Selasa, 28 Oktober 2008

Profil Konsumen Produk Pertanian Organik di Jakarta

Tugas Rancangan Penelitian

Mata Kuliah Metoda Penelitian Sosial Kuantitatif

Oleh Harry Surjadi (0606018734) dan Zulfikar (6903410219)

————————————————————————————————————

Rancangan Penelitian

Profil Konsumen Produk Pertanian Organik di Jakarta

I. Latar belakang

“Where do pesticides fit into the picture of environmental disease? We have seen that tey now contaminate soil, water, and food, that they have the power to make our streams fishless and our garden and woodlands silent and birdless. Man, however much he may like to pretend the contrary, is part of nature. Can he escape a pollution that is now so thoroughly distributed throughout our world?” (Carson, 2002:188)

Rachel Carson dalam bukunya “Silent Spring” yang terbit tahun 1962, menggambarkan posisi manusia sebagai bagian dari alam dan manusia sebenarnya tidak bisa menghindar dari semua pencemaran akibat penggunaan pestisida. Seperti ikan dan burung yang mati, manusia juga akan menerima akibatnya. Masalahnya keracunan pestisida yang perlahan, sedikit demi sedikit, membuat manusia tidak peduli karena tidak nampak segera dampaknya. Mereka lebih peduli pada yang lebih kelihatan, mahluk kecil bernama serangga yang mengganggu tanaman pangan mereka (Carson, 2002). “Silent Spring” mencoba mengungkapkan dampak penggunaan pestisida terutama DDT (dichloro-diphenyl-trichloroethane), racun kimia paling berbahaya yang pernah dibuat manusia.

Cerita DDT dimulai tahun 1935 ketika Dr Paul Herman Mueller atas nama perusahan tempatnya bekerja J.R. Geigy A.G., di Basel mulai meneliti mencari insektisida, terutama insektisida pertanian. Sebenarnya sudah banyak hasil penelitian pestisida yang dipatenkan tetapi tidak ada satu pun jenis pestisida itu dijual di pasaran. Ketika itu jenis pestisida yang banyak digunakan di bidang pertanian adalah arsenate, pyrethrum atau rotenone, dua bahan aktif pestisida dari tanaman. Kondisi itu memacu Mueller untuk mempercepat penelitiannya mencari pestisida yang efektif. Ia memikirkan jenis pestisida kontak yang berkerja saat menyentuh tubuh serangga, bukan pestisida oral yang bekerja ketika masuk ke dalam tubuh hama (Mueller, 1948).

Setelah menguji ratusan substansi, Mueller, seperti disampaikannya dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel tahun 1948, harus mengakui tidak mudah menemukan pestisida kontak. Ia mulai menemukan harapan ketika meneliti keampuhan hasil sintesis substansi kimia yang ditemukan tahun 1873 oleh seorang mahasiswa Austria untuk tesisnya. Tahun 1939 uji coba pada lalat menunjukkan substansi itu bisa dikategorikan sebagai insektisida kontak. Mueller kemudian mensintesis substansi itu menjadi DDT (Mueller, 1948).

Uji coba DDT menunjukkan keampuhannya membunuh berbagai jenis serangga yang diujikan antara lain lalat, kutu, agas, kumbang Colorado, dan lainnya. Bahkan satu data penelitian harus dibuang karena para peneliti lupa membersihkan kotak penelitian dari residu DDT yang masih mampu mematikan serangga yang dimasukkan ke dalam kotak itu (Mueller, 1948).

Uji lapangan dilakukan di stasiun penelitian di Wadenswil dan Oerlikon (Switzerland) dan uji coba lapangan yang dilakukan oleh tim Dr Mueller sendiri. Hasil penelitian lapangan di Colorado menunjukkan enam minggu setelah perlakuan, residu DDT masih terus membutuh kumbang-kumbang Colorado (Mueller, 1948).

Tahun 1944, DDT digunakan tentara Amerika Serikat untuk membunuh berbagai jenis serangga pembawa penyakit, antara lain nyamuk pembawa penyakit malaria, caplak pembawa penyakit tifus, dan serangga pembawa penyakit lainnya. Prof G Fischer, dari Royal Caroline Institute, dalam pidato penyerahan Hadiah Nobel tahun 1948, menjuluki DDT sebagai deus ex machina (sesuatu yang awalnya tidak diharapkan menjadi jawaban persoalan yang sulit) karena keberhasilan DDT membunuh caplak pembawa tifus (Fischer, 1948).

Setelah Perang Dunia II berakhir, DDT menyebar ke seluruh dunia terutama digunakan untuk membunuh nyamuk malaria di negara-negara maju maupun negara berkembang dan membunuh serangga hama pertanian. Dalam jangka waktu 10 tahun penggunaan DDT mampu mengurangi kematian akibat malaria dari tiga juta kasus menjadi 7.300 kasus di Afrika Selatan. Cerita sukses besar penggunaan DDT di Sri Lanka. Sri Lanka berhasil menurunkan kasus malaria hingga hanya tersisa 29 kasus. Sri Lanka dianggap berhasil memenangkan perang melawan malaria. India berhasil menurunkan kasus malaria dari 75 juta kasus tahun 1951 menjadi hanya 50.000 kasus tahun 1961 (Bate, 2001; Sharma, 2003).

Ketika penggunaan DDT dilarang beberapa penelitian menunjukkan terjadi peningkatan kasus malaria. Akhirnya di sejumlah negara DDT digunakan kembali khusus hanya untuk memberantas malaria. Bahkan WHO “merestui” penggunaan DDT untuk pemberantasan malaria (De Joode et. al., 2001; Robert et. al., 2000; Smith, 2000; Raloff, 2000; Davis, 1971; Jalsevac, 2005; Bate, 2001; Liroff, 2002; Roberts, 2002; Berenbaum, 2005)

DDT tidak hanya digunakan untuk memberantas nyamuk malaria. DDT bersama dengan berbagai jenis pestisida mematikan lainnya juga dipakai luas untuk memberantas hama pertanian, khususnya terkait dengan munculnya Revolusi Hijau.

Revolusi Hijau, keberhasilan teknologi pertanian termasuk teknologi pemberantasan hama-penyakit, meningkatkan produksi pangan terutama gandum dan beras. Revolusi Hijau menjanjikan memberi makan untuk seluruh penduduk dunia. Norman Ernest Borlaug, penerima Hadiah Nobel Perdamaian 1970, dalam pidato penerimaan Hadiah Nobel, mengatakan istilah Revolusi Hijau, istilah yang dipopularkan pers, terlalu prematur, terlalu optimis, atau terlalu luas cakupannya. Ia mengakui, istilah itu seakan menunjukkan semua petani seragam merasakan manfaat dari terobosan peningkatan produksi. (Borlaug, 1970).

Revolusi Hijau dimulai ketika Borlaug bergabung dalam sebuah program yang bertujuan membantu petani miskin di Mexico meningkatkan produksi gandum mereka. Program itu didanai oleh Rockefeller Foundation. Borlaug membutuhkan waktu hampir 20 tahun memuliakan gandum cebol yang tahan berbagai hama dan penyakit dan menghasilkan gandum dua sampai tiga kali varitas tradisional, seperti diungkapkan Borlaug dalam wawancara dengan situs publikasi online ActionBioscience yang dikelola oleh American Institute of Biological Sciences (AIBS, 2002).

Kemudian tahun 1960-an Rockefeller Foundation memperluas programnya membantu petani Pakistan dan India menanam varitas gandum unggul itu. Hasilnya luar biasa. Pakistan berhasil memproduksi 8,4 juta ton gandum 1970 dari hanya 4,6 juta ton pada tahun 1965. India memproduksi 20 juta ton gandum tahun 1970 dibandingkan produksinya tahun 1965 hanya 12,3 juta ton. Keberhasilan Revolusi Hijau ini melimpas ke Cina yang sekarang menjadi produser pangan terbesar di dunia. (AIBS, 2002; Borlaug, 1970)

Revolusi Hijau di Asia Tenggara, yang makanan pokoknya beras bukan gandum, berawal dari didirikannya International Rice Research Institute di Los Banos, Filipina, tahun 1962 atas bantuan Ford Foundation dan Rockefeller Foundation. IRRI bertugas memuliakan varietas-varietas padi unggul berproduksi tinggi. Tahun 1968 petani di India, Pakistan, Thailand, Filipina, Taiwan, Vietnam Selatan, dan Indonesia mulai menanam IR-8 salah satu varitas padi hasil pemuliaan IRRI (Franke, 1974).

Revolusi Hijau menjadi bagian dari kebijakan Orde Baru di Indonesia melalui program Bimas/Inmas dengan menerapkan pertanian modern dengan asupan pupuk buatan, varitas unggul, pestisida pemberantas hama/penyakit, irigasi, dan alat-alat pertanian plus kredit (Tata, 2000).

Terkait dengan Revolusi Hijau, Indonesia antara tahun 1969-1974 menerima bantuan dari Amerika Serikat untuk membeli DDT dan sejumlah pestisida jenis lainnya dengan nilai lebih dari satu juta dollar AS. Tahun 1975, khusus untuk bantuan pembelian DDT, AS membatasinya hanya untuk “kepentingan kesehatan masyarakat.” (Rahardjo, 2001).

Meskipun Orde Baru menyatakan berhasil mencapai “swasembada pangan” dan Soeharto menerima penghargaan dari FAO tahun 1986, sampai saat ini Indonesia masih tetap mengimpor beras dan petani tidak semakin sejahtera. Beberapa literatur juga menyimpulkan Revolusi Hijau telah gagal memberi makan dunia. Penduduk miskin masih tetap banyak (Morgan, 1978; Franke, 1974; Rosset, 2000).

Bukti-bukti menunjukkan pertanian ala Green Revolution tidak berkelanjutan secara ekologis, bahkan untuk pertanian skala luas. Tahun 1990-an bahkan para peneliti Green Revolution menyuarakan peringatan adanya kecenderungan yang mengganggu. Setelah menikmati peningkatan panenan yang dramatis pada awal penerapan teknologi, panenan mulai menurun di sejumlah kawasan yang menerapkan Green Revolution.

Di Luzon Tengah, Filipina, hasil panenan meningkat selama tahun 1970-an dan mencapai puncaknya awal 1980-an, setelah itu mulai menurun perlahan-lahan. Pola serupa terjadi juga di India dan Nepal. Kalau pun tidak turun, laju pertumbuhan melambat dengan cepat atau tidak naik atau turun, seperti terjadi di Cina, Korea Utara, Indonesia, Myanmar, Filipina, Thailand, Pakistan, dan Srilanka (Rosset, 2000).

Bukan hanya gagal menyejahterakan petani, Revolusi Hijau membawa bencana baru pada lingkungan dan kesehatan manusia. Residu pestisida ditemukan di dalam tubuh petani dan pekerja di lahan pertanian di Amerika Serikat (Revees et. al., 2002)

Januari 2003 Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat dalam laporan kedua mengenai paparan kimia lingkungan pada manusia (Second National Report on Human Exposure to Environmental Chemicals) mengungkapkan hasil tes pada 9.282 orang menunjukkan di dalam tubuh mereka terdeteksi 116 bahan kimia, termasuk 34 jenis pestisida (Schafer et. Al., 2004).

Sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida sejak Revolusi Hijau tahun 1950-an di Amerika Serikat kasus sejumlah penyakit yang berhubungan dengan kontaminasi lingkungan ikut meningkat juga. CDC melaporkan satu dari empat orang di AS tahun 2004 akan terkena kanker dalam hidupnya (Schafer et. Al., 2004).

Memang para ahli tidak bisa menjelaskan apa kaitannya antara tingginya kasus kanker dengan paparan bahan kimia yang dibuang di lingkungan. Tetapi para ahli mengetahui banyak pestisida bersifat karsinogenik atau menyebabkan jenis kanker tertentu. Para ahli juga mencoba menghubungkan penyakit kronis seperti Parkinson, kerusakan janin, berkurangnya jumlah sperma berhubungan dengan paparan pestisida.

Bagaimana bahan kimia beracun itu masuk ke dalam tubuh manusia? Paling banyak pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui oral ketika manusia mengkonsumsi hasil pertanian yang mengandung residu pestisida dan melalui air minum yang sudah terkontaminasi kimia pestisida.

Pengolahan data residu pestisida dari sumber-sumber pemerintah dan perguruan tinggi oleh Pesticide Action Network tahun 1999 di AS menunjukkan umum dalam satu produk pangan mengandung residu lima atau lebih kimia beracun yang pesisten. Bahan kimia jenis POP (pesistent organic pollutant) yang paling umum mengontaminasi produk pangan di AS adalah dieldrin dan DDE. Ketika DDT, yang sudah dilarang penggunaannya tahun 1970, diurai hasilnya adalah DDE (PAN, 2001).

POP masuk ke dalam tubuh manusia melalui rantai makanan. Bahan kimia ini terakumulasi di dalam tubuh organisme dari rantai makanan paling rendah. Dan akhirnya bermuara di dalam tubuh manusia disimpan di dalam jaringan lemak. Bahkan DDT bisa menyebabkan kematian, mengganggu organi reproduksi, mengubah jenis kelamin ikan ketika masih telur (Rogan dan Chen, 2005; Ross, 2005; Anonim, 1993; Hesman, 2000; Snedeker, 2001)

Residu bahan pestisida jenis POP yang sudah dilarang di AS ditemukan di semua kategori pangan mulai dari makanan yang dipanggang, buah-buahan, sayuran, daging, telur, sampai produk peternakan. Secara umum ada 10 jenis pangan, berdasarkan studi FDA tahun 1999 yang disusun berdasarkan abjad adalah mentega, cantaloupe, mentimun, meatloaf, kacang, jagung pop corn, radish, bayam, summer squash dan winter squash (PAN, 2001).

Indonesia, menurut data Departemen Pertanian, ada 1.082 jenis pestisida yang terdaftar dan mendapatkan izin penggunaan untuk budi daya pertanian dan kehutanan. SK Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian juga sudah menetapkan residu untuk 1.082 jenis pestisida itu. Tidak ada data berapa besar jumlah residu pestisida yang ada di tanah (KLH, 2006).

Tahun 1993 penelitian Pesticide Action Network Indonesia menunjukkan beras jenis IR64 di Deli Serdang, Sumatera Utara, mengandung racun karbofuran sebesar 58,21 ppb dan diazinon 18,4 ppb. Beras kuku balam asal Pangkalan Brandan mengandung karbofuran 39,21 ppb. Meskipun beras itu sudah dicuci dengan air, kandungan karbofuran pada beras IR64 dari Deli Serdang masih 45,56 ppb an beras kuku balam 29,78 ppb. Pestisida juga mengontaminasi ASI, tanah, air, bahkan tanaman obat (Tjahjadi dan Gayatri, 1994).

Paradigma Sosial Dominan

Manusia hidup di dunia nyata di luar diri manusia. Tetapi pilihan dan keputusan manusia lebih berhubungan dengan definisi mengenai “dunia nyata” atau “realitas” di dalam diri manusia dibandingkan dunia nyata yang sungguh nyata di luar dirinya. Struktur masyarakat yang ada atau struktur sosial yang nyata di masyarakat, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai struktur objektif (Ritzer dan Goodman, 2005), tidak bisa dilepaskan dari pengaruh proses pembentukan struktur sosial subyektif dari hasil proses konstruksi sosial. Konstruksi sosial secara subyektif ini terjadi melalui proses memahami, memikirkan, merasakan, dan membangun struktur sosial, dan kemudian bertindak berdasarkan struktur sosial yang dibangunnya.

Dalam konteks hubungan manusia dengan alam atau sebaliknya, perilaku manusia sangat ditentukan dari konstruksi sosial yang dibangunnya di dalam dirinya bukan ditentukan oleh keadaan lingkungan di luar dirinya. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bagaimana hubungan manusia dengan alam atau lingkungan atau posisi manusia di lingkungan, dikonstruksikan secara simbolik dalam dirinya. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh bagaimana ia mengkonstruksi persoalan lingkungan.

Di awal peradaban, menusia mengkonstruksikan manusia adalah bagian dari alam. Manusia berburu, mengumpulkan pangan dari alam, dan berpindah-pindah. Kemudian manusia mulai menetap dan membudidayakan tanaman pangan dan ternak untuk kebutuhan pangannya, ketika pengetahuan manusia belum berkembang. Masyarakat pertanian baru muncul kurang lebih 7.000 tahun yang lalu, ketika tanaman pangan ditanam berulang setiap tahun di tempat yang sama, menggunakan irigasi, dan pupuk (Harper, 2001).

Mulainya Revolusi Hijau, konstruksi sosial hubungan manusia dengan alam bergeser dari “manusia adalah bagian dari alam” menjadi “manusia menguasai alam atau menentang alam.” Di dalam dunia pertanian, manusia kemudian mengeksploitasi alam atau manusia adalah pusat dari segalanya. Antroposentism adalah paradigma sosial dominan yang mendorong Revolusi Hijau.

Mengikuti ide pemikiran Thomas Kuhn mengenai perkembangan sains yaitu ketika terjadi krisis paradigman dominan akan digantikan oleh paradigman baru (Ritzer dan Goodman, 2005). Paradigman sosial dominan antroposentrism yang dikonstruksi pada saat Revolusi Hijau memunculkan persoalan lingkungan. Ketika terjadi krisis lingkungan yang mendunia, paradigma dominan ini digantikan oleh paradigma baru yang mengkonstruksi sosial terkait dengan persoalan lingkungan. Paradigman baru ini melihat manusia adalah bagian dari alam. Manusia tidak bisa mengeksploitasi alam dengan memaksa tanah dan tumbuhan yang direkayasa berproduksi semaksimal mungkin.

Paradigma baru ini memunculkan gerakan pertanian organik. Pertanian organik adalah pertanian yang selaras dengan alam. Pertanian organik adalah pertanian yang didasarkan pada health (kesehatan), ecology (ekologi), fairness (adil, tidak membeda-bedakan), care (perhatian dalam makna memelihara). Prinsip kesehatan bermakna: pertanian organik harus berkelanjutan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, binatang, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Prinsip ekologi: pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologis, berkerja dengan ekologi, berusaha mengikutinya, dan membantu melestarikannya. Prinsip fairness: pertanian organik harus didasari oleh hubungan yang memastikan terjadinya keadilan dengan menghargai lingkungan bersama dan kesempatan untuk hidup. Prinsip care: pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi kini dan generasi mendatang dan lingkungan (IFOAM, 2005; IFOAM, 2006).

Di dunia, gerakan pertanian organik dimotori oleh IFOAM (International Federation of Organic Agriculture Association) yang berdiri tahun 1972. Saat ini IFOAM memiliki lebih dari 750 anggota di 108 negara.

Di Indonesia, gerakan pertanian organik dimulai di Cisarua tahun 1984 dengan didirikannya pusat pertanian organik Bina Sarana Bakti. Setelah itu mulai bermunculan gerakan petani yang beralih dari pertanian modern ke pertanian organik, terutama di Pulau Jawa (Husnain, 2005). Sekarang berbagai organisasi petani organik bergabung di Jaringan Kerja Pertanian Organik (JakerPO). Sekarang anggota JakerPO lebih dari 25 organisasi yang tersebar di Pulau Jawa, Bali, NTT, NTB, dan Sumatera.

Sejalan dengan munculnya petani-petani yang menghasilkan produk organik bebas residu pestisida dan merebaknya kesadaran lingkungan, di kota-kota besar di dunia dan di Indonesia bermunculan konsumen organik.

Produk pertanian organik berkembang pesat. Misalnya, di Inggris, berdasarkan laporan tahunan Soil Association Juli 2006 (Organic Market Report 2006), pasar produk organik meningkat 30% dibandingkan tahun 2005, naik tiga kali lipat. Pasar produk pertanian organik di AS diperkirakan akan terus bertumbuh hingga dua digit dalam 5-10 tahun mendatang sebelum stabil. Tahun 2020 nilai penjualan produk organik di AS diperkirakan bisa mencapai US$80 miliar per tahun (Lowy, 2005).

Di Indonesia luas lahan yang dikelola secara organik, termasuk lahan pertanian alami seperti kebun campuran dan ladang-ladang tradisional, sekitar 40.000 hektar (Husain, et. al., 2005). Tidak ada data berapa banyak produk organik di Indonesia.

II. Rumusan masalah

Mengkonsumsi produk pertanian organik di Jakarta saat ini menjadi satu gaya hidup baru. Banyak alasan yang bisa disampaikan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik. Survei konsumen sayuran organik yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 menunjukkan konsumen membeli sayuran organik dengan alasan utama kesehatan (ELSPPAT, 2001). ELSPPAT adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja mengembangkan pertanian organik sayur-mayur dan nenas di Kabupaten Bogor dan Kota Bogor.

Sejauh penelusuran pustaka, survei konsumen organik baru yang dilakukan oleh ELSPPAT tahun 2001 dan BioCert tahun 2003/2004. Survei lebih lengkap saat ini sedang dilakukan oleh JakerPO (Jaringan Kerja Pertanian Organik). JakerPO, jaringan sejumlah organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang pertanian organik, menyurvei petani organik, konsumen organik, dan masyarakat umum (Komunikasi pribadi dengan Nana Suhartana koordinator survei JakerPO).

Survei konsumen organik yang pernah dilakukan di Indonesia tidak mengukur tingkat apakah konsumen memilih produk organik karena pro-lingkungan. Survei-survei itu hanya mencoba memotret siapa konsumen organik (tingkat pendidikan, tingkat penghasilan, dan alasan). Potret alasan mengapa mereka mengkonsumsi produk organik tidak menggambarkan apakah perilaku mereka pro-lingkungan atau sekedar karena ketakutan terkontaminasi pestisida atau sekedar alasan kesehatan. Atau keputusan membeli produk pertanian organik memang karena perilaku mereka pro-lingkungan.

Tujuan penelitian

Pertama studi ini ingin melihat apakah konsumen produk pertanian organik tergolong kelompok masyarakat peduli lingkungan (pro-lingkungan) atau tidak pro-lingkungan? Apakah keputusan membeli produk organik memang karena alasan pro-lingkungan?

Kedua, studi ini ingin membandingkan sikap dan perilaku pro-lingkungan konsumen produk pertanian organik dengan non-konsumen produk pertanian organik.

Ketiga, studi ini ingin melihat apakah ada hubungannya antara sikap dan perilaku pro-lingkungan dengan tingkat pendapatan mereka, tingkat pendidikan, seberapa besar mereka bersedia membayar harga yang lebih tinggi dalam mengkonsumsi produk pertanian organik?

Bagi organisasi non-pemerintah yang membantu produsen organik dan juga produsen organik yang dibantunya penting mengetahui apakah konsumen mereka memilih produk organik karena memang mereka pro-lingkungan. Sehingga mereka lebih bisa mempromosikan produk organik sesuai dengan tujuan mereka yaitu membuat lingkungan menjadi lebih baik. Bagi pemerintah, yang juga punya program pengembangan pertanian organik, bisa melihat kebijakan yang harus diambil terkait dengan pengembangan produk organik.

III. Tinjauan pustaka

The Hartman Group, perusahaan riset dan konsultan pemasaran di Bellevue, Washington, meneliti perilaku konsumen organik dan mencoba melihat sejumlah mitos yang ditempelkan pada konsumen organik. tetapi hasilnya serupa. Para peneliti, termasuk di antaranya antropolog, mengikuti konsumen organik ke mana pun ia pergi, dari pasar sampai ke tempat latihan sepakbola anaknya. Para peneliti juga mewawancarai dan memeriksa lemari dan kulkas di rumah konsumen organik ini. Hasilnya sungguh menarik.

Ada tiga mitos konsumen organik yaitu pertama, konsumen organik mengonsumsi produk organik karena alasan kesadaran lingkungan yang tinggi. Kedua, tipikal konsumen organik adalah pendidikan tinggi dan penghasilan tinggi yang kebanyakan keturunan Kaukasian. Alasan utama mereka yang tidak membeli produk organik adalah harga.

Survei mereka menunjukkan hanya 26% yang menjadi konsumen organik karena alasan kesadaran lingkungan. Alasan utama mereka membeli produk organik karena produk organik kualitasnya lebih baik, lebih sehat, dibandingkan produk pangan biasa. Rasa menjadi motivasi kedua dan ketiga adalah keamanan pangan. Pemicu utama mereka mengonsumsi produk organik adalah karena punya anak kecil, keluarga yang sakit (alergi makanan, kanker dan gangguan kesehatan lainnya), dan pengaruh lingkungan sosial. Pengaruh lain adalah karena beberapa pendapat logis seperti kalau “pestisida tidak baik untuk serangga, bagaimana mungkin baik untuk manusia,” atau cerita mengenai “petani tidak memakan produk yang mereka hasilkan” (Howie, 2004).

Mitos kedua, konsumen organik kebanyakan keturunan Kaukasian juga terbantahkan. Orang Amerika keturunan Afrika, Asia, dan Hispanic cenderung membeli produk organik dibandingkan orang Amerika kebanyakan. Dan mereka yang rata-rata membeli sembilan produk organik dalam sebulan penghasilannya kurang dari US$50.000 per tahun.

Lebih dalam lagi, konsumen organik merasa mereka banyak hal tidak bisa dikendalikan di dunia. Memilih makanan adalah salah satu yang dapat mereka kendalikan dan membeli produk organik adalah melaksanakan kendali itu.

Mitos ketiga harga mahal membuat mereka tidak membeli produk organik tidak terbukti benar. Alasan utama mereka tidak membeli produk organik karena mereka tidak pernah sungguh-sungguh memikirkan untuk mengonsumsi produk organik. Harga produk organik yang lebih mahal dari produk non-organik adalah alasan kedua. Tetapi aspek harga ini tidaklah sesederhana itu. Misalnya, seorang ibu tidak masalah mengeluarkan uang lebih US$1,50 untuk membeli stroberi organik untuk anaknya tetapi tidak rela mengeluarkan se-sen membeli brokoli organik untuk suaminya. Alasan ketiga mereka tidak membeli produk organik karena tidak tersedia (Howie, 2004).

Studi-studi lain di berbagai negara menyimpulkan alasan membeli produk organik tidak hanya satu, tetapi biasanya banyak, mulai dari kepedulian pada lingkungan sampai motivasi perdagangan yang adil. Tetapi kebanyakan konsumen organik mengatakan alasan kesehatan menjadi pendorong mereka mengonsumsi produk organik (Padel dan Foster, 2005; Chinnici, et. al., 2002; Shepherd et. al., 2005; Radman, 2005; Connor dan Douglas, 2001; Gilg, et. al., 2005; Lea, et. al., 2005; Gupta, et. al., 1996; Zanoli dan Naspetti, 2002; Makatouni, 2002; Baker et. al., 2004).

Survei di Swedia, negara yang tingkat kesadaran konsumen dan lingkungan sangat tinggi, menunjukkan ada perbedaan antara attitude (sikap) dan behavior (perilaku) mengonsumsi terkait dengan produk organik. Konsumen di Swedia tidak menilai “diproduksi secara organik” tidak menjadi kriteria penting dalam mengonsumsi pangan. Juga produk organik tidak melebihi atau lebih unggul daripada produk non-organik dalam nilai rasa dan kesegaran dan harganya yang lebih mahal.

Penelitian di Swedia itu menunjukkan mereka yang perilakunya pro-lingkungan cenderung bisa diperkirakan membeli produk organik. Terkait dengan kepedulian lingkungan, hubungan antara perilaku (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) lebih kuat dibandingkan dengan sikap (pro-lingkungan) dengan perilaku (membeli produk organik) dalam konteks kepedulian pada lingkungan (Shepherd, et. al., 2005).

Survei yang dilakukan oleh Robert Connor dan Leslie Douglas dari Universitas Ulster, Irlandia Utara, menunjukkan konsumen organik berasal dari kelompok masyarakat dengan sosial-ekonomi lebih tinggi dan usia muda sampai pertengahan yang tinggal di kawasan urban atau kota. Survei mereka juga menunjukkan perempuan cenderung membeli produk organik daripada laki-laki. Alasan mereka membeli produk organik adalah kesehatan, rasa, kesegaran, dan kualitas. Mereka sedikit tidak paham beda antara pangan yang sehat dan bergizi (Connor dan Douglas, 2001).

Sikap lebih positif juga ditunjukkan oleh konsumen organik yang perempuan di Australia. Survei Emma Lea dan Tony Worsley itu menunjukkan secara keseluruhan konsumen perempuan lebih menunjukkan sikap positif dibandingkan laki-laki. Mereka menyimpulkan faktor nilai-nilai yang terkait dengan alam, lingkungan, dan keseimbangan menjadi faktor penduga positif kepercayaan pada produk organik (Lea dan Worsley, 2005).

Survei yang lain di Yunani menunjukkan sikap responden pada produk organik positif yaitu produk organik sehat, bersahabat dengan lingkungan, dan rasanya lebih enak. Sikap positif ini tidak kemudian diterjemahkan menjadi permintaan. Dari 1.013 orang yang disurvei hanya 19% yang membeli produk organik dan kurang dari sepertiganya memahami makna dari ‘organik’ (Gifford dan Bernard, 2006).

Meskipun alasan untuk lingkungan bukanlah alasan utama konsumen membeli produk organik, penelitian Andrew Gilg, Steward Barr, dan Nicholas Ford dari Universitas Exeter, menunjukkan konsumen organik di Inggris memiliki nilai-nilai pro-lingkungan dan pro-sosial. Usia juga mempengaruhi perilaku konsumen organik. Umur memberikan dampak positif pada konsumsi organik. Penelitian mereka menunjukkan umur rata-rata konsumen yang pro-lingkungan berbeda 12 tahun dibandingkan kelompok konsumen yang tidak pro-lingkungan (Gilg, 2005)

Penelitian Anil K Gupta dan koleganya di India menunjukkan hasil yang bertentangan dengan perkiraan sebelumnya, terkait dengan keinginan konsumen membayar harga produk organik yang lebih mahal. Mereka yang bersedia membayar harga khusus yang lebih mahal untuk produk pangan organik olahan relatif pendidikannya lebih rendah (kebanyakan mereka yang disurvei pendidikannya pasca sarjana), menghabiskan waktu lebih sedikit untuk mengonservasi energi, tidak peduli dengan seberapa besar dampak kerusakan pada lingkungan dari pabrik, dan secara umum tidak tertarik mendaur ulang sampah. Perempuan bersedia membayar lebih mahal untuk produk yang kesehatan dan kecantikan, sangat tertarik pada daur ulang sampah, dan pengurangan pencemaran (Gupta, 1998).

Masih terkait dengan harga produk organik yang biasanya lebih mahal, penelitian Athanasios Krystallis dan George Chryssohoidis di Yunani, menunjukkan keinginan konsumen organik membayar harga lebih produk organik sangat tergantung pada jenis produknya. Buah-buahan adalah produk organik yang sudah umum dibeli konsumen Yunani, sehingga mereka rela membayar lebih untuk produk ini dibandingkan produk organik lainnya. Faktor sosio-demografi, karakteristik rasa, dan harga, menjadi penentu konsumen membeli produk organik (Krystallis dan Chryssohoidis, 2005).

New Environmental Paradigm

Riley E Dunlap dan Kent D Van Liere tahun 1978 memperkenalkan New Environmental Paradigm. Mereka menyusun New Environmental Paradigm (NEP) Scale untuk mengukur pemikiran dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Pada awalnya NEP Scale ada 12 pernyataan untuk diskor berdasarkan skor Likert. NEP ini disusun sebagai “tandingan” dari Dominant Social Paradigm yang cenderung anti-lingkungan. Tahun 2000, Dunlap dan Van Liere, bersama dua kolega lainnya, merevisi NEP Scale menjadi 15 pertanyaan. NEP yang sudah direvisi ini tidak hanya mengukur pemikiran dan perilaku pro-lingkungan tetapi juga mengukur yang tidak pro-lingkungan atau anti-lingkungan. (Dunlap, et. al., 2000).

Sebanyak 15 item dari skala NEP yang baru dirancang untuk menangkap lima hipotesis segi pandangan ekologis yaitu: kenyataan batas pertumbuhan (item 1, 6, 11), anti-antroposentrism (item 2, 7, 12), keseimbangan alam yang rapuh (item 3, 8, 13), penolakan pada exemptionalism (4, 9, 14), dan kemungkinan terjadinya krisis lingkungan (5, 10, 15). Paham exemptionalism melihat manusia terpisah dari hukum-hukum alam, atau manusia bukanlah bagian dari alam ini.

Berikut ini adalah 15 item skala NEP dalam bahasa Inggris:

1. We are approching the limit of the number of people the earth can support

2. Human have the right to modify the natural environment to suit their needs

3. When humans interfere with nature it often produces disastrous consequences

4. Human ingenuity will insure that we do NOT make the earth unlivable

5. Human are severely abusing the environment

6. The earth has plenty of natural resources if we just learn how to develop them

7. Plants and animals have as much right as human to exist

8. The balance of nature is strong enough to cope with the impacts of modern industrial nations

9. Despite our special abilities humans are still subject to the law of nature

10. The so-called “ecological crisis” facing humankind has been greatly exaggerated

11. The earth is like a spaceship with very limited room and resources

12. Human were meant to rule over the rest of nature

13. The balance of nature is very delicate and easily upset

14. Humans will eventually learn enough about how nature works to be able to control it

15. If things continue on their present course, we will soon experience a major ecological catastrophe

Skala NEP sudah dicobakan di berbagai penelitian pengukuran sikap dan perilaku pro-lingkungan dan anti-lingkungan di berbagai negara. Skala NEP terbukti konsisten sebagai alat ukur. NEP yang sudah direvisi mencakup pandangan kunci yang lebih lengkap dan menggunakan istilah yang lebih baru. NEP hasil revisi ini memaksimalkan content validity, sebagai satu ukuran (Dunlap, et. al., 2000).

Aldrich bersama dua koleganya dari dari Universitas New Mexico, AS, dan satu rekan dari University of California Santa Barbara, menggunakan NEP untuk melihat heterogenitas dari kelompok etnis yang sikapnya (attitude) pro-lingkungan. Aldrich dan koleganya menggunakan tiga metoda analisis data NEP dengan kesimpulannya ketiga metoda menghasilkan analisis yang konsisten. Mereka menyimpulkan NEP adalah instrumen pengukuran yang baik untuk melihat sikap (attitude) kelompok etnik yang diteliti (Aldrich, et. al., 2005).

Di Indonesia, sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum pernah ada survei yang menghubungkan sikap pro-lingkungan dikaitkan dengan perilaku mengonsumsi produk pertanian organik.

IV. Uraian teoritis

Pertanyaan penelitian

Penelitian ini ingin melihat profil konsumen organik dan profil konsumen biasa (yang tidak mengonsumsi produk organik) dikaitkan dengan sikapnya pada lingkungan berdasarkan skala NEP. Apakah konsumen organik memutuskan mengonsumsi produk organik berhubungan dengan sikapnya pada lingkungan atau tidak? Jika ada hubungan, apakah hubungannya positif atau negatif?

Konsumen biasa adalah konsumen yang tidak membeli produk organik.

Kemudian nilai NEP responden dari dua kelompok (kelompok konsumen organik dan kelompok konsumen biasa) dibandingkan. Apakah ada perbedaan nilai NEP yang signifikan antara konsumen organik dengan konsumen biasa?

Selanjutnya, data demografik kedua kelompok dibandingkan untuk melihat perbedaan karakteristik dua kelompok ini, dan data demografik di dalam kelompok dibandingkan juga. Data demografi yang perlu dibandingkan terutama data jenis kelamin, data penghasilan, umur, dan pendidikan. Apakah umur, pendidikan, penghasilan, jenis kelamin, mempengaruhi konsumen membeli produk organik atau tidak membeli produk organik?

Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, dan tinjauan pustaka, berikut ini uraian hipotesisnya.

1. Konsumen organik diasumsikan adalah kelompok yang memiliki sikap pro-lingkungan yang sudah ditunjukkan dalam mengonsumsi produk organik. Skala NEP adalah skala yang sudah teruji konsisten, sudah divalidasi, mampu mengukur sikap pro-lingkungan. Logikanya, konsumen organik jika diukur sikapnya dengan skala NEP nilainya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok konsumen umumnya. Jadi penelitian ini ingin menguji hipotesa pertama yaitu:

Nilai NEP rata-rata kelompok konsumen organik lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen biasa

2. Sikap pro-lingkungan seseorang dipengaruhi rekonstruksi konsep menyangkut prinsip-prinsip lingkungan. Untuk bisa merekonstruksi sikap pro-lingkungan atau membangun paradigma lingkungan, seseorang membutuhkan banyak informasi. Informasi bisa didapatkan dari pengalaman atau dari pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang kemungkinan ia merekonstruksi paradigma lingkungan semakin besar. Penelitian ini juga akan menguji hipotesa kedua yaitu:

Semakin tinggi pendidikan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar

3. Produk organik harganya lebih mahal dibandingkan dengan produk yang tidak dihasilkan dari pertanian organik. Meskipun dari tinjauan pustaka sejumlah penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara penghasilan dengan keputusan seseorang membeli produk organik, tetapi mungkin saja untuk masyarakat Indonesia hanya golongan menengah yang baru meningkat kesadaran akan lingkungan yang mampu membeli produk organik. Penelitian ini ingin menguji hipotesa ketiga yaitu:

Semakin tinggi penghasilan responden dalam kelompok konsumen organik maka nilai NEP-nya semakin besar

4. Berdasarkan studi pustaka, keputusan mengonsumsi produk organik lebih banyak diambil oleh perempuan, terutama perempuan berkeluarga dan mempunyai anak balita. Penelitian ini ingin menguji hipotesa keempat yaitu:

Nilai NEP rata-rata perempuan lebih tinggi dibandingkan nilai NEP rata-rata laki-laki dalam kelompok konsumen organik

5. Sebagai pembanding dari kelompok konsumen organik, penelitian ini juga mensurvei konsumen umum yang tidak mengonsumsi produk organik. Penelitian ini ingin membandingkan karakteristik kelompok konsumen organik dengan konsumen umum. Apakah faktor-faktor nilai NEP dan pendapatan sama-sama mempengaruhi responden dari dua kelompok ini? Penelitian ini akan menguji hipotesa kelima yaitu:

Nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen organik tidak sama dengan nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata dari kelompok konsumen umum.

Model analisis

Penelitian ini menguji korelasi tiga variabel bebas (pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin) dengan variabel terikat (nilai NEP) untuk kelompok konsumen organik. Selain itu penelitian ini juga ingin melihat perbedaan nilai NEP rata-rata dari kelompok konsumen organik dibandingkan dengan nilai NEP rata-rata kelompok konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik). Kemudian, menggunakan analisis varian menguji paling tidak dua varian (yaitu nilai NEP rata-rata dan penghasilan rata-rata) apakah ada perbedaan antara kelompok konsumen organik dengan konsumen umum.

V. Metode penelitian

Unit analisis, populasi, dan sampel penelitian

Unit analisis penelitian ini adalah individu yang mengonsumsi produk organik dan yang tidak mengonsumsi produk organik. Populasinya adalah konsumen organik yang tinggal di Jabodetabek dan konsumen umum (yang tidak mengonsumsi produk organik) yang juga tinggal di Jabodetabek.

Dua populasi itu diasumsikan homogen dan setiap anggota mendapat kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai responden. Responden dipilih menggunakan metoda acak sederhana (simple random sampling).

Dari setiap populasi akan diambil sampel sebanyak 100 responden. Jadi penelitian ini akan memiliki 200 responden dari dua kelompok berbeda.

Sampel penelitian dari kelompok konsumen organik akan diambil secara acak dari daftar konsumen organik dua produsen pertanian organik yaitu langganan produsen organik Bina Sarana Bakti di Cisarua dan daftar langganan dari produsen organik binaan ELSPPAT di Bogor. Daftar konsumen tetap dua produsen ini digabung secara acak untuk kemudian ditarik sampel dari daftar gabungan itu.

Sampel penelitian dari kelompok yang tidak mengonsumsi produk organik akan diambil secara acak dari konsumen pasar swalayan di Jakarta Selatan secara acak.

Penelitian akan dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli 2007.

Penelitian ini akan menggunakan dua kuesioner yang sedikit berbeda. Satu kuesioner untuk kelompok konsumen organik dan kuesioner kedua untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik.

Kuesioner yang harus diisi sendiri untuk konsumen organik akan dikirimkan melalui dua organisasi (Bina Sarana Bakti dan ELSPPAT). Kuesioner untuk kelompok konsumen yang tidak mengonsumsi produk organik akan disampaikan kepada responden langsung melalui wawancara face-to-face.

VI. Daftar Pustaka

AIBS. 2002. “Biotechnology and the Green Revolution. Interview with Norman Borlaug.” ActionBioscience.org, November 2002. American Institute of Biological Sciences.

Aldrich, G., et. al. 2005. “Relating Environmental Ethical Attitudes and Contigent Valuation Responses Using Cluster Analysis, Latent Class Analysis, and the NEP: A Comparison.”

Anonim. 1993. “DDT may foster breast cancer, study finds.” Science News; Apr 24, 1993. Vol. 143, Iss. 17; pg. 262, 1 pgs.

Baker, S., Thompson, K.E., dan Engelken, J. 2004. “Mapping the values driving organic food choice: Germany vs the UK.” European Journal of Marketing; 2004; 38, 8; ABI/INFORM Global pg. 995.

1 komentar:

jakupginting mengatakan...

Bagus juga penelitiannya, apakan anda punya data - data tentang produksi beras organik yang terbaru, tks