substansi, Mueller, seperti disampaikannya dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel tahun 1948, harus mengakui tidak mudah menemukan pestisida kontak. Ia mulai menemukan harapan ketika meneliti keampuhan hasil sintesis substansi kimia yang ditemukan tahun 1873 oleh seorang mahasiswa Austria untuk tesisnya. Tahun 1939 uji coba pada lalat menunjukkan substansi itu bisa dikategorikan sebagai insektisida kontak. Mueller kemudian mensintesis substansi itu menjadi DDT (Mueller, 1948).
Uji coba DDT menunjukkan keampuhannya membunuh berbagai jenis serangga yang diujikan antara lain lalat, kutu, agas, kumbang Colorado, dan lainnya. Bahkan satu data penelitian harus dibuang karena para peneliti lupa membersihkan kotak penelitian dari residu DDT yang masih mampu mematikan serangga yang dimasukkan ke dalam kotak itu (Mueller, 1948).
Uji lapangan dilakukan di stasiun penelitian di Wadenswil dan Oerlikon (Switzerland) dan uji coba lapangan yang dilakukan oleh tim Dr Mueller sendiri. Hasil penelitian lapangan di Colorado menunjukkan enam minggu setelah perlakuan, residu DDT masih terus membutuh kumbang-kumbang Colorado (Mueller, 1948).
Tahun 1944, DDT digunakan tentara Amerika Serikat untuk membunuh berbagai jenis serangga pembawa penyakit, antara lain nyamuk pembawa penyakit malaria, caplak pembawa penyakit tifus, dan serangga pembawa penyakit lainnya. Prof G Fischer, dari Royal Caroline Institute, dalam pidato penyerahan Hadiah Nobel tahun 1948, menjuluki DDT sebagai deus ex machina (sesuatu yang awalnya tidak diharapkan menjadi jawaban persoalan yang sulit) karena keberhasilan DDT membunuh caplak pembawa tifus (Fischer, 1948).
Setelah Perang Dunia II berakhir, DDT menyebar ke seluruh dunia terutama digunakan untuk membunuh nyamuk malaria di negara-negara maju maupun negara berkembang dan membunuh serangga hama pertanian. Dalam jangka waktu 10 tahun penggunaan DDT mampu mengurangi kematian akibat malaria dari tiga juta kasus menjadi 7.300 kasus di Afrika Selatan. Cerita sukses besar penggunaan DDT di Sri Lanka. Sri Lanka berhasil menurunkan kasus malaria hingga hanya tersisa 29 kasus. Sri Lanka dianggap berhasil memenangkan perang melawan malaria. India berhasil menurunkan kasus malaria dari 75 juta kasus tahun 1951 menjadi hanya 50.000 kasus tahun 1961 (Bate, 2001; Sharma, 2003).
Ketika penggunaan DDT dilarang beberapa penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kasus malaria. Akhirnya di sejumlah negara DDT digunakan kembali khusus hanya untuk memberantas malaria. Bahkan WHO “merestui” penggunaan DDT untuk pemberantasan malaria (De Joode et. al., 2001; Robert et. al., 2000; Smith, 2000; Raloff, 2000; Davis, 1971; Jalsevac, 2005; Bate, 2001; Liroff, 2002; Roberts, 2002; Berenbaum, 2005)
DDT tidak hanya digunakan untuk memberantas nyamuk malaria. DDT bersama dengan berbagai jenis pestisida mematikan lainnya juga dipakai luas untuk memberantas hama pertanian, khususnya terkait dengan munculnya Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau, keberhasilan teknologi pertanian termasuk teknologi pemberantasan hama-penyakit, meningkatkan produksi pangan terutama gandum dan beras. Revolusi Hijau menjanjikan memberi makan untuk seluruh penduduk dunia. Norman Ernest Borlaug, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1970, dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel, mengatakan istilah Revolusi Hijau, istilah yang dipopularkan pers, terlalu prematur, terlalu optimis, atau terlalu luas cakupannya. Ia mengakui, istilah itu seakan menunjukkan semua petani seragam merasakan manfaat dari terobosan peningkatan produksi. (Borlaug, 1970).
Revolusi Hijau dimulai ketika Borlaug bergabung dalam sebuah program yang bertujuan membantu petani miskin di Mexico meningkatkan produksi gandum mereka. Program itu didanai oleh Rockefeller Foundation. Borlaug membutuhkan waktu hampir 20 tahun memuliakan gandum cebol yang tahan berbagai hama dan penyakit dan menghasilkan gandum dua sampai tiga kali varitas tradisional, seperti diungkapkan Borlaug dalam wawancara dengan situs publikasi online ActionBioscience yang dikelola oleh American Institute of Biological Sciences (AIBS, 2002).
Kemudian tahun 1960-an Rockefeller Foundation memperluas programnya membantu petani Pakistan dan India menanam varitas gandum unggul itu. Hasilnya luar biasa. Pakistan berhasil memproduksi 8,4 juta ton gandum 1970 dari hanya 4,6 juta ton pada tahun 1965. India memproduksi 20 juta ton gandum tahun 1970 dibandingkan produksinya tahun 1965 hanya 12,3 juta ton. Keberhasilan Revolusi Hijau ini melimpas ke Cina yang sekarang menjadi produser pangan terbesar di dunia. (AIBS, 2002; Borlaug, 1970)
Revolusi Hijau di Asia Tenggara, yang makanan pokoknya beras bukan gandum, berawal dari didirikannya International Rice Research Institute di Los Banos, Filipina, tahun 1962 atas bantuan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. IRRI bertugas memuliakan varietas-varietas padi unggul berproduksi tinggi. Tahun 1968 petani di India, Pakistan, Thailand, Filipina, Taiwan, Vietnam Selatan, dan Indonesia mulai menanam IR-8 salah satu varitas padi hasil pemuliaan IRRI (Franke, 1974).
Revolusi Hijau menjadi bagian dari kebijakan Orde Baru di Indonesia melalui program Bimas/Inmas dengan menerapkan pertanian modern dengan asupan pupuk buatan, varitas unggul, pestisida pemberantas hama/penyakit, irigasi, dan alat-alat pertanian plus kredit (Tata, 2000).
Terkait dengan Revolusi Hijau, Indonesia antara tahun 1969-1974 menerima bantuan dari Amerika Serikat untuk membeli DDT dan sejumlah pestisida jenis lainnya dengan nilai lebih dari satu juta dollar AS. Tahun 1975, khusus untuk bantuan pembelian DDT, AS membatasinya hanya untuk “kepentingan kesehatan masyarakat.” (Rahardjo, 2001).
Meskipun Orde Baru menyatakan berhasil mencapai “swasembada pangan” dan Soeharto menerima penghargaan dari FAO tahun 1986, sampai saat ini Indonesia masih tetap mengimpor beras dan petani tidak semakin sejahtera. Beberapa literatur juga menyimpulkan Revolusi Hijau telah gagal memberi makan dunia. Penduduk miskin masih tetap banyak (Morgan, 1978; Franke, 1974; Rosset, 2000).
Bukti-bukti menunjukkan pertanian ala Green Revolution tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan untuk pertanian skala luas. Tahun 1990-an bahkan para peneliti Green Revolution menyuarakan peringatan adanya kecenderungan yang mengganggu. Setelah menikmati peningkatan panenan yang dramatis pada awal penerapan teknologi, panenan mulai menurun di sejumlah kawasan yang menerapkan Green Revolution.
Di Luzon Tengah, Filipina, hasil panenan meningkat selama tahun 1970-an dan mencapai puncaknya awal 1980-an, setelah itu mulai menurun perlahan-lahan. Pola serupa terjadi juga di India dan Nepal. Kalau pun tidak turun, laju pertumbuhan melambat dengan cepat atau tidak naik atau turun, seperti terjadi di Cina, Korea Utara, Indonesia, Myanmar, Filipina, Thailand, Pakistan, dan Srilanka (Rosset, 2000).
Bukan hanya gagal menyejahterakan petani, Revolusi Hijau membawa bencana baru pada lingkungan dan kesehatan manusia. Residu pestisida ditemukan di dalam tubuh petani dan pekerja di lahan pertanian di Amerika Serikat (Revees et. al., 2002)
Januari 2003 Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat dalam laporan kedua mengenai paparan kimia lingkungan pada manusia (Second National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals) mengungkapkan hasil tes pada 9.282 orang menunjukkan di dalam tubuh mereka terdeteksi 116 bahan kimia, termasuk 34 jenis pestisida (Schafer et. Al., 2004).
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida sejak Revolusi Hijau tahun 1950-an di Amerika Serikat kasus sejumlah penyakit yang berhubungan dengan kontaminasi lingkungan ikut meningkat juga. CDC melaporkan satu dari empat orang di AS tahun 2004 akan terkena kanker dalam hidupnya (Schafer et. Al., 2004).
Memang para ahli tidak bisa menjelaskan apa kaitannya antara tingginya kasus kanker dengan paparan bahan kimia yang dibuang di lingkungan. Tetapi para ahli mengetahui banyak pestisida bersifat karsinogenik atau menyebabkan jenis kanker tertentu. Para ahli juga mencoba menghubungkan penyakit kronis seperti Parkinson, kerusakan janin, berkurangnya jumlah sperma berhubungan dengan paparan pestisida.
Bagaimana bahan kimia beracun itu masuk ke dalam tubuh manusia? Paling banyak pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui oral ketika manusia mengkonsumsi hasil pertanian yang mengandung residu pestisida dan melalui air minum yang sudah terkontaminasi kimia pestisida.
Pengolahan data residu pestisida dari sumber-sumber pemerintah dan perguruan tinggi oleh Pesticide Action Network tahun 1999 di AS menunjukkan umum dalam satu produk pangan mengandung residu lima atau lebih kimia beracun yang pesisten. Bahan kimia jenis POP (pesistent organic pollutant) yang paling umum mengontaminasi produk pangan di AS adalah dieldrin dan DDE. Ketika DDT, yang sudah dilarang penggunaannya tahun 1970, diurai hasilnya adalah DDE (PAN, 2001).
POP masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Bahan kimia ini terakumulasi di dalam tubuh organisme dari rantai makanan paling rendah. Dan akhirnya bermuara di dalam tubuh manusia disimpan di dalam jaringan lemak. Bahkan DDT bisa menyebabkan kematian, mengganggu organi reproduksi, mengubah jenis kelamin ikan ketika masih telur (Rogan dan Chen, 2005; Ross, 2005; Anonim, 1993; Hesman, 2000; Snedeker, 2001)
Residu bahan pestisida jenis POP yang sudah dilarang di AS ditemukan di semua kategori pangan mulai dari makanan yang dipanggang, buah-buahan, sayuran, daging, telur, sampai produk peternakan. Secara umum ada 10 jenis pangan, berdasarkan studi FDA tahun 1999 yang disusun berdasarkan abjad adalah mentega, cantaloupe, mentimun, meatloaf, kacang, jagung pop corn, radish, bayam, summer squash dan winter squash (PAN, 2001).
Indonesia, menurut data Departemen Pertanian, ada 1.082 jenis pestisida yang terdaftar dan mendapatkan izin penggunaan untuk budi daya pertanian dan kehutanan. SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian juga sudah menetapkan residu untuk 1.082 jenis pestisida itu. Tidak ada data berapa besar jumlah residu pestisida yang ada di tanah (KLH, 2006).
Tahun 1993 penelitian Pesticide Action Network Indonesia menunjukkan beras jenis IR64 di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengandung racun karbofuran sebesar 58,21 ppb dan diazinon 18,4 ppb. Beras kuku balam asal Pangkalan Brandan mengandung karbofuran 39,21 ppb. Meskipun beras itu sudah dicuci dengan air, kandungan karbofuran pada beras IR64 dari Deli Serdang masih 45,56 ppb an beras kuku balam 29,78 ppb. Pestisida juga mengontaminasi ASI, tanah, air, bahkan tanaman obat (Tjahjadi dan Gayatri, 1994).
Paradigma Sosial Dominan
Manusia hidup di dunia nyata di luar diri manusia. Tetapi pilihan dan keputusan manusia lebih berhubungan dengan definisi mengenai “dunia nyata” atau “realitas” di dalam diri manusia dibandingkan dunia nyata yang sungguh nyata di luar dirinya. Struktur masyarakat yang ada atau struktur sosial yang nyata di masyarakat, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai struktur objektif (Ritzer dan Goodman, 2005), tidak bisa dilepaskan dari pengaruh proses pembentukan struktur sosial subyektif dari hasil proses konstruksi sosial. Konstruksi sosial secara subyektif ini terjadi melalui proses memahami, memikirkan, merasakan, dan membangun struktur sosial, dan kemudian bertindak berdasarkan struktur sosial yang dibangunnya.
Dalam konteks hubungan manusia dengan alam atau sebaliknya, perilaku manusia sangat ditentukan dari konstruksi sosial yang dibangunnya di dalam dirinya bukan ditentukan oleh keadaan lingkungan di luar dirinya. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana hubungan manusia dengan alam atau lingkungan atau posisi manusia di lingkungan, dikonstruksikan secara simbolik dalam dirinya. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mengkonstruksi persoalan lingkungan.
Di awal peradaban, menusia mengkonstruksikan manusia adalah bagian dari alam. Manusia berburu, mengumpulkan pangan dari alam, dan berpindah-pindah. Kemudian manusia mulai menetap dan membudidayakan tanaman pangan dan ternak untuk kebutuhan pangannya, ketika pengetahuan manusia belum berkembang. Masyarakat pertanian baru muncul kurang lebih 7.000 tahun yang lalu, ketika tanaman pangan ditanam berulang setiap tahun di tempat yang sama, menggunakan irigasi, dan pupuk (Harper, 2001).
Mulainya Revolusi Hijau, konstruksi sosial hubungan manusia dengan alam bergeser dari “manusia adalah bagian dari alam” menjadi “manusia menguasai alam atau menentang alam.” Di dalam dunia pertanian, manusia kemudian mengeksploitasi alam atau manusia adalah pusat dari segalanya. Antroposentism adalah paradigma sosial dominan yang mendorong Revolusi Hijau.
Mengikuti ide pemikiran Thomas Kuhn mengenai perkembangan sains yaitu ketika terjadi krisis paradigman dominan akan digantikan oleh paradigman baru (Ritzer dan Goodman, 2005). Paradigman sosial dominan antroposentrism yang dikonstruksi pada saat Revolusi Hijau memunculkan persoalan lingkungan. Ketika terjadi krisis lingkungan yang mendunia, paradigma dominan ini digantikan oleh paradigma baru yang mengkonstruksi sosial terkait dengan persoalan lingkungan. Paradigman baru ini melihat manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak bisa mengeksploitasi alam dengan memaksa tanah dan tumbuhan yang direkayasa berproduksi semaksimal mungkin.
Paradigma baru ini memunculkan gerakan pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian yang selaras dengan alam. Pertanian organik adalah pertanian yang didasarkan pada health (kesehatan), ecology (ekologi), fairness (adil, tidak membeda-bedakan), care (perhatian dalam makna memelihara). Prinsip kesehatan bermakna: pertanian organik harus berkelanjutan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, binatang, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Prinsip ekologi: pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologis, berkerja dengan ekologi, berusaha mengikutinya, dan membantu melestarikannya. Prinsip fairness: pertanian organik harus didasari oleh hubungan yang memastikan terjadinya keadilan dengan menghargai lingkungan bersama dan kesempatan untuk hidup. Prinsip care: pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi kini dan generasi mendatang dan lingkungan (IFOAM, 2005; IFOAM, 2006).
Di dunia, gerakan pertanian organik dimotori oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Association) yang berdiri tahun 1972. Saat ini IFOAM memiliki lebih dari 750 anggota di 108 negara.
Di Indonesia, gerakan pertanian organik dimulai di Cisarua tahun 1984 dengan didirikannya pusat pertanian organik Bina Sarana Bakti. Setelah itu mulai bermunculan gerakan petani yang beralih dari pertanian modern ke pertanian organik, terutama di Pulau Jawa (Husnain, 2005). Sekarang berbagai organisasi petani organik bergabung di Jaringan Kerja Pertanian Organik (JakerPO). Sekarang anggota JakerPO lebih dari 25 organisasi yang tersebar di Pulau Jawa, Bali, NTT, NTB, dan Sumatera.
Sejalan dengan munculnya petani-petani yang menghasilkan produk organik bebas residu pestisida dan merebaknya kesadaran lingkungan, di kota-kota besar di dunia dan di Indonesia bermunculan konsumen organik.
Produk pertanian organik berkembang pesat. Misalnya, di Inggris, berdasarkan laporan tahunan Soil Association Juli 2006 (Organic Market Report 2006), pasar produk organik meningkat 30% dibandingkan tahun 2005, naik tiga kali lipat. Pasar produk pertanian organik di AS diperkirakan akan terus bertumbuh hingga dua digit dalam 5-10 tahun mendatang sebelum stabil. Tahun 2020 nilai penjualan produk organik di AS diperkirakan bisa mencapai US$80 miliar per tahun (Lowy, 2005).
Di Indonesia luas lahan yang dikelola secara organik, termasuk lahan pertanian alami seperti kebun campuran dan ladang-ladang tradisional, sekitar 40.000 hektar (Husain, et. al., 2005). Tidak ada data berapa banyak produk organik di Indonesia.
II. Rumusan masalah
Mengkonsumsi produk pertanian organik di Jakarta saat ini menjadi satu gaya hidup baru. Banyak alasan yang bisa disampaikan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik. Survei konsumen sayuran organik yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 menunjukkan konsumen membeli sayuran organik dengan alasan utama kesehatan (ELSPPAT, 2001). ELSPPAT adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja mengembangkan pertanian organik sayur-mayur dan nenas di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.
Sejauh penelusuran pustaka, survei konsumen organik baru yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 dan BioCert tahun 2003/2004. Survei lebih lengkap saat ini sedang dilakukan oleh JakerPO (Jaringan Kerja Pertanian Organik). JakerPO, jaringan sejumlah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pertanian organik, menyurvei petani organik, konsumen organik, dan masyarakat umum (Komunikasi pribadi dengan Nana Suhartana koordinator survei JakerPO).
Survei konsumen organik yang pernah dilakukan di Indonesia tidak mengukur tingkat apakah konsumen memilih produk organik karena pro-lingkungan. Survei-survei itu hanya mencoba memotret siapa konsumen organik (tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan alasan). Potret alasan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik tidak menggambarkan apakah perilaku mereka pro-lingkungan atau sekedar karena ketakutan terkontaminasi pestisida atau sekedar alasan kesehatan. Atau keputusan membeli produk pertanian organik memang karena perilaku mereka pro-lingkungan.
Tujuan penelitian
Pertama studi ini ingin melihat apakah konsumen produk pertanian organik tergolong kelompok masyarakat peduli lingkungan (pro-lingkungan) atau tidak pro-lingkungan? Apakah keputusan membeli produk organik memang karena alasan pro-lingkungan?
Kedua, studi ini ingin membandingkan sikap dan perilaku pro-lingkungan konsumen produk pertanian organik dengan non-konsumen produk pertanian organik.
Ketiga, studi ini ingin melihat apakah ada hubungannya antara sikap dan perilaku pro-lingkungan dengan tingkat pendapatan mereka, tingkat pendidikan, seberapa besar mereka bersedia membayar harga yang lebih tinggi dalam mengkonsumsi produk pertanian organik?
Bagi organisasi non-pemerintah yang membantu produsen organik dan juga produsen organik yang dibantunya penting mengetahui apakah konsumen mereka memilih produk organik karena memang mereka pro-lingkungan. Sehingga mereka lebih bisa mempromosikan produk organik sesuai dengan tujuan mereka yaitu membuat lingkungan menjadi lebih baik. Bagi pemerintah, yang juga punya program pengembangan pertanian organik, bisa melihat kebijakan yang harus diambil terkait dengan pengembangan produk organik.
III. Tinjauan pustaka
The Hartman Group, perusahaan riset dan konsultan pemasaran di Bellevue, Washington, meneliti perilaku konsumen organik dan mencoba melihat sejumlah mitos yang ditempelkan pada konsumen organik. tetapi hasilnya serupa. Para peneliti, termasuk di antaranya antropolog, mengikuti konsumen organik ke mana pun ia pergi, dari pasar sampai ke tempat latihan sepakbola anaknya. Para peneliti juga mewawancarai dan memeriksa lemari dan kulkas di rumah konsumen organik ini. Hasilnya sungguh menarik.
Ada tiga mitos konsumen organik yaitu pertama, konsumen organik mengonsumsi produk organik karena alasan kesadaran lingkungan yang tinggi. Kedua, tipikal konsumen organik adalah pendidikan tinggi dan penghasilan tinggi yang kebanyakan keturunan Kaukasian. Alasan utama mereka yang tidak membeli produk organik adalah harga.
Survei mereka menunjukkan hanya 26% yang menjadi konsumen organik karena alasan kesadaran lingkungan. Alasan utama mereka membeli produk organik karena produk organik kualitasnya lebih baik, lebih sehat, dibandingkan produk pangan biasa. Rasa menjadi motivasi kedua dan ketiga adalah keamanan pangan. Pemicu utama mereka mengonsumsi produk organik adalah karena punya anak kecil, keluarga yang sakit (alergi makanan, kanker dan gangguan kesehatan lainnya), dan pengaruh lingkungan sosial. Pengaruh lain adalah karena beberapa pendapat logis seperti kalau “pestisida tidak baik untuk serangga, bagaimana mungkin baik untuk manusia,” atau cerita mengenai “petani tidak memakan produk yang mereka hasilkan” (Howie, 2004).
Mitos kedua, konsumen organik kebanyakan keturunan Kaukasian juga terbantahkan. Orang Amerika keturunan Afrika, Asia, dan Hispanic cenderung membeli produk organik dibandingkan orang Amerika kebanyakan. Dan mereka yang rata-rata membeli sembilan produk organik dalam sebulan penghasilannya kurang dari US$50.000 per tahun.
Lebih dalam lagi, konsumen organik merasa mereka banyak hal tidak bisa dikendalikan di dunia. Memilih makanan adalah salah satu yang dapat mereka kendalikan dan membeli produk organik adalah melaksanakan kendali itu.
Mitos ketiga harga mahal membuat mereka tidak membeli produk organik tidak terbukti benar. Alasan utama mereka tidak membeli produk organik karena mereka tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan untuk mengonsumsi produk organik. Harga produk organik yang lebih mahal dari produk non-organik adalah alasan kedua. Tetapi aspek harga ini tidaklah sesederhana itu. Misalnya, seorang ibu tidak masalah mengeluarkan uang lebih US$1,50 untuk membeli stroberi organik untuk anaknya tetapi tidak rela mengeluarkan se-sen membeli brokoli organik untuk suaminya. Alasan ketiga mereka tidak membeli produk organik karena tidak tersedia (Howie, 2004).
Studi-studi lain di berbagai negara menyimpulkan alasan membeli produk organik tidak hanya satu, tetapi biasanya banyak, mulai dari kepedulian pada lingkungan sampai motivasi perdagangan yang adil. Tetapi kebanyakan konsumen organik mengatakan alasan kesehatan menjadi pendorong mereka mengonsumsi produk organik (Padel dan Foster, 2005; Chinnici, et. al., 2002; Shepherd et. al., 2005; Radman, 2005; Connor dan Douglas, 2001; Gilg, et. al., 2005; Lea, et. al., 2005; Gupta, et. al., 1996; Zanoli dan Naspetti, 2002; Makatouni, 2002; Baker et. al., 2004).
Survei di Swedia, negara yang tingkat kesadaran konsumen dan lingkungan sangat tinggi, menunjukkan ada perbedaan antara attitude (sikap) dan behavior (perilaku) mengonsumsi terkait dengan produk organik. Konsumen di Swedia tidak menilai “diproduksi secara organik” tidak menjadi kriteria penting dalam mengonsumsi pangan. Juga produk organik tidak melebihi atau lebih unggul daripada produk non-organik dalam nilai rasa dan kesegaran dan harganya yang lebih mahal.
Penelitian di Swedia itu menunjukkan mereka yang perilakunya pro-lingkungan cenderung bisa diperkirakan membeli produk organik. Terkait dengan kepedulian lingkungan, hubungan antara perilaku (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) lebih kuat dibandingkan dengan sikap (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) dalam konteks kepedulian pada lingkungan (Shepherd, et. al., 2005).
Survei yang dilakukan oleh Robert Connor dan Leslie Douglas dari Universitas Ulster, Irlandia Utara, menunjukkan konsumen organik berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial-ekonomi lebih tinggi dan usia muda sampai pertengahan yang tinggal di kawasan urban atau kota. Survei mereka juga menunjukkan perempuan cenderung membeli produk organik daripada laki-laki. Alasan mereka membeli produk organik adalah kesehatan, rasa, kesegaran, dan kualitas. Mereka sedikit tidak paham beda antara pangan yang sehat dan bergizi (Connor dan Douglas, 2001).
Sikap lebih positif juga ditunjukkan oleh konsumen organik yang perempuan di Australia. Survei Emma Lea dan Tony Worsley itu menunjukkan secara keseluruhan konsumen perempuan lebih menunjukkan sikap positif dibandingkan laki-laki. Mereka menyimpulkan faktor nilai-nilai yang terkait dengan alam, lingkungan, dan keseimbangan menjadi faktor penduga positif kepercayaan pada produk organik (Lea dan Worsley, 2005).
Survei yang lain di Yunani menunjukkan sikap responden pada produk organik positif yaitu produk organik sehat, bersahabat dengan lingkungan, dan rasanya lebih enak. Sikap positif ini tidak kemudian diterjemahkan menjadi permintaan. Dari 1.013 orang yang disurvei hanya 19% yang membeli produk organik dan kurang dari sepertiganya memahami makna dari ‘organik’ (Gifford dan Bernard, 2006).
Meskipun alasan untuk lingkungan bukanlah alasan utama konsumen membeli produk organik, penelitian Andrew Gilg, Steward Barr, dan Nicholas Ford dari Universitas Exeter, menunjukkan konsumen organik di Inggris memiliki nilai-nilai pro-lingkungan dan pro-sosial. Usia juga mempengaruhi perilaku konsumen organik. Umur memberikan dampak positif pada konsumsi organik. Penelitian mereka menunjukkan umur rata-rata konsumen yang pro-lingkungan berbeda 12 tahun dibandingkan kelompok konsumen yang tidak pro-lingkungan (Gilg, 2005)
Penelitian Anil K Gupta dan koleganya di India menunjukkan hasil yang bertentangan dengan perkiraan sebelumnya, terkait dengan keinginan konsumen membayar harga produk organik yang lebih mahal. Mereka yang bersedia membayar harga khusus yang lebih mahal untuk produk pangan organik olahan relatif pendidikannya lebih rendah (kebanyakan mereka yang disurvei pendidikannya pasca sarjana), menghabiskan waktu lebih sedikit untuk mengonservasi energi, tidak peduli dengan seberapa besar dampak kerusakan pada lingkungan dari pabrik, dan secara umum tidak tertarik mendaur ulang sampah. Perempuan bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang kesehatan dan kecantikan, sangat tertarik pada daur ulang sampah, dan pengurangan pencemaran (Gupta, 1998).
Masih terkait dengan harga produk organik yang biasanya lebih mahal, penelitian Athanasios Krystallis dan George Chryssohoidis di Yunani, menunjukkan keinginan konsumen organik membayar harga lebih produk organik sangat tergantung pada jenis produknya. Buah-buahan adalah produk organik yang sudah umum dibeli konsumen Yunani, sehingga mereka rela membayar lebih untuk produk ini dibandingkan produk organik lainnya. Faktor sosio-demografi, karakteristik rasa, dan harga, menjadi penentu konsumen membeli produk organik (Krystallis dan Chryssohoidis, 2005).
New Environmental Paradigm
Riley E Dunlap dan Kent D Van Liere tahun 1978 memperkenalkan New Environmental Paradigm. Mereka menyusun New Environmental Paradigm (NEP) Scale untuk mengukur pemikiran dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Pada awalnya NEP Scale ada 12 pernyataan untuk diskor berdasarkan skor Likert. NEP ini disusun sebagai “tandingan” dari Dominant Social Paradigm yang cenderung anti-lingkungan. Tahun 2000, Dunlap dan Van Liere, bersama dua kolega lainnya, merevisi NEP Scale menjadi 15 pertanyaan. NEP yang sudah direvisi ini tidak hanya mengukur pemikiran dan perilaku pro-lingkungan tetapi juga mengukur yang tidak pro-lingkungan atau anti-lingkungan. (Dunlap, et. al., 2000).
Sebanyak 15 item dari skala NEP yang baru dirancang untuk menangkap lima hipotesis segi pandangan ekologis yaitu: kenyataan batas pertumbuhan (item 1, 6, 11), anti-antroposentrism (item 2, 7, 12), keseimbangan alam yang rapuh (item 3, 8, 13), penolakan pada exemptionalism (4, 9, 14), dan kemungkinan terjadinya krisis lingkungan (5, 10, 15). Paham exemptionalism melihat manusia terpisah dari hukum-hukum alam, atau manusia bukanlah bagian dari alam ini.
Berikut ini adalah 15 item skala NEP dalam bahasa Inggris:
1. We are approching the limit of the number of people the earth can support
2. Human have the right to modify the natural environment to suit their needs
3. When humans interfere with nature it often produces disastrous consequences
4. Human ingenuity will insure that we do NOT make the earth unlivable
5. Human are severely abusing the environment
6. The earth has plenty of natural resources if we just learn how to develop them
7. Plants and animals have as much right as human to exist
8. The balance of nature is strong enough to cope with the impacts of modern industrial nations
9. Despite our special abilities humans are still subject to the law of nature
10. The so-called “ecological crisis” facing humankind has been greatly exaggerated
11. The earth is like a spaceship with very limited room and resources
12. Human were meant to rule over the rest of nature
13. The balance of nature is very delicate and easily upset
14. Humans will eventually learn enough about how nature works to be able to control it
15. If things continue on their present course, we will soon experience a major ecological catastrophe
Skala NEP sudah dicobakan di berbagai penelitian pengukuran sikap dan perilaku pro-lingkungan dan anti-lingkungan di berbagai negara. Skala NEP terbukti konsisten sebagai alat ukur. NEP yang sudah direvisi mencakup pandangan kunci yang lebih lengkap dan menggunakan istilah yang lebih baru. NEP hasil revisi ini memaksimalkan content validity, sebagai satu ukuran (Dunlap, et. al., 2000).
Aldrich bersama dua koleganya dari dari Universitas New Mexico, AS, dan satu rekan dari University of California Santa Barbara, menggunakan NEP untuk melihat heterogenitas dari kelompok etnis yang sikapnya (attitude) pro-lingkungan. Aldrich dan koleganya menggunakan tiga metoda analisis data NEP dengan kesimpulannya ketiga metoda menghasilkan analisis yang konsisten. Mereka menyimpulkan NEP adalah instrumen pengukuran yang baik untuk melihat sikap (attitude) kelompok etnik yang diteliti (Aldrich, et. al., 2005).
Di Indonesia, sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum pernah ada survei yang menghubungkan sikap pro-lingkungan dikaitkan dengan perilaku mengonsumsi produk pertanian organik.
IV. Uraian teoritis
Pertanyaan penelitian
Penelitian ini ingin melihat profil konsumen organik dan profil konsumen biasa (yang tidak mengonsumsi produk organik) dikaitkan dengan sikapnya pada lingkungan berdasarkan skala NEP. Apakah konsumen organik memutuskan mengonsumsi produk organik berhubungan dengan sikapnya pada lingkungan atau tidak? Jika ada hubungan, apakah hubungannya positif atau negatif?
Konsumen biasa adalah konsumen yang tidak membeli produk organik.
Kemudian nilai NEP responden dari dua kelompok (kelompok konsumen organik dan kelompok konsumen biasa) dibandingkan. Apakah ada perbedaan nilai NEP yang signifikan antara konsumen organik dengan konsumen biasa?
Selanjutnya, data demografik kedua kelompok dibandingkan untuk melihat perbedaan karakteristik dua kelompok ini, dan data demografik di dalam kelompok dibandingkan juga. Data demografi yang perlu dibandingkan terutama data jenis kelamin, data penghasilan, umur, dan pendidikan. Apakah umur, pendidikan, penghasilan, jenis kelamin, mempengaruhi konsumen membeli produk organik atau tidak membeli produk organik?
Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan tinjauan pustaka, berikut ini uraian hipotesisnya.
1. Konsumen organik diasumsikan adalah kelompok yang memiliki sikap pro-lingkungan yang sudah ditunjukkan dalam mengonsumsi produk organik. Skala NEP adalah skala yang sudah teruji konsisten, sudah divalidasi, mampu mengukur sikap pro-lingkungan. Logikanya, konsumen organik jika diukur sikapnya dengan skala NEP nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok konsumen umumnya. Jadi penelitian ini ingin menguji hipotesa pertama yaitu:
Nilai NEP rata-rata kelompok konsumen organik lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen biasa
2. Sikap pro-lingkungan seseorang dipengaruhi rekonstruksi konsep menyangkut prinsip-prinsip lingkungan. Untuk bisa merekonstruksi sikap pro-lingkungan atau membangun paradigma lingkungan, seseorang membutuhkan banyak informasi. Informasi bisa didapatkan dari pengalaman atau dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang kemungkinan ia merekonstruksi paradigma lingkungan semakin besar. Penelitian ini juga akan menguji hipotesa kedua yaitu:
Semakin tinggi pendidikan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar
3. Produk organik harganya lebih mahal dibandingkan dengan produk yang tidak dihasilkan dari pertanian organik. Meskipun dari tinjauan pustaka sejumlah penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara penghasilan dengan keputusan seseorang membeli produk organik, tetapi mungkin saja untuk masyarakat Indonesia hanya golongan menengah yang baru meningkat kesadaran akan lingkungan yang mampu membeli produk organik. Penelitian ini ingin menguji hipotesa ketiga yaitu:
Semakin tinggi penghasilan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar
4. Berdasarkan studi pustaka, keputusan mengonsumsi produk organik lebih banyak diambil oleh perempuan, terutama perempuan berkeluarga dan mempunyai anak balita. Penelitian ini ingin menguji hipotesa keempat yaitu:
Nilai NEP rata-rata perempuan lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata laki-laki dalam kelompok konsumen organik
5. Sebagai pembanding dari kelompok konsumen organik, penelitian ini juga mensurvei konsumen umum yang tidak mengonsumsi produk organik. Penelitian ini ingin membandingkan karakteristik kelompok konsumen organik dengan konsumen umum. Apakah faktor-faktor nilai NEP dan pendapatan sama-sama mempengaruhi responden dari dua kelompok ini? Penelitian ini akan menguji hipotesa kelima yaitu:
Nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen organik tidak sama dengan nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen umum.
Model analisis
Penelitian ini menguji korelasi tiga variabel bebas (pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin) dengan variabel terikat (nilai NEP) untuk kelompok konsumen organik. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat perbedaan nilai NEP rata-rata dari kelompok konsumen organik dibandingkan dengan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik). Kemudian, menggunakan analisis varian menguji paling tidak dua varian (yaitu nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata) apakah ada perbedaan antara kelompok konsumen organik dengan konsumen umum.
V. Metode penelitian
Unit analisis, populasi, dan sampel penelitian
Unit analisis penelitian ini adalah individu yang mengonsumsi produk organik dan yang tidak mengonsumsi produk organik. Populasinya adalah konsumen organik yang tinggal di Jabodetabek dan konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik) yang juga tinggal di Jabodetabek.
Dua populasi itu diasumsikan homogen dan setiap anggota mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai responden. Responden dipilih menggunakan metoda acak sederhana (simple random sampling).
Dari setiap populasi akan diambil sampel sebanyak 100 responden. Jadi penelitian ini akan memiliki 200 responden dari dua kelompok berbeda.
Sampel penelitian dari kelompok konsumen organik akan diambil secara acak dari daftar konsumen organik dua produsen pertanian organik yaitu langganan produsen organik Bina Sarana Bakti di Cisarua dan daftar langganan dari produsen organik binaan ELSPPAT di Bogor. Daftar konsumen tetap dua produsen ini digabung secara acak untuk kemudian ditarik sampel dari daftar gabungan itu.
Sampel penelitian dari kelompok yang tidak mengonsumsi produk organik akan diambil secara acak dari konsumen pasar swalayan di Jakarta Selatan secara acak.
Penelitian akan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli 2007.
Penelitian ini akan menggunakan dua kuesioner yang sedikit berbeda. Satu kuesioner untuk kelompok konsumen organik dan kuesioner kedua untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik.
Kuesioner yang harus diisi sendiri untuk konsumen organik akan dikirimkan melalui dua organisasi (Bina Sarana Bakti dan ELSPPAT). Kuesioner untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik akan disampaikan kepada responden langsung melalui wawancara face-to-face.
VI. Daftar Pustaka
AIBS. 2002. “Biotechnology and the Green Revolution. Interview with Norman Borlaug.” ActionBioscience.org, November 2002. American Institute of Biological Sciences.
Aldrich, G., et. al. 2005. “Relating Environmental Ethical Attitudes and Contigent Valuation Responses Using Cluster Analysis, Latent Class Analysis, and the NEP: A Comparison.”
Anonim. 1993. “DDT may foster breast cancer, study finds.” Science News; Apr 24, 1993. Vol. 143, Iss. 17; pg. 262, 1 pgs.
Baker, S., Thompson, K.E., dan Engelken, J. 2004. “Mapping the values driving organic food choice: Germany vs the UK.” European Journal of Marketing; 2004; 38, 8; ABI/INFORM Global pg. 995.
Indonesia Berpotensi Jadi Produsen Tanaman Organik Dunia
21/09/07 17:18
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia dinilai memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen tanaman organik terbesar di dunia.
Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Jumat mengatakan, Indonesia sangat kaya plasma nutfah dan sebagian besar lahan pertaniannya, khususnya di luar Jawa masih bersifat"virgin sehingga dengan sendirinya produk yang dihasilkannya merupakan pangan organik.
"Bagi Indonesia produk pertanian organik yang dapat kita hasilkan seharusnya bisa lebih beragam dari Thailand," katanya.
Anton mengatakan, Indonesia memiliki berbagai macam varietas buah tropis, selain itu juga produk organik di sektor perkebunan seperti kopi, lada dan coklat.
Potensi produk organik tersebut juga terdapat pada komoditas tanaman pangan di antaranya padi dan jagung serta di sektor peternakan dan perikanan.
"Selain itu potensi pasar dalam negeri di Indonesia juga lebih besar dari Thailand. Ini menggambarkan potensi dan prospek pertanian di Indonesia sangat bagus," katanya.
Mentan menyatakan, pertumbuhan pasar produk pangan organik di dunia meningkat pesat yang mana pada 1997 baru sekitar 10 miliar dolar AS namun pada 1998 telah mencapai 13 miliar dolar AS.
Pada 2003, kata Mentan pada peluncuran "Workshop Nasional Pengembangan Pangan Organik" dan "Indonesian Organic and Healthy Expo 2007", pasar global produk pangan organik tersebut meningkat hingga mencapai 27 miliar dolar AS.
Pasar global produk pangan organik, sebagian besar berada di negara maju khususnya Eropa, Amerika dan Jepang.
"Diperkirakan pasar pangan organik global akan mencapai angka 100 miliar dolar AS pada 2010," katanya.
Sementara itu pertumbuhan pasar pangan organik di Indonesia terlihat dengan meningkatnya jumlah petani organik, outlet-outlet supermarket dan rumah makan yang menjual produk pangan organik.
Selain itu, lanjut Mentan, pemasaran produk organik ke Eropa seperti kopi dan rempah-rempah serta sayuran organik ke Singapura mulai berkembang.(*)
Jakarta (ANTARA News) - Indonesia dinilai memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen tanaman organik terbesar di dunia.
Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Jumat mengatakan, Indonesia sangat kaya plasma nutfah dan sebagian besar lahan pertaniannya, khususnya di luar Jawa masih bersifat"virgin sehingga dengan sendirinya produk yang dihasilkannya merupakan pangan organik.
"Bagi Indonesia produk pertanian organik yang dapat kita hasilkan seharusnya bisa lebih beragam dari Thailand," katanya.
Anton mengatakan, Indonesia memiliki berbagai macam varietas buah tropis, selain itu juga produk organik di sektor perkebunan seperti kopi, lada dan coklat.
Potensi produk organik tersebut juga terdapat pada komoditas tanaman pangan di antaranya padi dan jagung serta di sektor peternakan dan perikanan.
"Selain itu potensi pasar dalam negeri di Indonesia juga lebih besar dari Thailand. Ini menggambarkan potensi dan prospek pertanian di Indonesia sangat bagus," katanya.
Mentan menyatakan, pertumbuhan pasar produk pangan organik di dunia meningkat pesat yang mana pada 1997 baru sekitar 10 miliar dolar AS namun pada 1998 telah mencapai 13 miliar dolar AS.
Pada 2003, kata Mentan pada peluncuran "Workshop Nasional Pengembangan Pangan Organik" dan "Indonesian Organic and Healthy Expo 2007", pasar global produk pangan organik tersebut meningkat hingga mencapai 27 miliar dolar AS.
Pasar global produk pangan organik, sebagian besar berada di negara maju khususnya Eropa, Amerika dan Jepang.
"Diperkirakan pasar pangan organik global akan mencapai angka 100 miliar dolar AS pada 2010," katanya.
Sementara itu pertumbuhan pasar pangan organik di Indonesia terlihat dengan meningkatnya jumlah petani organik, outlet-outlet supermarket dan rumah makan yang menjual produk pangan organik.
Selain itu, lanjut Mentan, pemasaran produk organik ke Eropa seperti kopi dan rempah-rempah serta sayuran organik ke Singapura mulai berkembang.(*)
Memandirikan Petani dengan Bertani Organik
Jakarta, Kompas - Teknologi pertanian yang mengedepankan bibit hibrida, transgenik, pestisida, pupuk kimia, maupun hormon pertumbuhan ternyata hanya akan berujung pada ketergantungan petani. Pertanian organik-yang ramah lingkungan-menjadikan petani lebih mandiri dari ketergantungan atas sarana produksi pertanian yang harganya terus naik.
Demikian benang merah dari diskusi peluncuran buku Belajar dari Petani: Kumpulan Pengalaman Bertani Organik yang diselenggarakan di antaranya oleh Jaringan Organisasi Non Pemerintah Pendamping Petani, Konphalindo, Lesman, dan Yayasan Mitra Tani di Jakarta, Jumat (24/10).
Buku itu merupakan kumpulan tulisan pengalaman 50 petani organik di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, dipaparkan juga berbagai tips bertani dan resep pestisida alami serta pupuk alami. Bahkan, secara rinci ada yang mencatatkan perhitungan biaya bertani organik yang jauh lebih murah ketimbang bertani non-organik.
Damayanti Buchori, peneliti Departemen Hama dan Penyakit Institut Pertanian Bogor, mengatakan, pertanian organik tidak berarti harus meninggalkan sama sekali bahan kimia seperti pupuk. Namun, hal itu merupakan proses yang bertahap dalam mengembangkan pertanian organik. "Prinsipnya, seminimal mungkin atau sama sekali meninggalkan pupuk dan pestisida kimia," katanya.
Menurut dia, pertanian non- organik telah membuat petani terperangkap dalam teknologi yang tidak mampu mereka ciptakan sendiri dan hanya menjadi pengguna. Sementara nilai tukar produk pertanian terhadap teknologi yang digunakan, seperti bibit hibrida, pestisida, dan pupuk, terus merosot.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan, pertanian non-organik selama ini hanya mengerdilkan petani di atas kesejahteraan industri-industri besar produsen bibit, pupuk kimia, dan pestisida. Pertanian organik mendekatkan lagi petani dengan alam dengan menghargai keanekaragaman hayati dalam keseimbangan ekosistem.
"Pertanian organik sebenarnya kontra revolusi petani atas revolusi hijau. Petani revolusi diam-diam, tanpa kekerasan dan demonstrasi," ujar Sonny.
Damayanti mengatakan, pertanian non-organik lama kelamaan ternyata menimbulkan banyak masalah. Misalnya, unsur hara tanah yang semakin berkurang sehingga tanah menjadi keras, bantat, dan sulit digarap. Hama tanaman lama juga semakin resisten akibat penggunaan pestisida kimia.
"Predator atau musuh-musuh alami hama akibatnya punah sehingga mengganggu ekosistem. Sebab, pestisida akhirnya bukan memusnahkan hama, tetapi justru predator alami hama itu," kata Damayanti. Selama ini pestisida kerap digunakan berlebihan, bahkan sebelum hama itu muncul.
Hendrastuti, petani organik dari Kulon Progo, DIY Yogyakarta, menuturkan, pertanian organik telah menjadi jalan bagi petani untuk mendekatkan kembali kepada alam dan kearifan tradisional. Sejak mengenal pertanian organik tahun 1993, Hendrastuti berhasil mengembangkan benih padi lokal yang tidak rakus unsur hara tanah dan tahan serangan hama. "Ilmu titen (mencermati-Red) dan kesabaran yang sebelumnya tergeser oleh pertanian modern kembali menjadi pedoman bagi petani. Prinsip keberlanjutan pertanian organik ini membuat tanah dan tanaman sehat," katanya.
Hendrastuti memanfaatkan pupuk kandang, pupuk hijau, dan jerami untuk menyuburkan lahan pertanian. Sementara pestisida alami yang diramunya, misalnya dari campuran daun mindi, buah lamtoro, dan daun kenikir. Untuk mengatasi ledakan hama, tanaman digilir untuk memutus siklus perkembangbiakan hama, misalnya dengan padi-padi-palawija.
Damayanti meyakini gerakan pertanian organik akan semakin meluas di Indonesia. Jika terus digalakkan, pertanian organik juga dapat menjadi jalan keluar bagi ketahanan pangan. Namun, dia menggarisbawahi paradigma ketahanan pangan seharusnya difokuskan pada ketahanan pangan lokal yang menghargai keanekaragaman bahan pangan pokok masyarakat. (B14)
Demikian benang merah dari diskusi peluncuran buku Belajar dari Petani: Kumpulan Pengalaman Bertani Organik yang diselenggarakan di antaranya oleh Jaringan Organisasi Non Pemerintah Pendamping Petani, Konphalindo, Lesman, dan Yayasan Mitra Tani di Jakarta, Jumat (24/10).
Buku itu merupakan kumpulan tulisan pengalaman 50 petani organik di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, dipaparkan juga berbagai tips bertani dan resep pestisida alami serta pupuk alami. Bahkan, secara rinci ada yang mencatatkan perhitungan biaya bertani organik yang jauh lebih murah ketimbang bertani non-organik.
Damayanti Buchori, peneliti Departemen Hama dan Penyakit Institut Pertanian Bogor, mengatakan, pertanian organik tidak berarti harus meninggalkan sama sekali bahan kimia seperti pupuk. Namun, hal itu merupakan proses yang bertahap dalam mengembangkan pertanian organik. "Prinsipnya, seminimal mungkin atau sama sekali meninggalkan pupuk dan pestisida kimia," katanya.
Menurut dia, pertanian non- organik telah membuat petani terperangkap dalam teknologi yang tidak mampu mereka ciptakan sendiri dan hanya menjadi pengguna. Sementara nilai tukar produk pertanian terhadap teknologi yang digunakan, seperti bibit hibrida, pestisida, dan pupuk, terus merosot.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan, pertanian non-organik selama ini hanya mengerdilkan petani di atas kesejahteraan industri-industri besar produsen bibit, pupuk kimia, dan pestisida. Pertanian organik mendekatkan lagi petani dengan alam dengan menghargai keanekaragaman hayati dalam keseimbangan ekosistem.
"Pertanian organik sebenarnya kontra revolusi petani atas revolusi hijau. Petani revolusi diam-diam, tanpa kekerasan dan demonstrasi," ujar Sonny.
Damayanti mengatakan, pertanian non-organik lama kelamaan ternyata menimbulkan banyak masalah. Misalnya, unsur hara tanah yang semakin berkurang sehingga tanah menjadi keras, bantat, dan sulit digarap. Hama tanaman lama juga semakin resisten akibat penggunaan pestisida kimia.
"Predator atau musuh-musuh alami hama akibatnya punah sehingga mengganggu ekosistem. Sebab, pestisida akhirnya bukan memusnahkan hama, tetapi justru predator alami hama itu," kata Damayanti. Selama ini pestisida kerap digunakan berlebihan, bahkan sebelum hama itu muncul.
Hendrastuti, petani organik dari Kulon Progo, DIY Yogyakarta, menuturkan, pertanian organik telah menjadi jalan bagi petani untuk mendekatkan kembali kepada alam dan kearifan tradisional. Sejak mengenal pertanian organik tahun 1993, Hendrastuti berhasil mengembangkan benih padi lokal yang tidak rakus unsur hara tanah dan tahan serangan hama. "Ilmu titen (mencermati-Red) dan kesabaran yang sebelumnya tergeser oleh pertanian modern kembali menjadi pedoman bagi petani. Prinsip keberlanjutan pertanian organik ini membuat tanah dan tanaman sehat," katanya.
Hendrastuti memanfaatkan pupuk kandang, pupuk hijau, dan jerami untuk menyuburkan lahan pertanian. Sementara pestisida alami yang diramunya, misalnya dari campuran daun mindi, buah lamtoro, dan daun kenikir. Untuk mengatasi ledakan hama, tanaman digilir untuk memutus siklus perkembangbiakan hama, misalnya dengan padi-padi-palawija.
Damayanti meyakini gerakan pertanian organik akan semakin meluas di Indonesia. Jika terus digalakkan, pertanian organik juga dapat menjadi jalan keluar bagi ketahanan pangan. Namun, dia menggarisbawahi paradigma ketahanan pangan seharusnya difokuskan pada ketahanan pangan lokal yang menghargai keanekaragaman bahan pangan pokok masyarakat. (B14)
Petani Tangguh
August 13th, 2008 0leh Ninda Jogja Kategori: Info & Uneg-uneg
Beberapa waktu lalu saya diminta menjadi MC untuk acara Jumpa Pers KFC Goes To Organic. Ini adalah acara untuk memperkenalkan nasi dari beras organik yang sekarang menjadi hidangan di KFC.
Saya bersemangat banget untuk mengetahui keunggulan nasi dari beras organik ini. Lebih bersemangat lagi karena mendengar bahwa saat ini konsumsi bahan-bahan organik bukan lagi tren semata, melainkan sudah menjadi kebutuhan, seiring kesadaran masyarakat akan konsumsi makanan sehat yang makin meningkat.
Sejak hari itu sebetulnya saya pengin banget tahu lebih banyak tentang tanaman organik. Tapi belum juga ada kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan petani dan mereka yang bergerak di bidang agrobisnis, apalagi lihat langsung area penanamannya.
Eeeeh.. nggak berapa lama kemudian, seorang teman, Fransiska, kirim sms cukup panjang. Ini nih uneg-unegnya :
”Ternyata jadi petani organik itu susah banget. Panen tomat dan kacang ku gagal. Tanamanku yang mulai berbuah, in two nights diserang hama binatang, 60% lost. Buset, yang ganggu tuh banyak banget. Amazing apa yang petani kita gone throgh day to day to ensure panen.
Pelajaran yang aku petik :
1. Bertani organik itu susah. Sebelumnya aku pikir apa susahnya sih jadi petani di Indonesia? Tinggal tanam, tumbuh, panen. Tapi ternyata nggak gampang. Banyak bener musuhnya, dari kutu, belalang, rayap, sampai burung.
2. Kalau petani kita gampang menyerah dan nggak tangguh, pasti pemakaian pestisida bisa makin banyak, karena hama sudah imun dengan dosis kecil. Bisa-bisa bumi ini tambah banyak racunnya.Hmmm…aku sekarang punya respek baru buat petani.”
Saya melongo…betapa nggak pedulinya saya selama ini. Saya juga nggak pernah peduli kalau Fakultas Pertanian di semua Universitas kita ini makin sedikit peminatnya. Mungkin karena lulusannya dianggap nggak bergengsi? Entahlah. Tapi memang sejak kecil saya nggak pernah dengar ada teman yang menjawab ingin jadi petani atau sarjana pertanian kalau ditanya apa cita-citanya kelak (termasuk saya juga dhing).
Hmmm…apa ya yang bisa kita lakukan untuk para petani kita?
Beberapa waktu lalu saya diminta menjadi MC untuk acara Jumpa Pers KFC Goes To Organic. Ini adalah acara untuk memperkenalkan nasi dari beras organik yang sekarang menjadi hidangan di KFC.
Saya bersemangat banget untuk mengetahui keunggulan nasi dari beras organik ini. Lebih bersemangat lagi karena mendengar bahwa saat ini konsumsi bahan-bahan organik bukan lagi tren semata, melainkan sudah menjadi kebutuhan, seiring kesadaran masyarakat akan konsumsi makanan sehat yang makin meningkat.
Sejak hari itu sebetulnya saya pengin banget tahu lebih banyak tentang tanaman organik. Tapi belum juga ada kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dengan petani dan mereka yang bergerak di bidang agrobisnis, apalagi lihat langsung area penanamannya.
Eeeeh.. nggak berapa lama kemudian, seorang teman, Fransiska, kirim sms cukup panjang. Ini nih uneg-unegnya :
”Ternyata jadi petani organik itu susah banget. Panen tomat dan kacang ku gagal. Tanamanku yang mulai berbuah, in two nights diserang hama binatang, 60% lost. Buset, yang ganggu tuh banyak banget. Amazing apa yang petani kita gone throgh day to day to ensure panen.
Pelajaran yang aku petik :
1. Bertani organik itu susah. Sebelumnya aku pikir apa susahnya sih jadi petani di Indonesia? Tinggal tanam, tumbuh, panen. Tapi ternyata nggak gampang. Banyak bener musuhnya, dari kutu, belalang, rayap, sampai burung.
2. Kalau petani kita gampang menyerah dan nggak tangguh, pasti pemakaian pestisida bisa makin banyak, karena hama sudah imun dengan dosis kecil. Bisa-bisa bumi ini tambah banyak racunnya.Hmmm…aku sekarang punya respek baru buat petani.”
Saya melongo…betapa nggak pedulinya saya selama ini. Saya juga nggak pernah peduli kalau Fakultas Pertanian di semua Universitas kita ini makin sedikit peminatnya. Mungkin karena lulusannya dianggap nggak bergengsi? Entahlah. Tapi memang sejak kecil saya nggak pernah dengar ada teman yang menjawab ingin jadi petani atau sarjana pertanian kalau ditanya apa cita-citanya kelak (termasuk saya juga dhing).
Hmmm…apa ya yang bisa kita lakukan untuk para petani kita?
Gerakan Organik
Sebagian besar petani-petani di Indonesia –khususnya di luar Jawa—adalah para petani organik yang terbentuk secara tidak sengaja justru karena mereka tidak menjadi target atau berpartisipasi dalam “revolusi hijau” dan masih tetap melanjutkan metode pertanian tradisional. Di wilayah lain, para petani tidak lagi dapat membeli pestisida dan pupuk ketika harga melonjak sebagai akibat krisis ekonomi. Hal ini berarti bahwa argumen tentang pertanian organik telah mulai memiliki makna yang semakin berarti. Beberapa kelompok petani dan LSM melihat pertanian organik sebagai cara melawan dampak buruk revolusi hijau, dan membebaskan para petani dari dominasi revolusi hijau – seperti ketergantungan terhadap pupuk kimia, pestisida dan bahan-bahan pertanian lainnya yang sejenis.
Meskipun demikian, kesadaran publik tentang apa yang disebut sebagai “pertanian organik” serta kebutuhan konsumen terhadap tanaman organik masih sangat rendah di Indonesia (tak ada sertifikasi atau penggunaan label secara nasional untuk makanan organik seperti juga tidak adanya label bagi makanan mengandung GMO. Salah satu toko yang menjual bahan-bahan organik dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1997 oleh Konsorsium Komunitas Pedagagan yang Adil, dengan dana dari Oxfam. Para pemilik toko, yang mengembalikan sebagian besar keuntungan kepada para petani, mengatakan bahwa cukup sulit untuk mendapatkan orang yang mau membayar harga lebih teinggi bagi hasil organik.
LSM-LSM seperti Jaringan Aksi Pestisida (PAN) Indonesia, SPTN-HPS, ELSPPAT (Bogor) dan Sintesa di Sumatra Utara sedang mencoba mengangkat perdebatan tentang pertanian di masyarakat di mana pada saat bersamaan melaksanakan program-program praktis dengan kelompok-kelompok petani. Mereka adalah anggota-anggota Jaringan Kerja Pertanian Organik yang anggotanya adalah LSM dan kelompok petani. Meskipun jaringan tersbut bukan anggota IFOAM, (International Federation of Organic Agriculture Movements) atau Federasi Internasional Gerakan Pertanian Organik (lihat www.ifoam.org) jaringkan kerja nasional tersebut telah bekerja sama dengan IFOAM dalam berbagai kegiatan.
Tanah
Organisasi-organisasi LSM di Indonesia yang memiliki hubungan kuat dengan gerakan untuk mendapatkan tanah atau reformasi agraria berpendirian bahwa penguasaan tanah dan kondisi lingkungan politik yang terbuka dan demokratis merupakan landasan dasar pertanian yang berkelanjutan. ‘Berkelanjutan’ berarti bukan sekedar berkelanjutan dalam bidang lingkungan, tetapi juga secara sosial, politik dan ekonomi. Mereka telah menjalankan kegiatan-kegiatan yang kongkrit sebagai titik tolak untuk membantu para petani agar dapat menguasai kembali lahan dan juga meningkatkan kekuatan tawar mereka di pasar. Para petani juga telah bergerak untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara khusus dan memperjuangkan reformasi agraria secara umum. (Jakarta Post 19/Feb/01; konferensi pers dengan ELSPPAT).
Proyek Organik ELSPPAT
Selama kunjungannya ke London, pendiri ELSPPAT, Any Sulstyowati menjelaskan program pertanian organik skala kecil yang dikerjakan oleh LSM di atas lahan-lahan kecil di Bogor:
”Program ini bertujuan menyediakan pekerjaan bagi para pekerja informal yang menganggur akibat krisis ekonomi. Program ini ini dimulai dengan penggunaan lahan kecil yang disewa dari seorang pemilik tanah di kota, yang biasanya digunakan untuk menanam sayuran. Selanjutnya, program ini kemudian berkembang dengan memasukkan beberapa petak tanah yang dimiliki petani, atau tanah orang lain yang disewa bagi petani tak bertanah.
Produk-produk mereka dijual oleh koperasi petani (kelompok-kelompok petani) yang dibentuk melalui program yang menggunakan sistem pengantaran secara langsung kepada konsumen yang dengan demikian berupaya memotong jalur para perantara. Barang-barang ini kemudian ditentukan perbedaan hargannya antara pasar tradisional dan harga supermarket. Pada awalnya, kita menjual barang-barang ini kepada orang-orang LSM, tetapi kemudian, dari mulut ke mulut, kita juga bisa menjual lebih banyak kepada ibu-ibu rumah tangga di perkotaan yang mulai membeli barang kami.
Ketika kami melakukan hal ini, kita seringkali mendapatkan komentar-komentar dari para petani tua yang tinggal berdekaatan, saat mereka melihat kami menggunakan pupuk kompos, yang mengatakan “kenapa kamu menggunakan cara lama? Kita telah meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu!” Meskipun demikian, petani-petani ini tertarik dengan kenyataan bahwa kita tidak perlu membayar mahal untuk bahan-bahan kimia dan kita bisa memotong jalur para perantara untuk menjual barang.
Dalam pengalaman kami, persoalan pertanian organik sangat membutuhkan pupuk organik dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, sepanjang para petani tidak memiliki ternak, mereka harus membelinya. Dengan demikian, gagasan kita adalah untuk menciptakan sistem pertanian organik yang terintegrasi. Tetapi, sebelum kita mencapai tahapan ini, kita harus berurusan terlebih dahulu dengan kebutuhan-kebutuhan dasar petani. Persoalannya mereka tidak bisa mendapatkan uang yang cukup dari kegiatan pertanian tersebut karena tanah mereka sangat terbatas.
Sekarang ini telah ada lebih banyak peluang untuk bekerja di sektor informal. Khususnya di desa-desa di mana di wilayah sekitarnya terdapat peningkatan permintaan untuk pekerjaan konstruksi untuk membangun kuburan Cina. Kebanyakan orang-orang muda yang telah kembali bekerja, tetap terlibat dalam dialog yang berkelanjutan dengan para petani di desa tetangga mereka tentang kegunaan pertanian organik serta koperasi yang menjual apa yang kita ingin kembangkan menjadi program yang lebih berkelanjutan.”
Meskipun demikian, kesadaran publik tentang apa yang disebut sebagai “pertanian organik” serta kebutuhan konsumen terhadap tanaman organik masih sangat rendah di Indonesia (tak ada sertifikasi atau penggunaan label secara nasional untuk makanan organik seperti juga tidak adanya label bagi makanan mengandung GMO. Salah satu toko yang menjual bahan-bahan organik dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1997 oleh Konsorsium Komunitas Pedagagan yang Adil, dengan dana dari Oxfam. Para pemilik toko, yang mengembalikan sebagian besar keuntungan kepada para petani, mengatakan bahwa cukup sulit untuk mendapatkan orang yang mau membayar harga lebih teinggi bagi hasil organik.
LSM-LSM seperti Jaringan Aksi Pestisida (PAN) Indonesia, SPTN-HPS, ELSPPAT (Bogor) dan Sintesa di Sumatra Utara sedang mencoba mengangkat perdebatan tentang pertanian di masyarakat di mana pada saat bersamaan melaksanakan program-program praktis dengan kelompok-kelompok petani. Mereka adalah anggota-anggota Jaringan Kerja Pertanian Organik yang anggotanya adalah LSM dan kelompok petani. Meskipun jaringan tersbut bukan anggota IFOAM, (International Federation of Organic Agriculture Movements) atau Federasi Internasional Gerakan Pertanian Organik (lihat www.ifoam.org) jaringkan kerja nasional tersebut telah bekerja sama dengan IFOAM dalam berbagai kegiatan.
Tanah
Organisasi-organisasi LSM di Indonesia yang memiliki hubungan kuat dengan gerakan untuk mendapatkan tanah atau reformasi agraria berpendirian bahwa penguasaan tanah dan kondisi lingkungan politik yang terbuka dan demokratis merupakan landasan dasar pertanian yang berkelanjutan. ‘Berkelanjutan’ berarti bukan sekedar berkelanjutan dalam bidang lingkungan, tetapi juga secara sosial, politik dan ekonomi. Mereka telah menjalankan kegiatan-kegiatan yang kongkrit sebagai titik tolak untuk membantu para petani agar dapat menguasai kembali lahan dan juga meningkatkan kekuatan tawar mereka di pasar. Para petani juga telah bergerak untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara khusus dan memperjuangkan reformasi agraria secara umum. (Jakarta Post 19/Feb/01; konferensi pers dengan ELSPPAT).
Proyek Organik ELSPPAT
Selama kunjungannya ke London, pendiri ELSPPAT, Any Sulstyowati menjelaskan program pertanian organik skala kecil yang dikerjakan oleh LSM di atas lahan-lahan kecil di Bogor:
”Program ini bertujuan menyediakan pekerjaan bagi para pekerja informal yang menganggur akibat krisis ekonomi. Program ini ini dimulai dengan penggunaan lahan kecil yang disewa dari seorang pemilik tanah di kota, yang biasanya digunakan untuk menanam sayuran. Selanjutnya, program ini kemudian berkembang dengan memasukkan beberapa petak tanah yang dimiliki petani, atau tanah orang lain yang disewa bagi petani tak bertanah.
Produk-produk mereka dijual oleh koperasi petani (kelompok-kelompok petani) yang dibentuk melalui program yang menggunakan sistem pengantaran secara langsung kepada konsumen yang dengan demikian berupaya memotong jalur para perantara. Barang-barang ini kemudian ditentukan perbedaan hargannya antara pasar tradisional dan harga supermarket. Pada awalnya, kita menjual barang-barang ini kepada orang-orang LSM, tetapi kemudian, dari mulut ke mulut, kita juga bisa menjual lebih banyak kepada ibu-ibu rumah tangga di perkotaan yang mulai membeli barang kami.
Ketika kami melakukan hal ini, kita seringkali mendapatkan komentar-komentar dari para petani tua yang tinggal berdekaatan, saat mereka melihat kami menggunakan pupuk kompos, yang mengatakan “kenapa kamu menggunakan cara lama? Kita telah meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu!” Meskipun demikian, petani-petani ini tertarik dengan kenyataan bahwa kita tidak perlu membayar mahal untuk bahan-bahan kimia dan kita bisa memotong jalur para perantara untuk menjual barang.
Dalam pengalaman kami, persoalan pertanian organik sangat membutuhkan pupuk organik dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, sepanjang para petani tidak memiliki ternak, mereka harus membelinya. Dengan demikian, gagasan kita adalah untuk menciptakan sistem pertanian organik yang terintegrasi. Tetapi, sebelum kita mencapai tahapan ini, kita harus berurusan terlebih dahulu dengan kebutuhan-kebutuhan dasar petani. Persoalannya mereka tidak bisa mendapatkan uang yang cukup dari kegiatan pertanian tersebut karena tanah mereka sangat terbatas.
Sekarang ini telah ada lebih banyak peluang untuk bekerja di sektor informal. Khususnya di desa-desa di mana di wilayah sekitarnya terdapat peningkatan permintaan untuk pekerjaan konstruksi untuk membangun kuburan Cina. Kebanyakan orang-orang muda yang telah kembali bekerja, tetap terlibat dalam dialog yang berkelanjutan dengan para petani di desa tetangga mereka tentang kegunaan pertanian organik serta koperasi yang menjual apa yang kita ingin kembangkan menjadi program yang lebih berkelanjutan.”
SOLIHIN- Profil Petani ORGANIK
Berawal dari keinginannya untuk hidup sehat, Solihin, salah seroang petani di Desa Pleret, Bantul, Yogyakarta, mencoba untuk menanam padi organik.
Pada mulanya, menanam padi organik dirasakan sangat sulit dan melelahkan. Namun didorong keinginannya untuk menjaga kesehatan, rasa lelah itu tidak dirasakannya. Bahkan sekarang hanya rasa senang yang diperolehnya ketika berada disawah.
Beras dari hasil panennya itu dia tawarkan ke beberapa orang terdekat. Dan ternyata nasi dari beras organik banyak yang disukai orang. Hal ini dikarenakan rasanya yang enak, sedikit gurih (tanpa perasa makanan). Sehingga sekarang banyak yang berminat untuk membeli beras organik.
Karena permintaan yang tidak seimbang, hasil produksi padinya tidak cukup untuk memenuhi permintaan konsumen. Solihin terpaksa mengajak beberapa orang petani untuk dibina sebagai petani organik.
Dari binaannya, beberapa petani berhasil menjadi petani organik, tapi sebagian yang lain tidak berhasil.
Untuk menjadi petani organik ternyata tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Selain harus telaten, ternyata diperlukan juga mental yang kuat.
Produksi padi organik biasanya lebih rendah dari padi yang dikelola secara konvensional., apalagi bila terserang hama, hal ini dapat menghancurkan tanaman padi. Namun demikian produksi yang rendah tersebut dapat diimbangi dengan harga yang lebih tinggi dari pada beras biasa.
Melihat kondisi seperti itu beberapa petani mundur untuk menjadi petani organik. Namun sebagaian yang lain memilih untuk tetap maju. Bahkan sebagian petani organik sudah memiliki pasar tersendiri untuk beras organiknya, selain untuk kebutuhannya sendiri.
Jogakarta, 14 Januari 2006
Pada mulanya, menanam padi organik dirasakan sangat sulit dan melelahkan. Namun didorong keinginannya untuk menjaga kesehatan, rasa lelah itu tidak dirasakannya. Bahkan sekarang hanya rasa senang yang diperolehnya ketika berada disawah.
Beras dari hasil panennya itu dia tawarkan ke beberapa orang terdekat. Dan ternyata nasi dari beras organik banyak yang disukai orang. Hal ini dikarenakan rasanya yang enak, sedikit gurih (tanpa perasa makanan). Sehingga sekarang banyak yang berminat untuk membeli beras organik.
Karena permintaan yang tidak seimbang, hasil produksi padinya tidak cukup untuk memenuhi permintaan konsumen. Solihin terpaksa mengajak beberapa orang petani untuk dibina sebagai petani organik.
Dari binaannya, beberapa petani berhasil menjadi petani organik, tapi sebagian yang lain tidak berhasil.
Untuk menjadi petani organik ternyata tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Selain harus telaten, ternyata diperlukan juga mental yang kuat.
Produksi padi organik biasanya lebih rendah dari padi yang dikelola secara konvensional., apalagi bila terserang hama, hal ini dapat menghancurkan tanaman padi. Namun demikian produksi yang rendah tersebut dapat diimbangi dengan harga yang lebih tinggi dari pada beras biasa.
Melihat kondisi seperti itu beberapa petani mundur untuk menjadi petani organik. Namun sebagaian yang lain memilih untuk tetap maju. Bahkan sebagian petani organik sudah memiliki pasar tersendiri untuk beras organiknya, selain untuk kebutuhannya sendiri.
Jogakarta, 14 Januari 2006
Study Tour Ke Puncak, Bogor- Pater Agatho
Senin, 28-04-2008 09:38:54 oleh: Dhella Ella Kanal: Gaya Hidup
Study tour kali ini kita bersama dengan guru pendamping kami, Bu Ivon pergi ke Puncak, Bogor untuk membahas tentang sayur organic yang dikelola oleh Pater Agatho. Kami sempat pergi ke tempatnya, namun karena beliau sedang berhalangan, maka kami didampingi oleh temannya. Walaupun begitu, kami tetap merasa senang. Kami terdiri dari Laurencia Novi (XI IPS 1), Deirdre Tenawin (XI IPS 1), Maria Dhella (XI IPS 2), dan Michael Vincent (XI IPA1). Apa yang kita makan katanya akan menentukan siapa kita. Ungkapan ini tentu saja tidak semata-mata menyangkut makanan apa yang kita makan, di mana kita makan, dan bagaimana kita memakan makanan itu. Pengaruh sangat jelas makanan adalah terhadap kesehatan serta kebugaran tubuh, dan sampai batas tertentu, kecantikan dan kemudaankita.
Dengan alasan kesehatan itulah kini semakin banyak orang-setidaknya di Jakarta-yang sukarela mau merogoh kantong mereka untuk membeli makanan organik. Makanan itu juga semakin banyak ditawarkan di berbagai took swalayan, bahkan ada restoran-restoran yang menyediakan menu khusus sayuran dan daging ayam yang diproduksisecara organik. Makanan organik adalah makanan yang diproduksi tanpa pupuk kimia atau artifisial dan atau pestisida sintetis, tetapi menggunakan pupuk organik seperti menur dari kotoran dan feses ternak, yang dikenal sebagai pupuk kandang serta kompos.
Mengonsumsi makanan sehat atau makanan berbasis material-material organik kini menjadi pilihan sejumlah orang. Penyanyi Melly Manuhutu mulai berkenalan dengan sayuran organik karena kebetulan dia tinggal di kawasan Ciburial, Cisarua, Jawa Barat. Di tempat tinggalnya itu, ia dengan mudah mendapatkan sayuran organik yang ditanam di kebun yang dimiliki oleh Pater Agatho. Penyanyi yang pernah hamil tetapi kemudian keguguran itu memakan beragam sayuran organik, seperti wortel, bayam, selada, lobak, labu siam, tomat, selain ubi, dan pisang. Bahkan ayam dan telur pun dia pilih yang diproduksi secara organik. APA pun alasan yang disampaikan para konsumen makananorganik, entah dengan alasan kesehatan atau kembali ke alam, tetapi makanan organik perlahan semakin popular walaupun harganya berlipat sampai tiga kali dibandingkan dengan makanan non-organik.
Memang, membicarakan pertanian organik ini tidak akan bisa melepaskan peranan Pater Agatho Elsener. Ia adalah biarawan Swiss yang mewarisi perusahaan pisau terkenal dari Swiss, Victorinox. Dialah yang mengembangkan pertanian organik di kawasan Tugu, Puncak -sejak tahun 1983- saat kegiatan seperti ini masih kurang populer, bahkan masa itu masih dikuasai arogansi sistem pertanian "modern" dengan intensifikasi penggunaan bahan-bahan sintetis. Untuk lingkungan, pertanian organik dianggap lebih bersahabat terhadap lingkungan karena dia mengambil apa yang berasal dari alam dan dikembalikan ke alam seraya menjaga keragaman hayati karena tidak perlu membunuh makhluk hidup -apakah dia kutu atau serangga pemakan sayuran- secara berlebihan karena penggunaan musuh alami atau pestisida dari bahan tanaman sendiri.Dan apabila konsumen sekarang memilih makanan organik karena alasan kesehatan, itu akan menjadi sebuah cara untuk ikut memperbaiki lingkungan, sepanjang memang diproduksi dengan cara yang benar-benar organik.
Dalam dunia konsumsi, sering kali terdengar ramalan bahwa barang konsumsi yang akan selalu unggul dan laku di pasaran adalah segala yang berkaitan dengan fashion, food (makanan), fun (kesenangan), dan health (kesehatan). Industri sering kali menyikapinya dengan kecerdikan tersendiri demi menggenggam benak konsumennya. Produk organik, misalnya, dengan mengusung gagasan kesehatan, secara berkesinambungan mulai tampak berhasil merebut benak masyarakat konsumsi, sekalipun harganya bisa begitu mahal.Beragam produk organik pertanian lokal saat ini marak meramaikan gerai-gerai penjualan di berbagai supermarket di kota-kota besar di Indonesia. Tak hanya sayuran dan buah-buahan, belakangan juga muncul ayam, telur kampung, dan susu organik. Produk organik tersebut mengklaim bebas pestisida, pupuk kimia, hormon pertumbuhan, dan benih transgenik. Sedangkan pestisida dan pupuk kimia, misalnya, diyakini menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.
Namun, sering kali untuk sesuatu yang bermutu bisa dijustifikasi dengan harga mahal. Sementara menjadi sehat adalah hak setiap orang. Ucapan "ada mutu, ada harga" tidak selamanya tepat, terlebih untuk produk pertanian organik."Produk pertanian organik justru ongkos produksinya bisa jauh lebih rendah daripada produk pertanian konvensional sehingga harga tidak harus mahal," kata Herningsih Prihastuti, petani organik skala kecil di kawasan Puncak.Petani yang menjalankan pertanian organik tidak lagi perlu membeli pupuk kimia, pestisida, dan bibit. Pupuk organik diperoleh tidak harus dengan membeli, namun justru harus dengan memanfaatkan limbah hasil pertanian. Sementara penanggulangan hama dilakukan dengan sistem polikultur, rotasi tanaman, dan ramuan pestisida alami. Bibit pun mereka peroleh dari hasil pertanian sendiri, bukan terpaksa harus membeli dari industri bibit. Jadi, nilai harga suatu produk bisa lebih dikontribusikan untuk petani atau petani penggarapnya.
Lalu mengapa produk pertanian organik lokal di toko swalayan bisa demikian mahal? Hal ini tidak terlepas dari rantai distribusi dari produsen hingga ke konsumen. Pihak perantara, yaitu pedagang, kerap menaikkan harga atas pertimbangan psikologi konsumen. Asumsinya, konsumen organik adalah pasar yang memiliki kesadaran kesehatan tinggi sehingga dianggap sudi merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi pertimbangan gaya hidup yang bisa membuat harga dipatok suka-suka. Sayuran organik bisa dicirikan dari penampilannya yang bersahaja. Sayuran dan buah organik tidaklah berpenampilan mulus dan cemerlang warnanya. Bahkan tidak jarang, daun sayuran tampak bolong-bolong akibat termakan ulat. Namun, rupanya itulah ciri bahwa itu merupakan sayuran sehat. Perlu diingat, sayuran aeroponik dan hidroponik yang juga beredar di pasaran secara prinsip sangat berbeda dengan sayuran organik. Sayuran aeroponik misalnya, meski mengklaim bebas pestisida, namun produk tersebut tidak mengklaim bebas nutrisi kimia ataupun benih transgenik. Binatang, hama, juga ulat punya naluri tajam. Dia tidak mau sayuran yang beracun, yaitu berpestisida. Tetapi, justru manusia salah kaprah, manusia justru suka sayuran yang ulat saja tidak mau, yaitu yang berpestisida.
PRODUK organik sudah telanjur tercoreng sebagai produk eksklusif, katanya sayurannya orang kaya. Padahal, filosofinya produk organik itu sendiri sangat jauh dari itu. Untuk menyiasatinya, konsumen dapat mencari alternatif dengan memperoleh produk pertanian organik melalui komunitas organik. Sistem pemasaran produk organik seperti ini di Jepang disebut teikei. Hal ini sudah dilakukan sejak era tahun 1980-an oleh berbagai komunitas konsumen organik di Jakarta yang memasok dari Pertanian Organis Pater Agatho. Dalam seminggu, pihak produsen dari pertanian Agatho misalnya akan mengirimkan berbagai produk pertaniannya ke sejumlah "pemimpin" komunitas di berbagai wilayah di Jakarta. Kemudian, para anggota komunitas tersebut yang rumahnya satu kawasan akan datang mengambil pesanan mereka. Dengan cara seperti ini harga produk pertanian yang mereka peroleh bisa sangat murah, bahkan hingga mencapai 50 persen lebih rendah dari harga produk organik di supermarket. Hal yang sama juga diterapkan Herningsih. Selaku produsen, Herningsih kini memiliki delapan kelompok konsumen organik di wilayah Jabodetabek. Seminggu sekali setelah panen, Herningsih akan membawa turun hasil panennya dari Puncak ke rumahnya di Jakarta. Kemudian, para "pemimpin" kelompok konsumen akan datang ke rumah Herningsih untuk mengambil pesanan sayur dan buah dari para anggota kelompoknya. Para anggota kelompok itu lalu bisa mengambil pesanan mereka di rumah ketua kelompok.
Sistem harga yang diterapkan adalah harga flat, artinya tidak tergantung hukum ekonomi penawaran dan permintaan. Jadi, meski suplai sedang tipis, namun permintaan tinggi, harga produk tidak akan sontak melambung tinggi. Yang cukup mengherankan, betapa jauh rentang harga produk pertanian organik dengan sistem seperti ini. Brokoli organik bisa diperoleh dengan harga Rp 15.000- Rp 20.000 per kilo, sementara di toko swalayan harganya bisa mencapai Rp 70.000 per kilo. Dalam model pemasaran seperti ini, tercipta relasi yang khas antara konsumen dan petani selaku produsen. Prinsip kejujuran merupakan fundamental relasi tersebut. Pemasaran produk organik dengan cara seperti ini juga sangat terasa unsur sosialnya. Tidak sekadar demi kesehatan, komunitas konsumennya dan produsennya seolah punya filosofi yang sama dalam menghargai alam. Untuk mengetahui kredibilitas produk organik, sertifikasi bukanlah cara mutlak untuk saat ini, di mana petani-petani kecil yang bertani organik mulai bermunculan. Petani yang tulus menjalankan pertanian organik biasanya juga akan sangat transparan terhadap produknya.
Study tour kali ini kita bersama dengan guru pendamping kami, Bu Ivon pergi ke Puncak, Bogor untuk membahas tentang sayur organic yang dikelola oleh Pater Agatho. Kami sempat pergi ke tempatnya, namun karena beliau sedang berhalangan, maka kami didampingi oleh temannya. Walaupun begitu, kami tetap merasa senang. Kami terdiri dari Laurencia Novi (XI IPS 1), Deirdre Tenawin (XI IPS 1), Maria Dhella (XI IPS 2), dan Michael Vincent (XI IPA1). Apa yang kita makan katanya akan menentukan siapa kita. Ungkapan ini tentu saja tidak semata-mata menyangkut makanan apa yang kita makan, di mana kita makan, dan bagaimana kita memakan makanan itu. Pengaruh sangat jelas makanan adalah terhadap kesehatan serta kebugaran tubuh, dan sampai batas tertentu, kecantikan dan kemudaankita.
Dengan alasan kesehatan itulah kini semakin banyak orang-setidaknya di Jakarta-yang sukarela mau merogoh kantong mereka untuk membeli makanan organik. Makanan itu juga semakin banyak ditawarkan di berbagai took swalayan, bahkan ada restoran-restoran yang menyediakan menu khusus sayuran dan daging ayam yang diproduksisecara organik. Makanan organik adalah makanan yang diproduksi tanpa pupuk kimia atau artifisial dan atau pestisida sintetis, tetapi menggunakan pupuk organik seperti menur dari kotoran dan feses ternak, yang dikenal sebagai pupuk kandang serta kompos.
Mengonsumsi makanan sehat atau makanan berbasis material-material organik kini menjadi pilihan sejumlah orang. Penyanyi Melly Manuhutu mulai berkenalan dengan sayuran organik karena kebetulan dia tinggal di kawasan Ciburial, Cisarua, Jawa Barat. Di tempat tinggalnya itu, ia dengan mudah mendapatkan sayuran organik yang ditanam di kebun yang dimiliki oleh Pater Agatho. Penyanyi yang pernah hamil tetapi kemudian keguguran itu memakan beragam sayuran organik, seperti wortel, bayam, selada, lobak, labu siam, tomat, selain ubi, dan pisang. Bahkan ayam dan telur pun dia pilih yang diproduksi secara organik. APA pun alasan yang disampaikan para konsumen makananorganik, entah dengan alasan kesehatan atau kembali ke alam, tetapi makanan organik perlahan semakin popular walaupun harganya berlipat sampai tiga kali dibandingkan dengan makanan non-organik.
Memang, membicarakan pertanian organik ini tidak akan bisa melepaskan peranan Pater Agatho Elsener. Ia adalah biarawan Swiss yang mewarisi perusahaan pisau terkenal dari Swiss, Victorinox. Dialah yang mengembangkan pertanian organik di kawasan Tugu, Puncak -sejak tahun 1983- saat kegiatan seperti ini masih kurang populer, bahkan masa itu masih dikuasai arogansi sistem pertanian "modern" dengan intensifikasi penggunaan bahan-bahan sintetis. Untuk lingkungan, pertanian organik dianggap lebih bersahabat terhadap lingkungan karena dia mengambil apa yang berasal dari alam dan dikembalikan ke alam seraya menjaga keragaman hayati karena tidak perlu membunuh makhluk hidup -apakah dia kutu atau serangga pemakan sayuran- secara berlebihan karena penggunaan musuh alami atau pestisida dari bahan tanaman sendiri.Dan apabila konsumen sekarang memilih makanan organik karena alasan kesehatan, itu akan menjadi sebuah cara untuk ikut memperbaiki lingkungan, sepanjang memang diproduksi dengan cara yang benar-benar organik.
Dalam dunia konsumsi, sering kali terdengar ramalan bahwa barang konsumsi yang akan selalu unggul dan laku di pasaran adalah segala yang berkaitan dengan fashion, food (makanan), fun (kesenangan), dan health (kesehatan). Industri sering kali menyikapinya dengan kecerdikan tersendiri demi menggenggam benak konsumennya. Produk organik, misalnya, dengan mengusung gagasan kesehatan, secara berkesinambungan mulai tampak berhasil merebut benak masyarakat konsumsi, sekalipun harganya bisa begitu mahal.Beragam produk organik pertanian lokal saat ini marak meramaikan gerai-gerai penjualan di berbagai supermarket di kota-kota besar di Indonesia. Tak hanya sayuran dan buah-buahan, belakangan juga muncul ayam, telur kampung, dan susu organik. Produk organik tersebut mengklaim bebas pestisida, pupuk kimia, hormon pertumbuhan, dan benih transgenik. Sedangkan pestisida dan pupuk kimia, misalnya, diyakini menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, termasuk pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.
Namun, sering kali untuk sesuatu yang bermutu bisa dijustifikasi dengan harga mahal. Sementara menjadi sehat adalah hak setiap orang. Ucapan "ada mutu, ada harga" tidak selamanya tepat, terlebih untuk produk pertanian organik."Produk pertanian organik justru ongkos produksinya bisa jauh lebih rendah daripada produk pertanian konvensional sehingga harga tidak harus mahal," kata Herningsih Prihastuti, petani organik skala kecil di kawasan Puncak.Petani yang menjalankan pertanian organik tidak lagi perlu membeli pupuk kimia, pestisida, dan bibit. Pupuk organik diperoleh tidak harus dengan membeli, namun justru harus dengan memanfaatkan limbah hasil pertanian. Sementara penanggulangan hama dilakukan dengan sistem polikultur, rotasi tanaman, dan ramuan pestisida alami. Bibit pun mereka peroleh dari hasil pertanian sendiri, bukan terpaksa harus membeli dari industri bibit. Jadi, nilai harga suatu produk bisa lebih dikontribusikan untuk petani atau petani penggarapnya.
Lalu mengapa produk pertanian organik lokal di toko swalayan bisa demikian mahal? Hal ini tidak terlepas dari rantai distribusi dari produsen hingga ke konsumen. Pihak perantara, yaitu pedagang, kerap menaikkan harga atas pertimbangan psikologi konsumen. Asumsinya, konsumen organik adalah pasar yang memiliki kesadaran kesehatan tinggi sehingga dianggap sudi merogoh kocek lebih dalam. Belum lagi pertimbangan gaya hidup yang bisa membuat harga dipatok suka-suka. Sayuran organik bisa dicirikan dari penampilannya yang bersahaja. Sayuran dan buah organik tidaklah berpenampilan mulus dan cemerlang warnanya. Bahkan tidak jarang, daun sayuran tampak bolong-bolong akibat termakan ulat. Namun, rupanya itulah ciri bahwa itu merupakan sayuran sehat. Perlu diingat, sayuran aeroponik dan hidroponik yang juga beredar di pasaran secara prinsip sangat berbeda dengan sayuran organik. Sayuran aeroponik misalnya, meski mengklaim bebas pestisida, namun produk tersebut tidak mengklaim bebas nutrisi kimia ataupun benih transgenik. Binatang, hama, juga ulat punya naluri tajam. Dia tidak mau sayuran yang beracun, yaitu berpestisida. Tetapi, justru manusia salah kaprah, manusia justru suka sayuran yang ulat saja tidak mau, yaitu yang berpestisida.
PRODUK organik sudah telanjur tercoreng sebagai produk eksklusif, katanya sayurannya orang kaya. Padahal, filosofinya produk organik itu sendiri sangat jauh dari itu. Untuk menyiasatinya, konsumen dapat mencari alternatif dengan memperoleh produk pertanian organik melalui komunitas organik. Sistem pemasaran produk organik seperti ini di Jepang disebut teikei. Hal ini sudah dilakukan sejak era tahun 1980-an oleh berbagai komunitas konsumen organik di Jakarta yang memasok dari Pertanian Organis Pater Agatho. Dalam seminggu, pihak produsen dari pertanian Agatho misalnya akan mengirimkan berbagai produk pertaniannya ke sejumlah "pemimpin" komunitas di berbagai wilayah di Jakarta. Kemudian, para anggota komunitas tersebut yang rumahnya satu kawasan akan datang mengambil pesanan mereka. Dengan cara seperti ini harga produk pertanian yang mereka peroleh bisa sangat murah, bahkan hingga mencapai 50 persen lebih rendah dari harga produk organik di supermarket. Hal yang sama juga diterapkan Herningsih. Selaku produsen, Herningsih kini memiliki delapan kelompok konsumen organik di wilayah Jabodetabek. Seminggu sekali setelah panen, Herningsih akan membawa turun hasil panennya dari Puncak ke rumahnya di Jakarta. Kemudian, para "pemimpin" kelompok konsumen akan datang ke rumah Herningsih untuk mengambil pesanan sayur dan buah dari para anggota kelompoknya. Para anggota kelompok itu lalu bisa mengambil pesanan mereka di rumah ketua kelompok.
Sistem harga yang diterapkan adalah harga flat, artinya tidak tergantung hukum ekonomi penawaran dan permintaan. Jadi, meski suplai sedang tipis, namun permintaan tinggi, harga produk tidak akan sontak melambung tinggi. Yang cukup mengherankan, betapa jauh rentang harga produk pertanian organik dengan sistem seperti ini. Brokoli organik bisa diperoleh dengan harga Rp 15.000- Rp 20.000 per kilo, sementara di toko swalayan harganya bisa mencapai Rp 70.000 per kilo. Dalam model pemasaran seperti ini, tercipta relasi yang khas antara konsumen dan petani selaku produsen. Prinsip kejujuran merupakan fundamental relasi tersebut. Pemasaran produk organik dengan cara seperti ini juga sangat terasa unsur sosialnya. Tidak sekadar demi kesehatan, komunitas konsumennya dan produsennya seolah punya filosofi yang sama dalam menghargai alam. Untuk mengetahui kredibilitas produk organik, sertifikasi bukanlah cara mutlak untuk saat ini, di mana petani-petani kecil yang bertani organik mulai bermunculan. Petani yang tulus menjalankan pertanian organik biasanya juga akan sangat transparan terhadap produknya.
Murjiyo, Petani Organik
Irma Tambunan
Murjiyo (63) sungguh tak menyangka. Dari usaha sederhana memurnikan lima kilogram benih padi menthik wangi, kini ratusan hektar lahan di berbagai daerah telah ditanami padi organik. Akhirnya, bumi kita dapat bernapas sedikit lebih lega.
Tahun 1980 merupakan tahun yang berat bagi Murjiyo, petani di Dusun Paten, Sumberagung, Jetis, Bantul, DIY. Didasari keinginan untuk menyelamatkan tanah, Murjiyo merombak kembali sistem olah tanam. Sistem baru ini ia namai ”kembali ke cara nenek moyang kita”.
Selama dua minggu menjelang masa tanam, ia membawa kotoran sapi basah, setumpuk jerami, dan dedaunan ke sawah, campuran itu diaduk pada lahan basah dengan bajak. Ia membajak sawah hingga dua tahapan sehingga campuran bahan-bahan tersebut berproses membusuk selama 14 hari.
Warga setempat sempat menyebut Murjiyo orang aneh karena memasukkan kotoran ternak dan jerami ke lahannya. Namun, ia hanya diam.
Lima kilogram padi menthik wangi, yang dibeli dari seorang petani di Sleman, ditanamnya pada lahan itu.
Hasil panen perdana memang tak sebanyak saat Murjiyo masih memanfaatkan pupuk urea. Pada keluasan satu hektar, hasilnya hanya empat ton gabah, atau 1,3 ton lebih sedikit dibanding hasil panen terdahulu.
Namun, pada masa tanam berikutnya, Murjiyo menyaksikan perubahan pada alam. Tanah yang merah dan keras itu berangsur lebih hitam dan lembut. ”Ahh... ini berarti kandungan humus di tanah mulai bertambah. Struktur tanah yang semula telah kembali,” ujarnya antusias.
Murjiyo makin semangat bertanam dengan bahan-bahan alami. Tak hanya kotoran sapi dan jerami, berbagai jenis tumbuhan lain pun dibawanya ke sawah sebagai racikan pupuk alami. ”Saya sampai dibilang gila karena membawa segala macam tumbuhan ke sawah, seperti orang yang putus asa karena hasil panennya hanya sedikit,” ujarnya.
Menjelang tahun 1990 hasil panennya terus meningkat hingga 5,5 ton per hektar atau melampaui hasil panen anorganik saat itu yang rata-rata 5,3 ton per hektar. Bahkan, saat ini hasil panennya rata-rata 5,8 ton per hektar.
Mandiri
Hasil yang dicapai Murjiyo sedikit banyak menumbuhkan kesadaran di kalangan petani memperjuangkan hak kemandirian dan kemerdekaan petani, khususnya dalam menentukan nilai jual gabah. Menurut Murjiyo, petani organik berhasil melepaskan diri dari ketergantungan pada pasar. Kualitas gabah organik sangat baik sehingga petani memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap pembeli.
Meski saat ini harga beras organik semakin mahal, konsumen tidak berkurang. Harga beras rojolele sudah naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram.
Tak hanya pupuk, pembasmi hama dan penyakit dibuat dari tumbuhan dan kotoran hewan. Hingga kini, Murjiyo berhasil menciptakan 87 resep pembasmi hama dan penyakit, serta 16 resep pupuk kompos, pupuk cair, dan perangsang tumbuh. Semuanya berbahan alami dan dibantu proses pembusukan dengan biolahang, yaitu campuran air nira dan cacahan batang pisang.
Sebanyak 13 varietas benih padi organik jenis lokal juga berhasil dikumpulkan Murjiyo lewat pencarian ke berbagai daerah, antara lain rojolele, rening, dusel, andelabang, andelrantai, sampangantal, sirendah, jago, superwin, dan mayangsari.
Baru-baru ini wilayahnya ditanami 48 varietas benih padi organik lokal atas kerja sama dengan Retoe Boemi, beranggotakan para mahasiswa. Benih-benih ini lalu ditangkar dan sebagian hasilnya disebar ke petani lain untuk ditanami. Berbekal kerja sama dengan komunitas mahasiswa pertanian dan paguyuban petani pemandu, sebanyak 48 varietas padi lokal kini ditangkar di desanya.
”Januari nanti, koleksi padi lokal di sini akan bertambah 25 varietas lagi, didatangkan dari Kalimantan Barat,” tutur suami Legiyem (58), dan ayah dari Eko Purwadi (37), Rahmat Nurdianto (35), dan Didi Krismianto (33).
Berbagi
Di Bantul, setidaknya minimal 100 hektar lahan telah ditanami padi organik murni. Banyak petani, kalangan akademisi, maupun kalangan dinas pertanian dari luar daerah mendatanginya untuk studi banding.
Murjiyo tanpa enggan membagi benih padi dan resep pupuk dan pembasmi hama organik bagi siapa saja yang mau bertanam organik.
Sebagian lahan pertanian di Kalimantan Barat kini telah menerapkan pertanian organik. Begitu pula di wilayah Lampung, Sumatera Utara, Jombang, Trenggalek, Tulungagung, Kebumen, Lombok, Sragen, Sukoharjo, dan Karanganyar, mulai dikembangkan menjadi lahan yang dipulihkan. Mereka semua belajar dari Murjiyo dengan datang ke tempat petani itu atau mengundang dia ke tempat mereka.
Melalui upayanya menyelamatkan alam, Murjiyo mendapat juara pertama Kalpataru Provinsi DIY Tahun 2003, dan Peringkat 10 Tingkat Nasional Tahun 2004. Ia sendiri masih mengetuai Paguyuban Petani Penangkar Benih Provinsi DIY.
Katanya, jika kita bisa memulihkan kembali tanah yang subur seperti dahulu, kenapa tidak dilakukan. Dan, bumi pun akan bernapas sedikit lebih lega.
Murjiyo (63) sungguh tak menyangka. Dari usaha sederhana memurnikan lima kilogram benih padi menthik wangi, kini ratusan hektar lahan di berbagai daerah telah ditanami padi organik. Akhirnya, bumi kita dapat bernapas sedikit lebih lega.
Tahun 1980 merupakan tahun yang berat bagi Murjiyo, petani di Dusun Paten, Sumberagung, Jetis, Bantul, DIY. Didasari keinginan untuk menyelamatkan tanah, Murjiyo merombak kembali sistem olah tanam. Sistem baru ini ia namai ”kembali ke cara nenek moyang kita”.
Selama dua minggu menjelang masa tanam, ia membawa kotoran sapi basah, setumpuk jerami, dan dedaunan ke sawah, campuran itu diaduk pada lahan basah dengan bajak. Ia membajak sawah hingga dua tahapan sehingga campuran bahan-bahan tersebut berproses membusuk selama 14 hari.
Warga setempat sempat menyebut Murjiyo orang aneh karena memasukkan kotoran ternak dan jerami ke lahannya. Namun, ia hanya diam.
Lima kilogram padi menthik wangi, yang dibeli dari seorang petani di Sleman, ditanamnya pada lahan itu.
Hasil panen perdana memang tak sebanyak saat Murjiyo masih memanfaatkan pupuk urea. Pada keluasan satu hektar, hasilnya hanya empat ton gabah, atau 1,3 ton lebih sedikit dibanding hasil panen terdahulu.
Namun, pada masa tanam berikutnya, Murjiyo menyaksikan perubahan pada alam. Tanah yang merah dan keras itu berangsur lebih hitam dan lembut. ”Ahh... ini berarti kandungan humus di tanah mulai bertambah. Struktur tanah yang semula telah kembali,” ujarnya antusias.
Murjiyo makin semangat bertanam dengan bahan-bahan alami. Tak hanya kotoran sapi dan jerami, berbagai jenis tumbuhan lain pun dibawanya ke sawah sebagai racikan pupuk alami. ”Saya sampai dibilang gila karena membawa segala macam tumbuhan ke sawah, seperti orang yang putus asa karena hasil panennya hanya sedikit,” ujarnya.
Menjelang tahun 1990 hasil panennya terus meningkat hingga 5,5 ton per hektar atau melampaui hasil panen anorganik saat itu yang rata-rata 5,3 ton per hektar. Bahkan, saat ini hasil panennya rata-rata 5,8 ton per hektar.
Mandiri
Hasil yang dicapai Murjiyo sedikit banyak menumbuhkan kesadaran di kalangan petani memperjuangkan hak kemandirian dan kemerdekaan petani, khususnya dalam menentukan nilai jual gabah. Menurut Murjiyo, petani organik berhasil melepaskan diri dari ketergantungan pada pasar. Kualitas gabah organik sangat baik sehingga petani memiliki posisi tawar yang tinggi terhadap pembeli.
Meski saat ini harga beras organik semakin mahal, konsumen tidak berkurang. Harga beras rojolele sudah naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 6.500 per kilogram.
Tak hanya pupuk, pembasmi hama dan penyakit dibuat dari tumbuhan dan kotoran hewan. Hingga kini, Murjiyo berhasil menciptakan 87 resep pembasmi hama dan penyakit, serta 16 resep pupuk kompos, pupuk cair, dan perangsang tumbuh. Semuanya berbahan alami dan dibantu proses pembusukan dengan biolahang, yaitu campuran air nira dan cacahan batang pisang.
Sebanyak 13 varietas benih padi organik jenis lokal juga berhasil dikumpulkan Murjiyo lewat pencarian ke berbagai daerah, antara lain rojolele, rening, dusel, andelabang, andelrantai, sampangantal, sirendah, jago, superwin, dan mayangsari.
Baru-baru ini wilayahnya ditanami 48 varietas benih padi organik lokal atas kerja sama dengan Retoe Boemi, beranggotakan para mahasiswa. Benih-benih ini lalu ditangkar dan sebagian hasilnya disebar ke petani lain untuk ditanami. Berbekal kerja sama dengan komunitas mahasiswa pertanian dan paguyuban petani pemandu, sebanyak 48 varietas padi lokal kini ditangkar di desanya.
”Januari nanti, koleksi padi lokal di sini akan bertambah 25 varietas lagi, didatangkan dari Kalimantan Barat,” tutur suami Legiyem (58), dan ayah dari Eko Purwadi (37), Rahmat Nurdianto (35), dan Didi Krismianto (33).
Berbagi
Di Bantul, setidaknya minimal 100 hektar lahan telah ditanami padi organik murni. Banyak petani, kalangan akademisi, maupun kalangan dinas pertanian dari luar daerah mendatanginya untuk studi banding.
Murjiyo tanpa enggan membagi benih padi dan resep pupuk dan pembasmi hama organik bagi siapa saja yang mau bertanam organik.
Sebagian lahan pertanian di Kalimantan Barat kini telah menerapkan pertanian organik. Begitu pula di wilayah Lampung, Sumatera Utara, Jombang, Trenggalek, Tulungagung, Kebumen, Lombok, Sragen, Sukoharjo, dan Karanganyar, mulai dikembangkan menjadi lahan yang dipulihkan. Mereka semua belajar dari Murjiyo dengan datang ke tempat petani itu atau mengundang dia ke tempat mereka.
Melalui upayanya menyelamatkan alam, Murjiyo mendapat juara pertama Kalpataru Provinsi DIY Tahun 2003, dan Peringkat 10 Tingkat Nasional Tahun 2004. Ia sendiri masih mengetuai Paguyuban Petani Penangkar Benih Provinsi DIY.
Katanya, jika kita bisa memulihkan kembali tanah yang subur seperti dahulu, kenapa tidak dilakukan. Dan, bumi pun akan bernapas sedikit lebih lega.
Langganan:
Postingan (Atom)