Jakarta - Konsumsi beras di Indonesia kian hari kian meningkat. Alangkah eloknya kalau Indonesia bisa swasembada beras lagi, bukannya malah mengimpor beras dari luar negeri. Kini apa yang dapat kita lakukan tentang beras?
Minggu ini saya tetirah ke Bali. Lagi! Hehehe... saya memang sangat mencintai Bali. Dan, untungnya, saya selalu dapat menemukan alasan untuk pergi ke sana. Kali ini alasannya adalah karena saya diundang Janet de Neefe ikut serta di Ubud Writers and Readers Festival. Karena saya harus bicara di dua acara dalam rentang waktu empat hari, maka 'kesantaian' itu saya manfaatkan untuk sekalian mengajak istri.
Salah satu topik yang akan saya diskusikan di sana adalah tentang beras, dalam satu sesi yang bertajuk "Miracle of Rice". Saya bingung. Harus bicara apa tentang beras? Signifikansi beras bagi orang Indonesia dan orang Amerika – misalnya – sangat berbeda.
Konsumsi beras per kapita di Amerika Serikat hanya sekitar 12 kilogram setahun. Itu pun sudah meningkat pesat sejak makanan Asia – Tionghoa, Thai, India, Jepang – makin digemari orang berkulit putih. Rata-rata orang Eropa bahkan hanya memerlukan tiga kilogram beras per tahun.
Di Indonesia, menurut statistik resmi tahun 2002, konsumsi beras per kapita adalah 154 kilogram – atau, sekitar 420 gram per orang per hari – bayi maupun kaum lansia diperhitungkan sama. Artinya, kalau tidak dipukul rata, untuk setiap orang dewasa sebetulnya konsumsi rata-rata beras adalah sekitar 500 gram atau setengah kilogram per hari.
Bagi saya pribadi, angka itu tidak masuk akal. Sejak enam tahun terakhir, tiap hari saya makan nasi sangat sedikit – tidak lebih dari 100 gram beras. Setengah kilogram beras setara dengan empat piring nasi. Benarkah statistik itu? Pada tahun 1970, ketika rakyat masih kesrakat, konsumsi beras per kapita kita hanya mencapai 109,3 kilogram per tahun. Ketika itu masih banyak rakyat lapar. Menteri PU, Ir. Sutami, bahkan tampak kurus kering. Masih banyak pula anggota DPR kita yang kurus. Berat badan saya di tahun 1970 adalah sekitar 60 kilogram. Keren deh, pokoknya!
Pada tahun 1988, statistik kita menunjukkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang juga tercermin pada menggelembungnya konsumsi beras per kapita per tahun mencapai 144,8 kilogram. Di tahun itu, berat badan saya sekitar 80 kilogram. Rupanya, saya juga terimbas sindrom kemakmuran itu.
Di tahun itu juga, Republik Indonesia yang di tahun 2004 mendapat pujian FAO karena mampu mencapai tingkat keswasembadaan beras, mulai kesulitan mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Dengan dalih untuk menjaga buffer stock, Indonesia mulai impor beras lagi.
Memasuki dekade 1990-an sebetulnya ada trend terbalik dalam gaya hidup masyarakat modern. Ketika itu, gaya hidup yang disebut fit lifestyle mulai merasuk dunia. Makan banyak bukan lagi merupakan simbol kemakmuran. Peluh atau keringat menjadi simbol gaya hidup yang baru. Masih ingat bagaimana gaya senam dan aerobik Jane Fonda menjadi pujaan ibu-ibu di masa itu?
Fit lifestyle juga mengubah pola makan. Orang mulai peduli tentang makanan yang sehat dan makanan mana yang baik dimakan. Kolesterol jadi bahan pembicaraan di arisan ibu-ibu wangi. Nasi? "Wah, saya sekarang cuma beli beras buat bediend (pembantu) dan chauffeur (supir), kok, Jeng." Supaya tetap tampil langsing, para ibu-ibu mengurangi makan nasi. Begitu juga para om-om dan opa-opa genit, supaya tetap menarik di mata para gadis remaja yang mengaku artis atau model.
Dua tahun yang lalu, di dalam perjalanan dengan pesawat terbang, kebetulan saya duduk di sebelah seorang mantan pejabat Departemen Pertanian. Menurut pengamatan saya, dia masih terlalu muda untuk pensiun. "Kalau saya pintar-pintar, tentu saya masih aktif, Mas. Bahkan mungkin sudah di Eselon Satu. Tetapi, karena saya hanya pintar, maka saya harus tersingkir," katanya.
Dialah yang mengatakan kepada saya bahwa dia menentang penetapan angka konsumsi beras per kapita sebesar 154 kilogram di tahun 2002 itu. "Angka itu rekayasa kok, Mas. Supaya ada alasan untuk meningkatkan impor beras, dan supaya ada dana politik yang dapat disisihkan dari kegiatan impor itu," tambahnya.
Kalau tidak salah, seingat saya, dia menyebut angka 148 untuk konsumsi beras per kapita per tahun. "Beda enam kilo bila dikalikan 220 juta kan signifikan. Ya toh, Mas?" Ya, iyalah! Saya ingat, mulai tahun 2002 saya sudah berhasil menjaga berat badan di tingkat 73-74 kilogram. Konsumsi beras di rumah kami juga merosot tajam, bukannya meningkat.
Baiklah, saya cukupkan dulu omong kosong politik itu sampai di sini. Saya hanya ingin sedikit membukakan mata kita terhadap kenyataan politik kita. Kita sebagai rakyat telah dibohongi di siang bolong oleh para pemimpin kita. Sudah saatnya kita punya pemimpin yang tidak bohong. Karena itu sekarang sudah jarang ada upacara yang ditandai dengan pemukulan gong. Soalnya, bunyi gong-nya sudah berubah menjadi: "Bohooooong! Bohooooong! Bohooooong!"
Kembali ke soal kuliner. Apa yang dapat kita lakukan tentang beras? Alangkah eloknya kalau Indonesia bisa swasembada beras lagi. Tetapi, itu tampaknya jauh panggang dari api kecuali kita semua bersedia menurunkan tingkat konsumsi beras. Dan ini sangat penting! Bukan saja agar mesin uang untuk mendanai mesin politik tersumbat, tetapi juga cocok dengan "Go Green!" yang sekarang sedang menjadi kepedulian bersama.
Tahukah Anda bahwa untuk menghasilkan satu kilogram beras diperlukan sekitar 2000 liter air? Bandingkan dengan produksi satu kilogram daging sapi yang memerlukan 20.000 liter air (Catatan: angka ini sudah dibantah oleh asosiasi daging sapi AS). Sekalipun vegetarian lebih ramah lingkungan dibanding karnivora, tetap saja vegetarian gendut mengambil sumber daya alam lebih banyak daripada vegetarian langsing.
Langsing, sehat, dan bugar. Siapa takut? ( dev / Odi)
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar