Jakarta, Kompas - Teknologi pertanian yang mengedepankan bibit hibrida, transgenik, pestisida, pupuk kimia, maupun hormon pertumbuhan ternyata hanya akan berujung pada ketergantungan petani. Pertanian organik-yang ramah lingkungan-menjadikan petani lebih mandiri dari ketergantungan atas sarana produksi pertanian yang harganya terus naik.
Demikian benang merah dari diskusi peluncuran buku Belajar dari Petani: Kumpulan Pengalaman Bertani Organik yang diselenggarakan di antaranya oleh Jaringan Organisasi Non Pemerintah Pendamping Petani, Konphalindo, Lesman, dan Yayasan Mitra Tani di Jakarta, Jumat (24/10).
Buku itu merupakan kumpulan tulisan pengalaman 50 petani organik di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, dipaparkan juga berbagai tips bertani dan resep pestisida alami serta pupuk alami. Bahkan, secara rinci ada yang mencatatkan perhitungan biaya bertani organik yang jauh lebih murah ketimbang bertani non-organik.
Damayanti Buchori, peneliti Departemen Hama dan Penyakit Institut Pertanian Bogor, mengatakan, pertanian organik tidak berarti harus meninggalkan sama sekali bahan kimia seperti pupuk. Namun, hal itu merupakan proses yang bertahap dalam mengembangkan pertanian organik. "Prinsipnya, seminimal mungkin atau sama sekali meninggalkan pupuk dan pestisida kimia," katanya.
Menurut dia, pertanian non- organik telah membuat petani terperangkap dalam teknologi yang tidak mampu mereka ciptakan sendiri dan hanya menjadi pengguna. Sementara nilai tukar produk pertanian terhadap teknologi yang digunakan, seperti bibit hibrida, pestisida, dan pupuk, terus merosot.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengatakan, pertanian non-organik selama ini hanya mengerdilkan petani di atas kesejahteraan industri-industri besar produsen bibit, pupuk kimia, dan pestisida. Pertanian organik mendekatkan lagi petani dengan alam dengan menghargai keanekaragaman hayati dalam keseimbangan ekosistem.
"Pertanian organik sebenarnya kontra revolusi petani atas revolusi hijau. Petani revolusi diam-diam, tanpa kekerasan dan demonstrasi," ujar Sonny.
Damayanti mengatakan, pertanian non-organik lama kelamaan ternyata menimbulkan banyak masalah. Misalnya, unsur hara tanah yang semakin berkurang sehingga tanah menjadi keras, bantat, dan sulit digarap. Hama tanaman lama juga semakin resisten akibat penggunaan pestisida kimia.
"Predator atau musuh-musuh alami hama akibatnya punah sehingga mengganggu ekosistem. Sebab, pestisida akhirnya bukan memusnahkan hama, tetapi justru predator alami hama itu," kata Damayanti. Selama ini pestisida kerap digunakan berlebihan, bahkan sebelum hama itu muncul.
Hendrastuti, petani organik dari Kulon Progo, DIY Yogyakarta, menuturkan, pertanian organik telah menjadi jalan bagi petani untuk mendekatkan kembali kepada alam dan kearifan tradisional. Sejak mengenal pertanian organik tahun 1993, Hendrastuti berhasil mengembangkan benih padi lokal yang tidak rakus unsur hara tanah dan tahan serangan hama. "Ilmu titen (mencermati-Red) dan kesabaran yang sebelumnya tergeser oleh pertanian modern kembali menjadi pedoman bagi petani. Prinsip keberlanjutan pertanian organik ini membuat tanah dan tanaman sehat," katanya.
Hendrastuti memanfaatkan pupuk kandang, pupuk hijau, dan jerami untuk menyuburkan lahan pertanian. Sementara pestisida alami yang diramunya, misalnya dari campuran daun mindi, buah lamtoro, dan daun kenikir. Untuk mengatasi ledakan hama, tanaman digilir untuk memutus siklus perkembangbiakan hama, misalnya dengan padi-padi-palawija.
Damayanti meyakini gerakan pertanian organik akan semakin meluas di Indonesia. Jika terus digalakkan, pertanian organik juga dapat menjadi jalan keluar bagi ketahanan pangan. Namun, dia menggarisbawahi paradigma ketahanan pangan seharusnya difokuskan pada ketahanan pangan lokal yang menghargai keanekaragaman bahan pangan pokok masyarakat. (B14)
Selasa, 28 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar