Sebagian besar petani-petani di Indonesia –khususnya di luar Jawa—adalah para petani organik yang terbentuk secara tidak sengaja justru karena mereka tidak menjadi target atau berpartisipasi dalam “revolusi hijau” dan masih tetap melanjutkan metode pertanian tradisional. Di wilayah lain, para petani tidak lagi dapat membeli pestisida dan pupuk ketika harga melonjak sebagai akibat krisis ekonomi. Hal ini berarti bahwa argumen tentang pertanian organik telah mulai memiliki makna yang semakin berarti. Beberapa kelompok petani dan LSM melihat pertanian organik sebagai cara melawan dampak buruk revolusi hijau, dan membebaskan para petani dari dominasi revolusi hijau – seperti ketergantungan terhadap pupuk kimia, pestisida dan bahan-bahan pertanian lainnya yang sejenis.
Meskipun demikian, kesadaran publik tentang apa yang disebut sebagai “pertanian organik” serta kebutuhan konsumen terhadap tanaman organik masih sangat rendah di Indonesia (tak ada sertifikasi atau penggunaan label secara nasional untuk makanan organik seperti juga tidak adanya label bagi makanan mengandung GMO. Salah satu toko yang menjual bahan-bahan organik dibentuk di Yogyakarta pada tahun 1997 oleh Konsorsium Komunitas Pedagagan yang Adil, dengan dana dari Oxfam. Para pemilik toko, yang mengembalikan sebagian besar keuntungan kepada para petani, mengatakan bahwa cukup sulit untuk mendapatkan orang yang mau membayar harga lebih teinggi bagi hasil organik.
LSM-LSM seperti Jaringan Aksi Pestisida (PAN) Indonesia, SPTN-HPS, ELSPPAT (Bogor) dan Sintesa di Sumatra Utara sedang mencoba mengangkat perdebatan tentang pertanian di masyarakat di mana pada saat bersamaan melaksanakan program-program praktis dengan kelompok-kelompok petani. Mereka adalah anggota-anggota Jaringan Kerja Pertanian Organik yang anggotanya adalah LSM dan kelompok petani. Meskipun jaringan tersbut bukan anggota IFOAM, (International Federation of Organic Agriculture Movements) atau Federasi Internasional Gerakan Pertanian Organik (lihat www.ifoam.org) jaringkan kerja nasional tersebut telah bekerja sama dengan IFOAM dalam berbagai kegiatan.
Tanah
Organisasi-organisasi LSM di Indonesia yang memiliki hubungan kuat dengan gerakan untuk mendapatkan tanah atau reformasi agraria berpendirian bahwa penguasaan tanah dan kondisi lingkungan politik yang terbuka dan demokratis merupakan landasan dasar pertanian yang berkelanjutan. ‘Berkelanjutan’ berarti bukan sekedar berkelanjutan dalam bidang lingkungan, tetapi juga secara sosial, politik dan ekonomi. Mereka telah menjalankan kegiatan-kegiatan yang kongkrit sebagai titik tolak untuk membantu para petani agar dapat menguasai kembali lahan dan juga meningkatkan kekuatan tawar mereka di pasar. Para petani juga telah bergerak untuk memperjuangkan hak-hak mereka secara khusus dan memperjuangkan reformasi agraria secara umum. (Jakarta Post 19/Feb/01; konferensi pers dengan ELSPPAT).
Proyek Organik ELSPPAT
Selama kunjungannya ke London, pendiri ELSPPAT, Any Sulstyowati menjelaskan program pertanian organik skala kecil yang dikerjakan oleh LSM di atas lahan-lahan kecil di Bogor:
”Program ini bertujuan menyediakan pekerjaan bagi para pekerja informal yang menganggur akibat krisis ekonomi. Program ini ini dimulai dengan penggunaan lahan kecil yang disewa dari seorang pemilik tanah di kota, yang biasanya digunakan untuk menanam sayuran. Selanjutnya, program ini kemudian berkembang dengan memasukkan beberapa petak tanah yang dimiliki petani, atau tanah orang lain yang disewa bagi petani tak bertanah.
Produk-produk mereka dijual oleh koperasi petani (kelompok-kelompok petani) yang dibentuk melalui program yang menggunakan sistem pengantaran secara langsung kepada konsumen yang dengan demikian berupaya memotong jalur para perantara. Barang-barang ini kemudian ditentukan perbedaan hargannya antara pasar tradisional dan harga supermarket. Pada awalnya, kita menjual barang-barang ini kepada orang-orang LSM, tetapi kemudian, dari mulut ke mulut, kita juga bisa menjual lebih banyak kepada ibu-ibu rumah tangga di perkotaan yang mulai membeli barang kami.
Ketika kami melakukan hal ini, kita seringkali mendapatkan komentar-komentar dari para petani tua yang tinggal berdekaatan, saat mereka melihat kami menggunakan pupuk kompos, yang mengatakan “kenapa kamu menggunakan cara lama? Kita telah meninggalkannya bertahun-tahun yang lalu!” Meskipun demikian, petani-petani ini tertarik dengan kenyataan bahwa kita tidak perlu membayar mahal untuk bahan-bahan kimia dan kita bisa memotong jalur para perantara untuk menjual barang.
Dalam pengalaman kami, persoalan pertanian organik sangat membutuhkan pupuk organik dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu, sepanjang para petani tidak memiliki ternak, mereka harus membelinya. Dengan demikian, gagasan kita adalah untuk menciptakan sistem pertanian organik yang terintegrasi. Tetapi, sebelum kita mencapai tahapan ini, kita harus berurusan terlebih dahulu dengan kebutuhan-kebutuhan dasar petani. Persoalannya mereka tidak bisa mendapatkan uang yang cukup dari kegiatan pertanian tersebut karena tanah mereka sangat terbatas.
Sekarang ini telah ada lebih banyak peluang untuk bekerja di sektor informal. Khususnya di desa-desa di mana di wilayah sekitarnya terdapat peningkatan permintaan untuk pekerjaan konstruksi untuk membangun kuburan Cina. Kebanyakan orang-orang muda yang telah kembali bekerja, tetap terlibat dalam dialog yang berkelanjutan dengan para petani di desa tetangga mereka tentang kegunaan pertanian organik serta koperasi yang menjual apa yang kita ingin kembangkan menjadi program yang lebih berkelanjutan.”
Selasa, 28 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar